Hanya Kamu Hidupku - Bab 161 Ellen, Kesayangan

"Tidak ada yang bisa memisahkan kita, aku berjanji!"

".........." Bulu mata Ellen bergemetaran sejenak, dia mengangkat kepalanya secara perlahan dan menatap ke William dengan tatapan yang basah dan dipenuhi oleh kekhawatiran.

Bibir William meninggalkan ujung alis Ellen, dia mengelus pipi Ellen dan menatap kepadanya dengan tatapan yang dipenuhi oleh pantang menyerah.

Ellen menjilat bibirnya dengan gugup, "Paman ketiga, apakah......"

"Pergi keramas dulu, jangan membuat guru tunggu terlalu lama" William berkata dengan suara lembut sambil menatap ke bibir Ellen yang membengkak.

"Paman ketiga......."

"Cepat pergi"

William menarik kembali tangannya ke dalam saku celana, kemudian dia mundur dua langkah dan menatap ke Ellen dengan tatapan lembut.

Alis Ellen mengerut secara refleks, setelah menatap William beberapa detik dengan tatapan meragu, akhirnya dia pergi ke kamar mandi untuk menyejukkan bibirnya dengan air dingin.

Seteleh Ellen keluar dari kamar mandi, banyangan tubuh William sudah tidak berada di dalam kamar.

Ellen berdiri di depan pintu kamar mandi dan menatap ke kamar yang kosong, tiba-tiba, hati Ellen juga ikut terasa kosong.

...........

Karena takut Hansen meragu, Louis pun pulang ke rumah pada malam hari.

Hansen tidak mengetahui masalah Louis masuk rumah sakit, pada saat menerima telpon Gerald tadi pagi, Louis beralasan bahwa Vania menarik dia pergi mendakit gunung.

Cuaca sekarang tidak panas dan tidak dingin juga, sangat cocok memanjat gunung, Hansen pun tidak meragu.

Hanya saja Hansen ada bertanya ketika Louis kembali dengan wajah yang pucat.

Louis berkata bahwa dia hanya kecapekan karena memanjat gunung, cukup istirahat satu malam.

Hansen mengomel sebentar dan tidak merasa ragu dengan kata-kata Louis.

Tetapi pada hari kedua, Hansen menyadari Louis sama sekali tidak baikan, malahan wajahnya terlihat lebih sakit dan lemah.

Biasanya Vania akan mengurung dirinya di dalam kamar, kecuali memang ada urusan atau mau makan, kalau tidak dia tidak akan turun ke bawah.

Siapa tahu hari ini dia malah terus mengikuti Louis, bahkan tangannya tidak pernah meninggalkan lengan Louis.

Gerald bersikap normal, dia tetap berada di ruang baca seperti biasa.

Hansen sedang membaca buku catur di atas sofa, setelah beberapa saat, dia menatap ke Louis dengan alis mengerut, "Kalau kamu memang tidak enak badan, mengapa tidak mau meminta Jine datang memeriksa? Buat apa memaksa untuk bertahan? Aku sudah tua pun harus mekhawatir tentang hal seperti ini?"

Kata-kata Hansen sebenarnya bermaksud menunjukkan kepedulian, hanya saja nada suaranya terdengar seperti marah.

Tetapi Hansen mengira Louis seharusnya sudah terbiasa.

Siapa tahu mata Louis malah memerah setelah mendengar kata-kata Hansen.

Hansen, ".............."

"papa, aku telah membuat kamu khawatir, maaf" Louis berkata.

"......" Sudut bibir Hansen bergetar, "Itu, aku bukan sedang menyalahkan kamu, buat apa kamu begini?"

Louis hanya menggelengkan kepalanya, "Aku tahu kamu peduli dengan aku"

Kalau tahu mengapa masih memasang ekspresi sedih seperti ini?

Hansen menatap ke Louis, "Kalau tidak aku menelepon ke Jine saja?"

"Tidak perlu papa, aku baik-baik saja" Louis berkata.

"Wajahmu sangat pucat, dari mana baik-baik saja? Kalau tidak percaya kamu tanya Vania" Hansen berkata.

Vania melihat ke Hansen sebelum berkata kepada Louis, "mama, kalau tidak aku menelpon ke Paman Jine saja. Wajah kamu terlihat lebih pucat dari semalam. Kalau begitu terus, kapan baru bisa sembuh?"

Yang paling penting adalah, kalau kamu tidak sembuh, siapa yang bisa mengurus Ellen?

Bagaimana Louis bisa merasa baikan?

Semalam dia tidak tidur sama sekali.

Louis menghela nafas panjang, dia merasa kesusahan seperti sebuah batu besar sedang menekannya.

Melihat kondisi Louis, Hansen langsung mengambil keputusan, "Vania, menelpon Paman Jine, meminta dia cepat datang melihat mamamu, secepat mungkin. Usia sudah tua, masalah kesehatan tidak boleh ditunda"

"Baik" Vania menjawab dan berjalan ke tempat telepon berada untuk menelpon ke Jine.

Melihat Vania menelpon, Louis juga hanya diam saja.

Setelah menelpon, Vania berkata kepada Louis dan Hansen, "Paman Jine berkata dia akan segera datang"

Hansen mengangguk dan bermaksud mau naik ke lantai atas, mengamati catur sambil membaca buku caturnya,

Kemudian sebuah suara berdering sebelum Hansen sempat berdiri dari sofa, "Nona Rosa, kamu sudah datang ya"

"Kak Rosa sudah datang"

Vania berdiri dan melihat ke gerbang pintu.

Dalam beberapa saat, Rosa pun muncul di depan pintu dengan herbal di tangannya.

"Kak Rosa" Vania menyapanya.

"Vania, Bibi dimana?"

Hal pertama yang dilakukan Rosa setelah masuk adalah bertanya tentang Louis.

"Di sana" Vania berkata.

Rosa sibuk berjalan masuk, melihat Hansen dan Louis di ruang tamu, Rosa pun mengangguk terhadap Hansen, "Kakek"

"Rosa, sini duduk" Hansen meletakkan bukunya di atas meja, karena takut Rosa mengira Hansen tidak menyukai dia datang, Hansen pun memutuskan untuk berada di ruang tamu dulu.

"Iya"

Sambil menjawab, Rosa sibuk berjalan ke sisi Louis dan meletakkan herbal berharga yang dia bawa dia tas meja, kemudian dia duduk di samping Louis dan memegang tangannya, " Bibi , hari ini aku baru tahu dari Vania kamu masuk rumah sakit semalam, aku merasa sangat khawatir. Apakah kamu baik-baik saja? Vania berkata kamu masih sangat lemah, mengapa tidak mau tinggal lebih banyak hari di rumah sakit?"

Setelah duduk, Rosa langsung berkata panjang lebar, sama sekali tidak memberi Louis dan Vania kesempatan untuk menghentikannya.

Wajah Louis terlihat agak canggung, dia melirik ke Hansen yang duduk diseberangnya.

Hansen sedang menatap ke Louis dengan mata membesar yang kaget.

Sudut bibir Louis bergemetaran, dia menepuk bahu Rosa dan berkata, "Aku tidak apa-apa, maaf telah membuat kamu khawatir"

" Bibi , kamu tidak perlu begitu. Di dalam hatiku, kamu memiliki posisi yang sama dengan mamaku. Oh iya, setelah mengetahui kamu sakit, mamaku sengaja meminta aku untuk membawa herbal-herbal ini datang, nanti Bibi tinggal meminta pembantu untuk masak saja" Rosa menatap ke Louis dengan khawatir.

"........." Louis merasa agak kaget, dia melihat ke herbal di atas meja, "Kamu, kamu bilang mamamu sengaja menyuruh kamu untuk membawa herbal untukku?"

Louis mengira mama Rosa tidak akan memaafkannya dalam waktu singkat setelah masalah William menolak pernikahan kemarin.

Louis sudah melakukan persiapan bahwa mama Rosa tidak akan menghiraunya dalam waktu paling tidak sebulan.

Siapa tahu............

"Tentu saja. mamaku selalu menganggap kamu sebagai teman baik, walaupun.... masalah kemarin memang membuat mamaku merasa agak tidak enak, tetapi mamaku tetap merasa cemas setelah mendengar kamu sakit sampai masuk rumah sakit. Berbanding dengan kesehatan kamu, tidak enak yang dirasakan mamaku itu hanya masalah kecil" Rosa berkata.

Mendengar kata-kata Rosa , Louis merasa terhibur.

Teman baik memang teman baik.

Mau seberapa tidak senang pun, kalau memang sudah ada masalah serius, tentu saja dia adalah orang pertama yang memberikan perhatian.

Louis menjilat bibirnya, "mamamu benar-benar sangat baik"

"Masuk rumah sakit? Kamu masuk rumah sakit semalam?"

Hansen berkata sambil melirik ke Louis degan cemas.

Bukannya mereka berkata pergi memanjat gunung semalam? Memanjat sampai rumah sakit kah?

Rosa melamun sejenak, dia menatap ke Hansen kemudian berkata dengan suara kecil, "Kakek, kakek masih belum tahu masalah Bibi masuk rumah sakit?"

"......." Kalau tahu dia masih akan bertanya?

Hansen menatap ke Louis dengan ekspresi serius, "Apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba masuk rumah sakit?"

Rosa melihat ke Louis dengan ekspresi datar, " Bibi ............."

Louis memegang tangan Rosa dan berkata kepada Hansen, "papa, sebenarnya tidak apa-apa. Aku tiba-tiba merasa tidak enak badan jadi pergi melakukan pemeriksaan, karena takut kamu khawatir makanya tidak memberi tahu kamu"

"Sudah masuk rumah sakit masih berkata tidak apa-apa? Kenapa, sekarang di rumah ini sudah tidak ada yang menganggap aku ya? Terjadi masalah yang begitu besar, kalian semua malah berbohong kepada aku?"

Hansen berkata dengan nada suara tegas.

Jantung Louis mengerat, "papa, kata-kata kamu terlalu serius, aku benar-benar tidak ingin kamu khawatir, makanya tidak berani memberi tahu kamu"

Masih mendingan kalau Hansen tidak mengetahui Louis masuk rumah sakit.

Sekarang sudah tahu, tentu saja Hansen tidak akan membiarkan Louis begitu saja.

Kalau benar-benar hanya sakit biasa, mengapa tidak berani memberi tahu Hansen? Apakah Hansen ada membuat aturan bahwa anggota keluarga Dilsen tidak boleh sakit?

Bukannya terlalu aneh ?

Hansen menyipitkan matanya dan melihat ke Vania, "Apakah kamu yang membuat mamamu marah sampai jatuh sakit dan masuk ke rumah sakit?!"

Hansen bisa merasa semua ini disebabkan Vania itu memiliki alasan.

Pertama, kesan Hansen terhadap Vania memang seburuk itu, kedua, tingkah laku Vania terhadap Louis hari ini terlalu 'giat'. Jadi Hansen merasa masalah ini pasti berhubungan dengan Vania.

Vania tidak berpikir Hansen bisa menyalahkan dia tentang hal ini, dalam waktu sejenak, Vania pun menjadi emosional. "Mengapa yang membuat mamaku marah sampai masuk rumah sakit itu aku? Dia adalah mamaku!"

Hansen hanya tertawa dengan dingin.

Vania merasa sangat sedih, dia berdiri dari sofa dan berkata, "Kakek, tidakkan kata-kata kamu terlalu kelewatan? kamu menganggap aku itu orang seperti apa? Aku adalah cucu kandung kamu, mengapa kamu tidak bisa berpikir baik tentang aku? Sementara Ellen cucu kesayangan kamu itu, seharusnya kamu pergi bertanya kepada dia, apa yang dia lakukan terhadap kamu, kakak ketigaku dan keluarga Dilsen kita?"

"Kamu jangan berkata sampai ke Ellen saja. Sejak Ellen datang ke keluarga kita, kamu tidak menyukainya dan terus menganggunya, biasanya tidak mau mengomel kamu, kamu benaran mengira dirimu tidak salah? Aku beri tahu kamu Vania Dilsen, aku memang menyayangi Ellen, dia adalah cucu buyut kandung aku! Ellen lebih baik dari pada kalian semua!" Hansen berkata.

Lebih baik dari kami semua?

Asap kemarahan sudah mulai meniup di atas kepala Vania!

Kakek benar-benar terlalu tidak adil!

Vania menarik nafas dalam, dia merasa agak sesak, seolah-olah paru-parunya sudah mau meledak.

"Ellen baik ya? kamu lebih menyukai Ellen daripada cucu kandung kamu ya? Baik, hari ini aku akan beri tahu kamu masalah jijik yang dilakukan Ellen......."

"Diam! Vania Dilsen, etika kamu kemana? Ellen juga termasuk keponakan kamu, mengapa kamu tega berkata seperti itu?"

Hansen melirik ke Vania dengan tatapan yang dipenuhi kemarahan.

"Dia adalah keponakan aku? Ellen........"

"Vania, jangan berkata lagi, kamu benar-benar mau membuat kakek sakit hati ya?"

Louis menahan lengan Vania dengan cemas.

"mama, kamu jangan menghentikan aku! Hari ini aku pasti mau merobek wajah palsu Ellen yang menjijikkan itu dan memperlihatkan kepada kakek penampilan Ellen yang sebenarnya!"

"Vania..........."

"Pria lebih tua 12 tahun yang Ellen suka bukan orang lain tetapi kakak ketiga aku!"

Setelah teriakan Vania, suasana di ruang tamu langsung menjadi hening.

Novel Terkait

Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu