Hanya Kamu Hidupku - Bab 114 Ellen, Aku Mencintaimu

Karena, dirumah keluargahanya ada satu orang, yang keluar masuk kamarnya tapi tidak pernah mengetuk pintu… …

Saat baru masuk kamar, Ellen sudah mengunci pintu kamarnya.

Sedikit menenangkan diri, Ellen berteriak kearah pintu, “Sebentar.”

Suara membuka gagang pintu tidak terdengar lagi.

Ellen menarik nafas, dengan cepat membuka handuk dibadannya, menggantinya dengan baju tidur kartun, berdiri didepan kaca melihat kanan kiri atas bawah, melihat tidak ada yang tidak beres, baru berjalan kearah pintu, membukakunci pintu, menarik untuk membuka pintunya.

William melihat baju tidur kekanak-kanakan yang dipakai Ellen, alisnya hamper tidak terlihat sedikit mengernyit, melangkah masuk kedalam.

Pipi Ellen memerah, terpaku beberapa detik, lalu menutup pintu.

Disaat ia menutup pintu, ada seseorang yang tiba-tiba mengulurkan tangan, langsung mengunci pintu.

Klik--

Hati Ellen juga ikut menjadi tegang, menaikkan wajahnya yang memerah menatap seseorang.

William melangkah lebar kearahnya, mata Ellen bergetar.

William mengulurkan tangannya, langsung menggendong Ellen seperti boneka besar, memutar badan mengarah ke ranjang kecil warna pink-nya.

Jantung Ellen berdegup kencang, kedua tangannya malah melingkar di lehernya.

Berjalan sampai ke pinggir ranjang, William melepas Ellen yang berdiri diatas ranjang, menjulurkan tangan keatas menarik belakang leher Ellen kebawah, mencium bibirnya.

Karena Ellen berdiri diatas ranjang, sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan dia.

Cara ciuman dari atas kearah kebawah ini, membuat Ellen merasa baru, dan memiliki rasa pencapaian yang tidak dapat dijelaskan.

Ia merasa seperti ratu yang sedang memanjakan laki-lakinya, hehehe… … baiklah, dia terlalu banyak melihat drama busuk!

Mereka berdua sudah lama berciuman, berciuman sampai membuat bibir Ellen terasa kebas, lagipula sambil membungkukkan leher juga sangat tidak nyaman, rasa pegalnya terasa sakit.

“Paman ketiga… …” satu tangan Ellen meraih pelan rambut pendek belakang kepala William, tubuhnya sedikit gemetar, kedua matanya basah dan sedikit menyipit, nafasnya terengah-engah, “Aku, aku merasa tidak nyaman.”

Jakun William bergerak kebawah, memegang pinggul kecil Ellen, memeluk dan menaruhnya kebawah, membiarkan kedua kaki nya menginjak punggung kaki nya, tangan besarnya memegang wajah nya, menundukkan kepala menciumnya dengan menggunakan tenaga.

Ellen dapat merasakan dia tiba-tiba menambah tenaga, dan juga, nafasnya sangat berat.

Tangan lain William memegang pinggul Ellen, di waktu yang cepat, tiba-tiba mengarah kebawah, merogoh masuk baju tidur Ellen yang tebal.

“Paman ketiga… …”

Ellen terkejut, wajahnya memerah, merasa berbahaya, ia menahan tangannya.

Tetapi belum menyentuh tangannya, wajahnya dipegang, tubuhnya ditekan sampai keatas kasur besar yang empuk.

“ Ellen, tidak boleh menolakku, kamu sekarang adalah istriku.”

Mata William yang kelam dan gelap, Ellen seperti tertarik pusaran air dengan kekuatan menarik yangkuat.

Ellen menggelengkan kepala dengan pelan, “Aku bukan ingin menolak, aku, aku takut.”

“Takut apa?” William mencium kening nya.

“… … sakit.” Ellen mengernyit kan alis dengan perasaan bersalah, pengalaman beberapa kali sebelumnya tidak terlalu baik, rasa sakit seperti itu membuatnya tidak ingin mengalaminya lagi.

William mengerutkan alis, menatap Ellen.

Kira-kira mengerti alasan Ellen khawatir dan takut.

Terdiam sejenak, William menaruh dahinya pada dahi Ellen, suaranya pelan, penuh kelembutan, “Kali ini tidak mungkin, percaya Paman ketiga.”

Ellen gundah, “Beneran tidak mungkin?”

“Iya.” Kata William dengan yakin, “Rileks lah.”

“… …” Ellen menutup mata, menghembuskan nafas, “Ok, aku, aku rileks.”

William menatap bingung wajahnya yang gemetar, hatinya sangat lembut, juga tidak tahan.

Punggung tangannya mengelus-elus wajah Ellen, William dengan gerakan lembut dan penuh kehangatan mencium bibir Ellen, “ Ellen, aku mencintaimu.”

Sekujur tubuh Ellen terkejut, matanya terbuka lebar melihat William, bagian kiri perutnya, seperti ada gendang, dung dung dung suara demi suara kian mengeras.

William melepas baju tidur Ellen, ingin menutupi perempuannya yang lembut bagai air dibawah badannya.

Seluruh prosesnya seperti yang dikatakannya, sangat lembut, tapi juga sangat lama, lama sampai-sampai Ellen sudah hampir pingsan, ia tiba-tiba baru merasa memiliki.

Ellen mengerutkan alis secara tidak sadar, menunggu beberapa detik, tidak ada rasa sakit, hanya terasa lemas.

Ellen tak bisa menahan untuk menghembuskan nafas. Setelah seluruh proses, Ellen seperti berendam dalam kolam pemandian air panas, pori-pori di sekeliling tubuh semua terbuka, setiap otot-otot yang ada semua meregang. Kembang api yang ada didalam otak semua meledak pecah, meninggalkan cahaya berwarna-warni. Dan pada akhirnya cahaya itu, semua berubah menjadi putih.

Ellen gemetar tak terkontrol, terperangkap di kedua tangan William, dengan tenaga dan bersusah payah kebelakang punggungnya.

Disaat ini, Ellen seperti memiliki perasaan takut akan cepat mati.

William membalikkan badan berbaring disebelahnya, merangkulnya kedalam pelukan, wajah yang tampan memerah dengan tidak normal, keringat berkucuran di dahinya, tetapi sudut bibirnya yang tipis tersenyum puas.

Ellen dengan lembut bersandar pada dadanya yang keras dan panas, membuka mulut dan menghela nafas pelan, berkedip-kedip dengan imut, terlalu malas bahkan hanya untuk menggerakkan jari.

Mereka berdua bersandar seperti ini untuk beberapa menit.

William menundukkan kepala mencium telinga nya, berkata dengan suara serak, “Merasa enak tidak?”

“… …” Ellen membuka mata, lalu dengan cepat menutupnya rapat-rapat, berpura-pura seperti tidak mendengar apa-apa.

Apa… … yang dimaksud dengan merasa enak tidak?

Sangat memalukan!

William sedang dalam mood yang baik, tak henti-hentinya mencium telinga dan pipi Ellen.

Mencium sampai Ellen mulai gemetar, tidak tahan sampai membuka matanya, menatapnya dengan marah.

Siapa yang tahu kalau sekarang wajahnya sudah memerah, kedua matanya seperti diisi dengan merkuri, sangat bercahaya dan basah, lalu jatuh seperti sutra, dilihat-lihat seperti baru saja dibasahi.

Penampilannya jatuh ke mata William, hati William penuh dengan bisikan, sangat ini begini begitu, tetapi, ia menahannya.

Menghela nafas dengan dalam, William menggigit pipi Ellen dengan keras.

“Sakit.” Ellen berkata dengan manja dan mendorong wajahnya, menggerutu dengan suara lembut.

William tertawa, mencubit hidungnya, “Berpura-pura suci?”

Ellen memutar matanya, menaruh dagunya pada dadanya dengan cemberut, menatap William dengan mata jernihnya yang besar.

William tertawa, “Kenapa menatapku begitu?”

“… …Paman ketiga,kamu… … suka kah?” Ellen bertanya dengan suara kecil, wajahnya memerah.

“… …” Mata William menjadi gelap, lalu menatap Ellen, “Iya.”

Ellen mengedip-ngedipkan mata, menganggukkan kepala, menempelkan wajahnya pada dadanya, berkata dengan rendah, “Baguslah kalau suka.”

Nafas William tiba-tiba menjadi tenang, saat menatap mata dingin Ellen terasa seperti terkumpul perasaan seolah-olah bisa menghancurkan langit dan menghancurkan bumi.

Anak ini!

“Aaa.”

Ellen tiba-tiba berteriak.

Alis William naik, menatap bingung perempuan yang tiba-tiba menaikkan kepala dari dadanya, “Kenapa?”

“… …Paman ketiga,aku tiba-tiba terpikirkan suatu masalah.” Ekspresi Ellen sedikit ketakutan, mata besarnya gemetar.

William sedikit kebingungan, menjadi serius, “Masalah apa?”

Ellen menggigit bibir bawah, giginya yang keras menggigir bibir bawah sampai ada bekas putih.

“Katakan!” William mengernyit, berkata dengan serius.

“… …” Mata Ellen berubah, berusaha menjadi lebih tenang, menatap William dengan ekspresi minta dikasihani.

William menutup mulut, tangan besarnya memegang lembut wajahnya, “Katakanlah, apa yang membuatmu tegang?”

“… …Apa mungkin aku hamil?” Ellen berkata dengan khawatir, tapi juga sedikit malu.

Mata William menjadi tegang, melihatnya tanpa bersuara.

“Beberapa kali ini kita tidak menghitung… … mungkin kah… …” wajah Ellen sudah memucat.

Dia sekarang baru berumur 18 tahun, tidak ingin hamil begitu cepat!

Bahkan dia sendiri masih seorang anak, kalau hamil… … Ellen merasa dirinya akan hancur!

William menatap Ellen sebentar, membuka mulut dengan tenang, “Tidak mungkin.”

Kata William dengan yakin.

Ellen mengernyit, menatap William dengan bingung, “Paman ketiga, kenapa kamu bisa begitu yakin?”

William sedikit mengedipkan mata, “Kamu lupa kamu bulan ini baru datang bulan?”

Ellen terdiam.

Tiba-tiba tersadar, “Betul betul, aku baru datang bulan, kalau hamil tidak mungkin datang bulan. Fiuhh…”

Ellen menepuk-nepuk jantung kecilnya, menghela nafas.

Jantungnya belum benar-benar tenang.

Ellen sudah terpikirkan sesuatu, ia menjadi tegang lagi.

William memandangnya.

“Paman ketiga, kali ini… …” juga tidak mengukur.

Tidak menunggu Ellen selesai bicara, William membuka mulut, “Tenang, kamu sekarang di masa aman.”

“Masa aman?” Ellen tidak pernah memperhatikan masa aman atau bukan, lagipula, ia tidak pernah terpikirkan dirinya begitu cepat… … hm hm.

Karena itu tidak mengerti mengenai semua ini.

Wajah William tenang, “Iya, aku sudah memeriksa, 10 hari sebelum dan setelah datang bulan adalah masa aman, tidak mungkin hamil.”

10 hari sebelum dan setelah datang bulan?

Kalau menurut apa yang dikatakan, 1 bulan 30 hari, 10 hari sebelum dan setelah datang bulan, sudah 20 hari, ditambah beberapa hari datang bulan. 1 bulan hanya ada beberapa hari tidak aman?

Kalau menurut apa yang dikatakannya, sangat aman juga ya.

Ellen berpikir, merasa William juga tidak mungkin membohonginya.

Lagipula dia juga mungkin tidak ingin dia hamil begitu cepat… …

Kalau begini, Ellen menjadi tenang, dia bilang adalah masa aman, kalau begitu hal yang ia khawatir kan tidak mungkin terjadi.

Menurut William, Ellen sudah memilih untuk percaya tanpa syarat.

Tapi kepercayaan Ellen ini, tidak sampai 2 bulan sudah ditampar-tampar, karena… …

William menurunkan pandangan memandang Ellen yang menutup mata dengan tenang didalam pelukannya, mata dinginnya menjadi dalam.

… …

Geralddan Louis Birming hari ke-4 setelah imlek dari kota baru kembali ke rumah lama.

William dan Ellen hari ke-5 setelah imlek kembali ke Coral Pavilion.

Darmi saat hari ke-5 sore setelah imlek dari kampung kembali ke Coral Pavilion.

1 minggu sebelum mulai sekolah SMA kelas 3.

Oleh karena itu Ellen hari ke-10 setelah imlek sudah harus masuk sekolah.

Karena itu dari rumah lama kembali, Ellen sudah harus mulai review pelajaran, mengerjakan PR liburan musim panas.

Sedangkan William di hari ke-2 setelah kembali ke Coral Pavilion sudah harus pergi ke kantor mengurus pekerjaan.

Hari ini, Ellen sedang dalam kamarnya sendiri mengerjakan PR, tiba-tiba telepon genggam diatas meja belajarnya berbunyi.

Ellen menyempatkan waktu melihat telepon genggam, melihat layar telepon genggamnya menunjukkan nomor tidak dikenal, mengganggap itu adalah telepon salah sambung.

Menggenggam pensil dan mau mengulurkan tangan memutus panggilan.

Tidak terpikirkan saat mengulurkan tangan, telepon sudah diterputus.

Ellen mengedip-ngedipkan mata, tidak peduli, saat akan menarik tangan melanjutkan mengerjakan PR.

Tetapi disaat ini, sebuah informasi dari layar telepon genggam muncul.

Novel Terkait

Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu