Hanya Kamu Hidupku - Bab 116 Paman Ketiga, Maafkan Aku

Ellen berkata begitu. Vima yang sedang mengupas udang terdiam sejenak.

Ellen melihat begitu, mata berkedut.

Vima melihat Ellen, mengerutkan kening, bermuka masam, pandangan mata buyar.

"... " Ellen menggenggam erat sumpitnya, tiba-tiba merasa ucapannya terlalu ceroboh.

Lagipula, anak perempuan, mungkin adalah luka yang paling dalam di hatinya.

"Bibi, maaf, aku tidak bermaksud menyinggung kamu. hanya merasa, kamu terlalu baik dengan aku, jadi.... " Ellen dengan tulus melihat Vima, dengan nada suara merasa bersalah.

"kamu mengapa harus minta maaf denganku? kamu tidak ada membuat kesalahan apapun. " Vima dengan cepat kembali seperti biasa, dengan senyum berkata.

Ellen melihatnya, masih merasa bersalah.

"Ellen, apakah kamu bahagia? " Vima melanjutkan mengupas udang, dengan intonasi yang santai bertanya, terlihat seperti tidak memiliki pengertian lain.

Ellen terdiam sejenak. lalu mengangguk kepala, "Ehm."

Vima tidak berkata, menutupi mata, Ellen tidak dapat melihat perasaan dari matanya,

Vima mengupas semua udang yang ada di piring, lalu melepaskan sarung tangan dan melihat Ellen.

Ellen sedang menundukkan kepalanya sambil makan udang, terasa pandangan yang menuju ke arahnya, berhenti sejenak, melihat ke arah situ.

"Makanlah." Vima berkata.

"... kamu juga makan." Ellen menjawab,

"kamu jangan pedulikan aku, aku adalah orang tua, " Vima mengulurkan tangan, memegang kepala Ellen, terlihat dekat.

Ellen memutarkan bola matanya, telinganya mulai memerah, tersenyum tersipu malu terhadap Vima.

Vima tersenyum melihat Ellen, pandangan mata lembut, mengeluarkan sikap keibuan.

Ellen menggigit bibirnya, menutup matanya.

Meskipun Vima tidak menjawab pertanyaannya.

Tetapi dia merasa, dia pasti menganggapnya sebagai putrinya, sehingga dia lebih peduli dan menjaga terhadapnya.

....

Ellen dan Vima selesai makan, pelayan masuk ke ruangan untuk membersihkan peralatan makan, lalu membawa satu teko teh, setelah itu baru keluar dari ruangan, memberi waktu luang untuk mereka berdua.

"Mau dibuka jendelanya ?" Vima bertanya kepada Ellen.

Ellen menggelengkan kepala, "aku takut dingin."

Vima menganggukkan kepala. "kamu tidak tahan dingin."

"Ehm?" Ellen terdiam, bingung melihat Vima, "Bibi, apa yang tadi kamu katakan ?"

Vima, " Maksudku, mungkin kamu bertubuh dingin, soalnya tadi aku menggandeng tanganmu, merasa tanganmu sangat dingin.

"Oo." Mendengar dia berkata begitu, Ellen tidak berpikir lagi.

Vima yang sejak tadi mengerutkan keningnya, dan belum kembali normal.

Mereka berdua saling berbicara, Hp Ellen tiba-tiba berdering.

Ellen mengeluarkan hp dari jaketnya, melihat layar hp, seseorang yang menelpon, langsung berkata kepada Vima, "Bibi, aku permisi mengangkat telpon sebentar."

"Ehm." Vima menjawab.

Ellen berdiri, mengangkat telpon sambil berjalan keluar ruangan.

"Paman ketiga."

"Dimana?" William nada datar berkata.

"... aku bersama Pani sedang diluar jalan-jalan. " Ellen dengan spontan menjawab.

"Jalan kemana ?" William bertanya.

"Sembarang jalan."

Ellen baru keluar ruangan saja langsung merasa dingin, sedikit mengangkat bahu, suara juga sedikit gemetar.

"Suaramu kenapa?" William merasa aneh dengan suara Ellen, bertanya dengan penuh rasa khawatir.

"... Tidak apa, hanya merasa sedikit dingin. " Ellen mengusap hidungnya dan berkata.

"Berjalan ke tempat yang lebih hangat." William menjawab.

"Ehm, Ehm." Ellen menggosokkan kedua tangannya, dengan pelan menggerakkan kakinya.

Ellen baru saja selesai bicara, pintu ruangan terbuka, Vima mengambil jaket Ellen keluar.

Melihat Ellen berdiri di lorong gang sambil gemetar kedinginan, dia mengerutkan kening dan berkata. "Ellen, kenakan jaketnya."

Ellen tidak sempat menutupi hpnya.

"Ellen !"

"... " (⊙﹏⊙)

"Ellen, ada apa ? kenapa dengan ekspresimu?" Vima mengenakan jaket Ellen ke tubuhnya, melihat ekspresi Ellen yang malu, merasa lucu dan bertanya.

Ellen menggigit bibirnya.

Dalam hati merasa ada angin dingin yang meniup.

Mengapa setiap kali dia berbohong, pasti ketahuan terus ?

IQ dia yang bermasalah ?

Vima sedikit kurang mengerti dan menggelengkan kepala, tersenyum kembali ke ruangan, tidak mengganggu Ellen berbicara.

Melihat Vima sudah memasuki ruangan, Ellen langsung minta maaf, "paman ketiga, aku minta maaf."

"Nyalimu sudah besar ya ?" William dengan dingin berkata

".... tidak besar, masih kecil kok !"

"Melawan?"

"Aku minta maaf!"

"Dimana?"

"... Shimao Mall."

Tut tut tut tut...

kata terakhir Ellen baru keluar, telpon sudah dimatikan.

Ellen meletakkan hpnya, melihat layar hp, wajah bergemetar.

....

Setengah jam kemudian.

Sebuah mobil berwarna silver putih model G - TR berhenti di depan Shimao Mall.

Ellen melihat mobil tersebut, langsung berlari menuju kesitu, membuka pintu mobil depan lalu duduk.

Tas dan syal di tumpuk di kaki, Ellen menoleh ke sebelah melihatnya, merapatkan kedua tangan di depan mulut, lalu melihat William, "Paman ketiga, ini salahku, aku tidak seharusnya berbohong bahwa aku sedang bersama Pani, aku sekarang langsung pulang rumah lalu menulis laporan intopeksi diri sebanyak 10.000 kata, jamin tidak akan mengulanginya. paman ketiga, paman ketiga, aku sudah tahu salah, mengerti salahku.

William mengerutkan kening, melihat Ellen, anak ini begitu takut terhadap dia ? meskipun emosi memangnya akan memakan dia ? (Ellen : Paman ketiga, kamu terlalu sungkan, kamu lupa beberapa kali yang lalu, bagaimana kamu terhadapku?)

"Paman ketiga, kamu orang yang berwibawa dan bijaksana, tidak usah membuat perhitungan lagi denganku ya. " Ellen dengan santai memuji William, lebih bagus memuji sampai tidak usah membuat laporan intropeksi diri lagi.

William bertanya dengan dingin, "mana orangnya ?"

"..." Ellen berpura-pura bodoh, "siapa?"

William tidak menjawab, terdiam melihat Ellen.

Ellen mengangkat sudut mulutnya lalu berkata, "sudah pergi."

"Siapa?" William menyipitkan mata.

"... " Ellen tidak berani berkata ! menakutkan, siapa yang bisa menolongnya ? /(ㄒoㄒ)/~~

"Tidak mau bicara ?" Nada suara William tambah dingin.

Ellen mengangguk kepala, "aku ngomong."

William melihatnya.

"... tetapi paman ketiga, kamu harus menjamin setelah aku cerita kamu tidak boleh marah. " Ellen beranikan diri mengatakan permintaannya.

"Ehm." William menjawab dengan cepat.

Ellen, "... " Tidak dapat dipercaya !

"Masih belum mau bicara?" William mengerutkan kening.

".... " Ellen memegang telinganya, dengan pelan berkata, "Dia bibi Bintang."

"... " William terdiam sejenak, melihat Ellen, "Siapa?"

Ellen melirik wajahnya yang penuh dengan penasaran, menggigit bibirnya dan berkata, "Bibi Bintang."

"Ellen, kamu cari mati !"

Emosi semakin meningkat, William menegangkan wajah, melototi Ellen.

Ellen takut hingga mundur ke jendela mobil, memasang muka pucat dan kasihan melihat William, "Paman ketiga, kamu tadi sudah berjanji tidak akan marah?"

Api William sudah membara bagaimana mungkin tidak emosi?!

Wajah William sudah nampak hitam dan bagaikan bisa mengeluarkan tinta hitam, melihat Ellen seperti itu, perasaan mencekik lehernya juga ada.

"Paman ketiga, aku hanya menemaninya makan saja, tidak ada lain." Ellen mengucilkan badan di satu sudut, kedua tangan memeluk tas dan syal di kakinya untuk mencari rasa keamanan.

"Bintang ? dia juga pergi ?"

William bertanya dengan nada suara emosi.

Jika dia berani berkata bahwa Bintang juga ikut, Dia pasti menghancurkan tulangnya!

"Tidak, tidak, tidak, Bintang tidak ikut ! " Ellen dengan cepat menggoyangkan tangannya dan berkata.

"Mengapa dia mengajakmu ? " William melihatnya, "Membantu Bintang untuk mendapatkanmu, lalu menjadikanmu sebagai istri keponakannya ?"

Ellen berkeringat, "Tidak. Kami hanya makan, ngobrol, dan juga,,, "

Ellen mengecilkan suaranya, "Kami dari awal tidak membahas Bintang sama sekali."

William, "...."

Ellen melihat mata William yang penuh dengan rasa ragu, cemberut dan menjawab, "serius tidak bahas!"

Emosi William berkurang, terdiam sejenak, menyipitkan mata melihat Ellen, "Kalau bukan karena Bintang, mengapa dia mengajakmu ?"

Kalau dia menjawab, karena Vima merasa sangat cocok dengannya, dan mengajaknya, dia percaya tidak ?

Ellen melirik William, "Paman ketiga, aku merasa meskipun cerita mungkin kamu juga tidak percaya."

"Jangan banyak ngomong, katakan ! " William dingin berkata.

".... " Ellen diam-diam mengerutkan mulut, dasar pria tua, galak sekali!

Ellen duduk tegak, dan berkata, "Dia bilang cocok dengan aku, melihatku terasa sangat dekat, jadi mengajakku untuk makan dan minum teh."

cocok ? dekat ?

William tegang dan bertanya, "kalian pernah ketemu ?"

Ellen mengangguk kepala, "Pernah ketemu dua kali, pertama kali di depan pintu sekolah, aku bersama Pani keluar dari sekolah, kebetulan berpas-pasan dengan dia yang sedang menjemput Bintang, saat itu ada ngobrol. Kedua kalinya ketemu pas beberapa hari yang lalu aku pergi ke tempat orangtua untuk mengucapkan tahun baru. Yang ini ketiga kalinya."

Bagaimanapun sudah mulai cerita, Ellen juga tidak menyembunyikan, berkata apa adanya.

William mendengar cerita Ellen sampai habis, tidak berkata, terdiam selama beberapa detik.

Setelah itu tidak berkata apapun, tancap gas dan pergi meninggalkan Shimao Mall.

Dan setelah mobil bermerk G - TR berangkat, Vima berdiri di samping Shimao Mall, keluar.

Melihat arah mobil yang berpergian, pandangan Vima terasa rumit.

Sehingga bayangan mobil sudah hilang, Vima baru berpaling pandangannya, mengambil dompet dari tas yang mahal, membukanya.

Selembar foto berdua, Vima dan anak perempuan berumuran empat atau lima tahun.

Anak perempuan mengikat rambut kuncir kuda, poni yang lurus, sepasang mata besar di bawah poni, bagaikan kaca yang cantik.

Vima mengalirkan air mata, mengangkat tangannya yang gemetar, sedikit demi sedikit memegang wajah anak perempuan yang cantik.

Ibu tidak berharap apapun, asalkan kamu hidup bahagia.

Kamu hidup bahagia, sudah cukup.

....

Sekejap mata, Ellen sudah mulai sekolah selama satu bulan lebih.

Dikarenakan SMA kelas tiga, Pelajaran makin susah, Pengajaran di SMA Weiran juga termasuk ketat, setiap murid di kelas tiga semua mengalirkan rasa putus asa.

Ellen setiap hari dari pulang dari sekolah, selalu menutupi pintu kamarnya dan mulai belajar, selain waktu makan dan berbicara dengan seseorang, di waktu lain, William ingin berinteraksi hubungan dengan Ellen, selalu ditolak, menjelaskan bahwa sekarang adalah waktu yang sensi, William harus tanpa syarat menyetujui dan mengerti penjelasannya yang tidak bisa tolak.

Jika William tidak setuju, Ellen akan menggunakan matanya yang berkaca menatapnya, seperti William telah berbuat apa terhadap dia.

Dikarenakan itu William sangat depresi !

Dalam semester ini murid kelas tiga SMA diberi waktu istirahat satu hari di hari Minggu

Jadi suatu hari Sabtu di malam hari, William merasa kesepian dan tidak bisa tidur, tengah malam memasuki kamar Ellen.

Novel Terkait

My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
3 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
3 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu