Cinta Setelah Menikah - Bab 83 Tifanny Wen Terjadi Sesuatu (2)

Bersamaan dengan saat ini, tangan lelaki yang satunya lagi, menutup mulutnya.

“pelacur, apa yang kamu teriakkan? Kami tidak menginginkan nyawamu, hanya ingin kamu menikmatinya.”

Lelaki itu seharusnya sangat terkejut Tifanny Wen tiba – tiba tersadar. Saat ini, dia sudah sangat panik. Hanya saja sudah sampai tahap ini, sudah tidak bisa dibereskan lagi. paling tidak hanya bermain Beberapa kali, lalu di bunuh orang.

Lepaskan tangan? Jika tidak naik mobil mungkin masih bisa lepaskan. Tetapi setelah melihat Tifanny Wen Secara dekat, lelaki itu merasa “keromantisan yang menjadi hantu di bawah Bunga peony” ini benar – benar nyata!

Benar – benar sangat cantik!

“Tifanny, jangan takut….” saat ini, ucapannya sangat lembut. Hanya melihat ke arah Tifanny Wen dan mengulurkan tangannya, sama sekali tidak ada pemikiran untuk berhenti.

Tifanny Wen mengedipkan matanya, melihat Beberapa lelaki yang menangkapnya, saat ini, kakinya yang awalnya tidak bergerak tiba – tiba menaikkan kakinya, seakan menendang, langsung menendang ke arah wajah lelaki itu.

Tifanny Wen menggigit bibirnya erat, berharap kesakitan ini dapat membuat dia sedikit rasional, lebih berani. Meskipun tubuhnya lelah dan tidak punya tenaga, tetapi ketepatannya tidak berkurang. Tendangannya saat ini, langsung menendang tepat di wajah lelaki itu.

Lelaki itu berteriak “aa”, memijat wajahnya dan berkata: “sial, perempuan ini hebat juga.”

Menunggu saat sakit di wajahnya menghilang, melihat Tifanny Wen melepaskan diri dari seorang.

Wajah perempuan ini meskipun pucat, tapi dapat dilihat, seiring berjalannya waktu perempuan ini semakin tenang, matanya tidak terlihat takut justru terlihat pintar.

Jika bukan karena bibirnya yang berdarah itu terlihat kasihan, mereka justru merasa kalau perempuan ini yang masuk ke mobil dan mengerjai mereka.

Preman seperti mereka, pasti hebat. Karena itu, Tifanny Wen saat ini hanya bisa berusaha melepaskan diri dari mereka, setelah melepaskan tangannya dia langsung membuka pintu mobil yang tadinya terkunci.

Tifanny Wen tahu keadaannya saat ini, melihat pintu mobil yang terbuka, juga tidak dipukuli, langsung berguling keluar.

Hanya saja saat kakinya baru menginjak tanah, seorang lelaki langsung memarahi “sial” dan menarik tangannya.

Tifanny Wen mengeluarkan tangannya dengan sekuat tenaga, tiba – tiba saja, perasaan pusing itu tiba – tiba datang kembali. Matanya tiba – tiba sangat berat, tubuhnya sulit untuk berdiri, sudah tidak ada tenaga lagi.

Detik berikutnya….

Tifanny Wen sudah pingsan, jatuh ke pelukan seorang laki – laki….

Sedangkan, lelaki yang memeluknya, bukan seorang lelaki antara kelima preman itu. Justru adalah orang asing yang….. “kebetulan lewat”?

Jika dibilang orang asing, juga bukan.

Biasanya, orang asing itu, untuk menunjuk orang yang tidak dikenal.

Tetapi lelaki ini….

“aa? Direktur… direktur Jiang…”

Lelaki yang memegang tangan Tifanny Wen ini, saat melihat lelaki lain yang muncul di depan mobil, tiba – tiba menjadi takut.

“orang asing” ini, bukan orang lain, tetapi adalah Raymond Jiang.

Sebenarnya jika dibilang “orang asing”, juga bukan.

Hanya karena, dia datang kesini karena tahu mobil Tifanny Wen terparkir di sini.

Alasannya, sangat gampang: dia mencari reporter. Bahkan memerintah reporter itu untuk mengikuti mobil Tifanny Wen sepanjang hari.

Perhatian ini, semenjak ada gosip buruk tentang Juwita Wen.

Tujuannya mencari reporter, adalah ingin mencari tahu investor utama Tifanny Wen, sebenarnya siapa.

Dari yang Raymond Jiang lihat, jika bisa mendapat foto Tifanny Wen dan investornya itu, maka, dia akan hancur setengah.

Tidak terpikirkan, malam ini, reporter tiba – tiba menghubunginya, berkata: Tifanny Wen setelah kembali dari lokasi drama, mobilnya justru berhenti di jalan Jiangnan, berhenti di tengah hujan, tidak jalan, juga tidak tahu apa yang terjadi.

Lalu….

Begitu Raymond Jiang mendengar telepon ini, dia langsung berangkat.

Setelah itu…

Dia baru sampai ke sini, dan melihat kejadian Tifanny Wen keluar dari mobil.

Setelah itu..

Terjadilah seperti ini.

“direktur Jiang, apakah perlu lapor polisi?” saat ini, reporter yang mengikuti di belakang Tifanny Wen, yang setelah tahu apa yang terjadi, akhirnya berani mendekat. Melihat Tifanny Wen yang pingsan, dia langsung turun dari mobil dan berkata kepada Raymond Jiang.

Sedangkan kelima lelaki yang ada di mobil Tifanny Wen itu, sudah panik sejak awal. Di situasi seperti ini, mereka sudah tahu tidak akan berhasil, bahkan akan ada masalah besar.

Karena itu, saat melihat Raymond Jiang, mereka langsung keluar dari mobil, dan berlari, mana mungkin masih mem-pedulikan Tifanny Wen?

“tidak usah. Masalah tadi, apakah kamu sudah memotretnya?” Raymond Jiang melihat ke arah preman itu berlari, justru tidak ada niat untuk lapor polisi, juga tidak ada niat untuk mengejar, hanya bertanya kepada reporter.

“tidak. Masalah di dalam mobil, tidak akan ketahuan apa. Hanya saja foto saat lelaki itu masuk mobil Tifanny Wen sudah ada. Pasti juga tidak ada gambaran kekerasan. Nona Tifanny Wen ini… punya kehebatan?” ucap reporter itu.

“kamu pergi dulu saja. Lain kali baru ikut lagi.” ucap Yansen Mu, “dia demi berperan di film aksi, dari kecil sudah belajar bertarung.”

Begitu reporter itu mendengar, saat bersiap pergi, melihat Tifanny Wen dalam keadaan tidak tersadar, tidak bertahan untuk bertanya: “nona Tifanny ini…”

“demam. Kepalanya sangat panas.”

Raymond Jiang berkata, lalu tidak mem-pedulikan reporter itu lagi. memeluk Tifanny Wen dan berjalan ke mobilnya….

…..

Satu menit kemudian, Raymond Jiang membawa Tifanny Wen pergi, menuju ke Rumah sakit terdekat.

Dalam mobil.

Raymond Jiang memiliki sopir pribadi, yang menyetir bukanlah dia. Dia memeluk perempuan yang sedang panas ini duduk di kursi belakang, tiba – tiba mengeluarkan ponsel, mengirim pesan kepada seorang perempuan.

“Nara Gu, bukankah kamu mau semua data tentang Tifanny Wen, bahkan, ingin mengetahui kegiatannya saat ini? Sekarang dia, sudah pingsan. Pingsan di jalan Jiangnan, hampir….”

Setelah Raymond Jiang mengirim pesan, dia menambahkan sebuah kalimat lagi: “nona Nara, kamu pernah berkata, akan membantu Juwita Wen. Sekarang keadaannya ini… menurutmu, harus bagaimana?”

Jika Tifanny Wen melihat Raymond Jiang mengirim pesan kedua ini, pasti akan sangat terkejut: di belakang Juwita Wen, ternyata adalah….

Novel Terkait

My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu