Hanya Kamu Hidupku - Bab 85 Dia Sedang Pacaran Dengan Pamannya

Karena ada Sumi di sini, jadi awalnya Pani tidak ingin makan malam di sana, tetapi Ellen terus memintanya untuk tinggal.

Di ruang makan.

Ellen dan Pani duduk bersebelahan, sedangkan Sumi dan William duduk bersebelahan.

Dan kebetulan, Pani duduk berhadapan dengan Sumi.

Pani melihat wajah Sumi yang penuh senyuman lembut, hatinya sangat tegang.

Ellen sangat canggung melihat mereka berdua duduk berhadapan.

Mereka mulai makan dan berakhir dalam keheningan.

Keluar dari ruang makan, Pani bilang ingin pergi, Ellen rencana ingin menyuruh Pak Suno mengantarnya kembali ke rumah Wilman di jalan Yuyang.

Namun, sebelum Ellen mengatakan rencananya, Sumi langsung berkata, “Kebetulan aku juga ingin pergi, mari kita pergi bersama. Oh yah, aku dengar kita satu jalur.”

Sumi berkata sambil tersenyum menatap Pani.

Wajah Pani bergetar, “Ini terlalu merepotkan, aku bisa kembali menaiki taksi.”

“Tidak repot, satu jalur.” Sumi berkata dan merentangkan tangannya membuat posisi silakan.

“......” Wajah Pani menjadi tegang, segera menatap Ellen.

Ellen melihat tatapan Pani, dia segera berkata, “Paman Sumi, aku masih ingin mengobrol dengan Pani, kalau kamu ada urusan boleh pergi dulu, nanti aku akan menyuruh Paman Suno mengantarnya.”

“Tidak apa-apa, kebetulan aku juga ingin membicarakan sesuatu dengan Pamanmu. Kalian silakan mengobrol, cukup memanggilku ketika ingin pergi.” Nada suara Sumi tetap lembut, sepertinya sama sekali tidak memiliki emosi.

Sudut mulut Ellen dan Pani bergetar.

Keduanya tertegun di tempat, lalu Ellen membawa Pani berjalan menuju ke lantai atas.

Melihat keduanya naik ke atas, Sumi menyipitkan matanya, dan sudut mulutnya terangkat sebuah senyuman yang tak terjelaskan.

William melirik ke arah Sumi, “Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?”

Sumi hanya tersenyum, tidak berkata.

William mengangkat alisnya, keduanya berjalan menuju ke sofa.

……

Pani sengaja tinggal di kamar Ellen sampai hampir jam sepuluh malam, dia berpikir jam segini, Sumi seharusnya tidak sabar dan sudah pergi, jadi dia keluar dari kamar bersama Ellen.

Mereka berdua diam-diam berjalan keluar dan melihat ke bawah, melihat tidak ada seorang pun di ruang tamu, barulah mereka merasa lega, lalu memberanikan diri, berjalan ke lantai bawah.

“Aku menyuruh Paman Suno mengantarmu.” Ellen berkata pada Pani sambil turun ke lantai bawah.

Pani tidak menolak.

Karena sudah sangat malam, dan ini adalah komplek Villa orang kaya, memang sulit mendapat taksi di siang hari, apalagi pada malam hari.

“Kamu menjaga baik dirimu, kita bertemu lagi pada saat ujian.” Pani berkata.

“Ya.” Ellen mengangguk.

Keduanya berjalan ke ruang tamu lantai bawah, kebetulan ingin menuju ke pintu, sebuah suara jernih tiba-tiba terdengar dari belakang.

“Sudah mau pergi?”

Ellen dan Pani menarik nafas pada waktu yang sama, dan membuka lebar matanya melihat ke arah belakang.

Pani tersenyum berdiri di lantai atas, terlihat sangat “ramah.”

Pani melihat dia seperti begini, hatinya terasa dingin.

Ellen agak segan dan berkata dengan malu, “Paman Sumi, sudah begitu malam, apakah kamu masih belum pergi?”

“Ya.” Sumi tersenyum dan perlahan-lahan berjalan ke bawah dengan memasukkan kedua tangan di dalam saku, “Sudah kubilang akan mengantar Nona Wilman kembali, bagaimana mungkin aku tidak menepati janji, aku adalah pria sejati.”

“........” Hehe.

Ellen tersenyum.

Sumi turun ke bawah, berjalan mendekati mereka berdua, pandangannya yang polos melintasi wajah Ellen dan berhenti di wajah Pani yang bergetar, senyuman di sudut mulutnya semakin mendalam, “Nona Wilman, ayolah kita pergi.”

Pani memejamkan matanya, menatap Sumi dan tersenyum kaku, “Kalau begitu, aku harus repotin Paman Sumi.”

Hiks.

Ellen memanggilnya Paman Sumi.

Aku dan Ellen adalah teman sekelas, memanggilnya Paman Sumi tidak keterlaluan, kan?”

“Heh.”

Sumi tersenyum, jarinya yang ramping menunjuk ke arah Pani, berkata sambil menatapnya dengan tatapan lembut, “Nakal.”

Tubuh Ellen dan Pani bergetar.

Benar-benar merinding!

Akhirnya, Pani dibawa pergi oleh Sumi, Ellen memijit lengannya, menghela nafas dan berdiri sebentar di ruang tamu, kemudian ingin kembali ke kamarnya sendiri.

“Ellen.”

Suara seseorang yang rendah terdengar dari atas kepalanya.

Ellen tertegun, mengangkat kepala dan menatapnya.

William berdiri di luar ruang studi lantai atas, sedang menatapnya, “Naik ke atas.”

Ellen mencibir dan mengangguk.

William menggerakkan bibir, berbalik dan masuk ke ruang studi.

Melihatnya masuk ke dalam ruang studi, Ellen barulah mengambil langkah naik ke atas.

……

Ellen masuk ke ruang studi, William sedang berdiri di belakang meja, dan menatapnya dengan lembut.

Wajah Ellen terasa panas, perlahan-lahan berjalan ke arahnya dengan tangan di belakang punggung, dan berkata dengan suara malu, “Ada apa?”

William menaikkan sudut bibirnya, tidak berkata.

Setelah dia mendekati meja kerja, dia merentangkan tangannya padanya.

Ellen tertegun dan menatap wajahnya dengan bingung.

“Hmm?” William mengangkat alis.

Ellen mencibir, meletakkan tangannya di telapak tangannya.

William menggenggam erat, menggandeng tangannya berjalan melewati meja, datang ke sisinya.

Bberdiri di depannya, tubuh Ellen terlihat sangat kecil, William berdiri di depannya, terlihat tinggi besar bagaikan gunung yang mengelilinginya.

Ellen agak cemas, bulu matanya yang panjang terus berkedip, “Paman ketiga, kamu menyuruhku datang ke sini, ada apa?”

“Ingin memberikan sesuatu padamu.” Dia berkata.

“....... Berikan sesua.........”

Sebelum perkataan Ellen selesai dikatakan, lehernya terasa dingin.

Ellen kaget, segera menundukkan kepalanya dan melihat.

Dia melihat sebuah kalung perak muncul di lehernya.

Ellen mengangkat kepala, menatap ke arah William dengan tatapan terkejut, “Paman ketiga.”

“Apakah kamu menyukainya?” William berkata, sambil memeluk Ellen dan mengenakan kalungnya dari belakang.

Wewangian tubuhnya memasuki hidungnya, Ellen tidak bisa menahan diri menghirupnya, pipinya bahkan lebih merah dari bunga poppy.

Setelah mengenakan kalung, William memegangi pundaknya, dan memundur selangkah, menatapnya dengan lembut, dan berkata “Sangat cantik.”

“.......” Detak jantung Ellen berdebar kencang, dia segera menundukkan bulu matanya, melihat liontin yang digantung di depan dadanya.

Liontin itu adalah sebuah batu berlian, seputih susu, ukurannya sebesar jari kelingking, sangat mempesona.

Rantai perak-putih yang tipis bersama liontin, dikenakan di kulit Ellen yang putih, terlihat anggun.

Seperti yang dia katakan.

Sangat cantik!

Namun kata cantik yang dimaksud Ellen adalah kalung.

Sedangkan yang dimaksud William adalah Ellen!

“Kapan kamu membelinya?” Ellen menatap William dengan wajah memerah.

“Hadiah ulang tahun ke 18.” William menyentuh kalung di leher Ellen dan berkata.

“....... Jadi bukankah sudah lama kamu membelinya?” Ellen mengerutkan kening.

William mengangguk dan melihatnya, “Awalnya ingin kukasih setelah pesta ulang tahunmu berakhir.”

Bola mata Ellen berputar, mendengus dan mencibir, tidak berkata.

William menggerakkan bibirnya, menunjuk ujung hidung Ellen, “Kalau kamu menyinggungku lagi, aku akan mengurungmu!”

Ellen memutar bola matanya ke atas, menundukkan kepala memainkan berlian di depan dadanya.

William melihat dia sangat menyukai batu berlian itu, sudut mulutnya terangkat, “Suka?”

Ellen mendengus, dan sengaja berkata, “Tidak suka!”

William mengangkat alis dan dagunya, menundukkan kepala mencium mulutnya yang tidak jujur.

Ellen menarik nafas, bulu matanya berkedip dan perlahan-lahan memejamkan matanya.

Tangan William yang diletakkan dipunggungnya, turun ke bawah memeluk erat pinggangnya, mendengus dan memperdalam ciumannya.

Ellen dipengaruhi olehnya, tangannya perlahan-lahan melepaskan batu berliannya, menaikkan tumit kakinya, dan merangkul lehernya.

William menciumnya penuh cinta, bibir keduanya menempel bersama, tidak terpisah.

……

Ketika Ellen keluar dari ruang studi, mulutnya bengkak seperti sengatan lebah, pakaiannya juga terlihat kusut, dan kedua kakinya yang ramping juga bergetar.

Kembali ke kamar, Ellen berbaring ke ranjangnya dan berguling-guling.

Ellen merasa tidak berani percaya, dan merasa manis yang tak terjelaskan.

Dia sepertinya semakin terbiasa dengan kasih sayang yang diberikan William.

Di saat dia mendekatinya, detak jantungnya semakin kencang.

Dicium olehnya, dia merasa lebih manis daripada makan permen kapas.

Cukup dengan tatapannya yang lembut, dia bisa melelehkannya......

Ellen berbaring di ranjang, wajahnya memerah, dan terasa hangat, sepasang matanya yang besar menatap kanopi merah muda di atas kepalanya, kedua tangan memegang batu berlian di depan dadanya, mulutnya menghela nafas dengan gugup.

Ellen bukan orang bodoh.

Dia tahu seperti apa kondisinya saat ini.

Meskipun dia tidak pernah memiliki pengalaman seperti itu sebelumnya.

Namun...... dia merasa iya!

Dia sedang pacaran dengan pamannya......

Ya, dia sekarang merasa dirinya sedang jatuh cinta.

Ellen merapatkan bibirnya, matanya yang besar tersenyum seperti bulan sabit.

Kegembiraan yang dia rasakan saat ini sudah cukup bagi Ellen untuk mengabaikan semua tabu dan rintangan yang terbentang di antara dirinya dan William.

Ellen membalikkan tubuhnya, dia menekan wajah kirinya ke kasur dengan lembut, memejamkan matanya, dan tersenyum.

...

Jam tujuh pada hari berikutnya, Ellen bangkit dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.

Setelah mandi, barulah dia merasa dirinya kembali sadar, dia meregangkan tubuhnya, dan pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaian, kemudian keluar dari kamar tidur dan turun ke lantai bawah.

“Paman ketiga.”

Ketika melewati ruang tamu, Ellen melihat ke arah William yang duduk di sofa, dia memanggilnya dengan patuh.

“Ya.” William mengangkat kepala menatapnya dengan tatapan lembut.

Ellen mencibir dan segera berjalan ke arah dapur.

“Bibi Darmi, apakah sarapan sudah siap?” Ellen masuk ke dapur, tersenyum memeluk Darmi, lalu melepaskannya, berjalan ke depan kulkas, membukanya, mengeluarkan susu dan meminumnya.

Darmi tersenyum menatapnya, “Sudah hampir siap, kamu tunggu sebentar di ruang tamu, kalau sudah siap, aku akan memanggilmu dan tuan.”

Ellen memberinya tanda "OK", membawa susu dan pergi ke ruang tamu.

William melihatnya datang, dia menepuk tempat duduk di sebelah.

Telinga Ellen memerah, berjalan ke sana, duduk di sebelahnya, dan mengintip koran di tangannya.

William mengulurkan tangan dan memegang tangannya, menggosok jari-jarinya.

Hati Ellen tiba-tiba berdebar kencang, dia menyipitkan matanya, memiringkan kepalanya melihat William dengan tatapan malu-malu dan tersenyum.

Dasar, pagi-pagi sudah menggodanya!

Novel Terkait

Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
3 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu