Hanya Kamu Hidupku - Bab 135 Jangan Memaksa Aku Marah!

"Ah!" Rasa iri dan dengki Rosa sudah sampai titik puncak, dia berteriak sambil memukul alat stirnya dengan wajah yang penuh kebencian.

Ellen Nie, mengapa? Kamu tidak memiliki hak untuk mengandung anak dia!

Kamu tunggu saja Ellen Nie, tunggu!

............

Karena kedatangan Rosa yang mendadak memakan sedikit waktu, pada saat Ellen tiba di Lanyuan, Vima sudah menunggu lama di sana.

"bibi Wen, maaf ya, membuat anda tunggu lama"

Setelah berjumpa dengan Vima Wen, Ellen langsung meminta maaf.

Vima hanya senyum dan menyuruh Ellen jangan peduli banyak.

Vima memegang tangan Ellen dan membuat dia duduk, kemudian Vima memberikan resep dan obat herbal kepada Ellen, "Aku sudah menyuruh ahli herbal itu menulis cara dan jumlah pemakainnya di atas, kamu hanya perlu makan sesuai yang ditulis. Setelah makan satu bulan turut-turut seharusnya sudah bisa melihat hasilnya"

"Maaf telah merepotkan anda" Ellen berkata.

"Tidak apa-apa, masalah kecil saja"

Setelah beberapa saat, Vima mengerutkan alisnya dan menatap ke wajah Ellen yang pucat dengan penuh perhatian, "Ellen, apakah kamu tidak enak badan?"

Ellen melamun sejenak, "Tidak"

Vima menjilat bibirnya dan mengulurkan tangannya untuk memegang wajah Ellen, kerisauan memenuhi wajahnya, "Mengapa wajahmu begitu dingin, kamu kedinginan ya?"

Mata Ellen yang cantik memancarkan cahaya setelah merasakan telapak tangan Vima yang hangat bergerak di pipinya.

Ellen menelan air liurnya sebelum menggelengkan kepalanya, "Tidak dingin kok"

Vima menarik kembali tangannya dan menuangkan secangkir teh hangat untuk Ellen, "Minum dulu untuk menghangatkan tubuhmu"

Ellen menatap ke teh yang dipegang ole Vima Wen, setelah melamun beberapa detik, dia baru mengambil teh tersebut dan berkata, "Terima kasih"

"Kamu ini, mengapa terus mengucapkan terima kasih kepadaku?" Nada suara Vima terdengar tidak berdaya, "Cepat minum, biar tubuhmu terasa agak hangat"

Ellen mengangguk dan mulai mencicipi teh tersebut dengan perlahan.

Vima menatap ke Ellen dengan senyuman lembut, setelah beberapa saat, seolah-olah teringat sesuatu, dia tiba-tiba berdiri dari posisinya.

Karena terlalu buru-buru, bagian perut Vima tertabrak dengan meja, sementara selandang yang membungkusi lehernya juga membuat tas yang berada di atas meja jatuh ke lantai.

Karena seleting tas dalam keadaan terbuka, semua barang yang berada di dalam pun jatuh keluar.

Vima dan Ellen merasa kaget, setelah itu kedua orang ini langsung berjongkok dan mulai mengambil barang-barang di lantai.

Barang yang berada di tas seorang wanita rata-rata adalah alat dandan.

Ellen mengambil lipstik dan bedak dari lantai, kemudian mau meletaknya ke dalam tas Vima Wen.

Tetapi gerakan Ellen berhenti setelah melihat barang-barang yang berada di lantai.

"Aduh, aku terlalu buru-buru.........."

Wajah Vima agak memerah, dia berkata sambil menatap ke Ellen dengan ekspresi malu.

Kemudian, pada saat melihat ekspresi Ellen, jantung Vima mengerat, dia melihat ke arah yang sedang di tatap oleh Ellen.

Tatapan mereka berdua tertuju ke sebuah dompet warna ungu muda, dompet itu jatuh ke lantai dalam keadaan terbuka, di posisi yang paling mudah dilihat menjempit selembar foto yang sudah agak kuno.

Ekspresi Vima langsung memucat, dia langsung mengulurkan tangannya untuk mengambil dompet itu.

Tetapi gerakan Ellen lebih cepat, pada saat tangan Vima mau menyentuh dompet, dia sudah mengambil dompet tersebut.

"Ellen.........." Vima melihat ke Ellen dengan mata membesar.

Ellen memegang dompet itu dengan erat dan menatap ke foto di dalam dompet itu tanpa berkedip mata.

Ellen sangat mengenal gadis kecil yang sedang senyum dengan polos di dalam foto itu.

Gadis ini jelas adalah......... Ellen waktu kecil!

Sementara wanita yang berdiri di samping gadis memiliki rambut yang panjang, dia mengenakan kemeja putih dan gaun panjang yang memiliki gambar bunga kecil, sama dengan Ellen, wanita ini juga memiliki sepasang mata yang besar, hidung yang mancung dan mulu yang cantik.......

Wanita ini........

Setelah menatap foto itu beberapa saat, mata Ellen pun langsung memerah.

Mungkin Ellen masih merasa sangat asing dengan Vima yang sekarang, tetapi dia sangat mengenal wanita di dalam foto ini.

Ellen mengira dirinya sudah mau lupa............ bagaimana penampilan ibunya.

Pada saat penampilan ibunya muncul di depan Ellen, Ellen baru sadar ternyata dia tidak pernah melupakan ibunya.

Air mata yang seperti mutiara terus mengalir dari mata Ellen yang besar ke foto yang berada di dalam dompet itu.

Air mata Ellen membasahi foro itu.

Ellen sibuk mengeringkan foto itu dengan tangannya, gerakannya sangat buru-buru tetapi hati-hati, Ellen sangat takut dirinya merusak foto itu kalau gerakannya terlalu ceroboh.

Pada detik itu, air mata langsung membasahi mata Vima, tubuhnya terus bergetar, hatinya terasa sangat sakit setelah melihat gerakan Ellen, "Ellen......."

Gerakan Ellen berhenti, dia mengangkat kepalanya dan melihat ke Vima secara perlahan.

"Ellen"

Vima merasa sangat sakit hati, dia mengulurkan tangannya mau memegang tangan Ellen.

Siapa tahu, pada saat tangan Vima mau menyentuh tangan Ellen, tubuh Ellen malah gemetaran, dia memberikan dompet Vima kembali kepadanya, kemudian langsung mengambil tas di kursi dan lari keluar dari ruangan dengan wajah pucat.

"Ellen, Ellen......."

Vima menangis dengan suara dan sibuk menyimpan barang-barang yang masih berada di lantai ke dalam tas sebelum mengejar keluar.

Karena harus membayar, Vima akhirnya tidak sempat mengejar Ellen.

Vima memegang tasnya dengan erat dan berdiri di pintu gerbang restoran dengan tatapan yang dipenuhi oleh kesedihan dan kebingunan,

Ellen.... anakku.

.....................

Coral Pavilion, William buru-buru kembali ke rumah pada saat jam 6 sore.

Hal pertama yang dia lakukan setelah masuk ke dalam rumah adalah bertanya tentang keberadaan Ellen.

Darmi kemudian memberi tahu William bahwa Ellen sedang berada di taman bunga.

William pun langsung berputar balik badannya dan pergi ke taman bunga.

Melihat William yang berjalan ke arah dengan langkah cepat, Darmi pun tertawa.

Tetapi sudut mulut Darmi tenggelam lagi ketika dia teringat dengan kedatangan Rosa siang tadi, pada saat itu Darmi pun memutuskan harus memberi tahu masalah ini kepada William nanti.

...........

Sampai di taman bunga, tatapan dingin William melihat ke sekeliling untuk mencari bayangan tubuh Ellen.

Setelah melihat satu putaran, William tidak melihat Ellen.

William menjilat bibirnya dan berjalan ke arah belakang.

Setelah berjalan beberapa saat, William mendengar suara tangisan.

Jantung William mengerat, dia langsung mempercepat langkahnya dan melihat Ellen yang sedang menangis dengan posisi berjongkok di lantai sambil memeluk kakinya.

William langsung menghampiri Ellen dan mengendongnya.

"Ah............"

Gerakan William membuat tubuh Ellen bergetar karena terkejut, dia menoleh ke William dengan air mata membasahi seluruh wajahnya.

Ketika menyadari orang yang mengendongnya adalah William, air matanya pun mengalir semakin cepat.

William menggesekan tubuh Ellen membuat dia melingkari kedua kakinya di bagian pinggang William, sementara William memegang pinggangnya dengan satu tangan, satu tangannya lagi mengelus wajah Ellen, William menatap ke Ellen dengan wajah gelap, "Kamu kenapa menangis?"

Ellen hanya mengembangkan mulutnya dan tidak berbicara.

William merasa sakit hati dan marah, dia menyeka air mata Ellen dan berkata dengan nada suara kaku, "Jangan memaksa aku marah, jawab waktu aku bertanya!"

"........." Ellen begitu sedih sekarang, dia masih begitu jahat?

"Uh............" Ellen menangis sambil membenturkan kepalanya ke dahi William dengan marah.

Setelah membenturkan 2x, Ellen pun menyerah.

Karena Ellen menyadari, yang lebih sakit adalah dia!

Ellen mengelus dahinya yang memerah dan melirik ke William dengan mata yang dipenuhi air mata.

Wajah dingin William bergetar 2x, merasa benar-benar tidak berdaya, William menarik nafas secara diam-diam sebelum melembutkan nada suaranya, "Beri tahu paman ketiga, apa yang terjadi?"

"Paman ketiga" Ellen memanggilnya dengan nada suara serak, Ellen memeluk leher William sambil menempel pipinya yang basah ke wajah William.

Karena gerakan Ellen ini, pipi William pun dibasahi oleh air matanya.

Hati William terasa sakit, dia menyadari sepertinya Ellen benar-benar telah ketemu dengan masalah yang membuat dia sedih dari dalam hati, kelembutan dan kasih sayang mulai muncul di wajahnya, tangannya yang mengelus pipi Ellen bergeser ke belakang dan menepuk bagian belakang Ellen dengan lembut, "Bolehkah kamu beri tahu paman ketiga?"

Ellen memeluk leher William dengan erat dan menangis sampai tubuhnya bergetar.

Melihat Ellen tetap tidak mau berkata, William menjilat bibirnya dan berhenti memaksa.

William mengendong Ellen dan mulai berjalan setelah berputar balik badan.

William berjalan sampai tempat yang memiliki kursi goyang.

William duduk di atas kursi tersebut, sedangkan Ellen duduk di atas pahanya.

Seperti seorang anak kecil, Ellen melingkari tubuh William dengan kedua tangan dan kakinya, kepalanya menyandar di bahu William, air mata yang mengalir dari mata Ellen pun membasahi kera kemeja William.

Alis William mengerut, dia mencium telinga Ellen dengan lembut dan tidak memaksa meminta Ellen untuk berkata lagi.

Ellen memejamkan matanya dan menangis sampai hidungnya tersumbat.

William mengangkat kepalanya dan mengelus kepala Ellen dengan lembut, dari waktu ke waktu, dia akan mencium ujung alis, sudut bibir dan dagu Ellen.

Setelah waktu yang lama, akhirnya Ellen pun lebih tenang.

Meskipun tubuhnya masih gemetaran, paling tidak tangisan Ellen sudah berhenti.

Melihat situasi ini.

William baru memegang leher Ellen dengan lembut dan menarik dia keluar dari pelukannya, satu tangannya lagi memegang lengan Ellen, melihat mata Ellen yang menjadi bengkak, William merasa sangat sakit hati, kemudian dia pun berkata dengan suara jernih dan lembut, "Apakah sekarang sudah bisa beri tahu aku?"

Mendengar pertanyaan William, air mata Ellen yang baru saja berhenti mengalir pun mulai jatuh lagi dari matanya.

William mengerutkan alisnya dan menatap ke Ellen dengan tatapan tenggelam.

Ellen mengedipkan matanya, hal ini membuat air matanya mengalir.

Alis William pun semakin mengerut.

Dia tidak pernah melihat Ellen menangis sampai begitu sedih, kesedihan yang seolah-olah keluar dari tulangnya.

Berpikir sampai sini, ekspresi William menjadi semakin serius, "Ellen........"

Pada saat William baru saja bersuara, Ellen langsung melingkari lehernya dan mencium bibir William.

Tatapan William pun semakin mendalam.

Novel Terkait

A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu