Ternyata Suamiku Seorang Milioner - Bab 18 Sangat Berhati-hati Terhadapnya

Hingga saat ini ia selalu menyalahkan kecerobohannya, bisa-bisanya menganggap Wallace seorang supir.

Tetapi mengapa Wallace tidak pergi kerja? Dulu asisten ayah selalu mengikuti ayah seharian, mungkinkah karena ia dan ayahnya adalah keluarga sehingga ia mendapat perlakuan khusus?

Saat ia memikirkan itu pintu kamar mandi terbuka, Wallace keluar hanya dengan handuk yang membelit pinggangnya.

Victoria menoleh dan berkata, "Alangkah cepatnya!"

Ini baru berapa menit.

Wallace memandang lemari bajunya yang terbuka lebar, lalu mengibaskan rambutnya. "Ya," katanya, cuma mandi saja tentu saja cepat!

Victoria menjelaskan, "Aku mau mengambil selimut untuk digelar di lantai," lalu ia bertanya, "Di mana selimutnya?"

Wallace mengambil baju tidur di lemari. "Tidak ada selimut lebih, naiklah ke kasur."

Victoria sangat terkejut.

"Atau turunlah minta selimut pada ibuku, kita tidur bersama juga tidak pantas, toh kita hanya pura-pura pacaran," ujar Wallace, ia sebenarnya mengisyaratkan kalau Victoria tak bisa mengambil selimut karena mereka hanya pura-pura pacaran, nanti ibu curiga.

"… Tidak usah," jawab Victoria sambil menggelengkan kepala, ia memahami isyarat itu.

Ia naik ke kasur.

Wallace mengambil lagi gaun tidur dari lemari dan memberikannya pada Victoria. "Pakailah."

Victoria menoleh, melihatnya membawa gaun tidur untuk pria ia merasa ragu.

Wallace maju dan menyuruhnya menerimanya. "Ambil dan pakailah, masa kau mau tidur pakai mantel mandi?"

Victoria mengambilnya, ia terpaksa ke kamar mandi dan berganti gaun malam.

Saat ia keluar lampu kamar telah dimatikan, hanya lampu di atas bantal yang menyala, Wallace sudah di atas ranjang membaca majalah, ia menempati setengah bagian kasur.

Victoria mendekat dengan ragu-ragu, ia mengangkat selimut dan berbaring di kasur.

"Kalau begitu aku tidur duluan," kata Victoria, ia berbaring di bagian paling ujung kasur dan membelakangi Wallace dan menggulung tubuhnya.

Pandangan Wallace terarah pada tubuh Victoria, melihatnya tegang tidur bersama hingga bahunya terlihat kaku, Wallace tak tahan tertawa, perempuan ini tidak takut tengah malam nanti jatuh saat tidur.

Ia meletakkan majalahnya, lalu bergeser sedikit ke arah Victoria, tangan kanannya menahan tubuhnya di kasur, tangan satunya dijulurkan melewati Victoria untuk mematikan lampu, Victoria malah bangkit dan duduk sambil menutupi dadanya dengan selimut.

"Kau… Sedang apa?" Tanyanya.

"Mematikan lampu," jawab Wallace santai.

Setelah berkata demikian, ia mematikan lampu di sebelah satunya, kemudian ia bergeser, menyisakan jarak dua lengan di antara dirinya dan Victoria, ia menyelimuti diri dan berbaring.

Victoria merasa canggung, ia menyadari kelakuannya keterlaluan. "Maaf," katanya.

Wallace memejamkan mata.

Victoria berbaring kembali, ia memberanikan diri mendekat dan bertanya, "Apa kau marah? Maaf, aku… Akhir-akhir ini agak sensitif."

Wallace menghela nafas dan berkata, "Tidak, tidurlah."

"Oh…" Victoria bergumam, "Kau yang terlalu dekat."

Wallace tak bisa apa-apa, kelinci mungil ini takut padanya, takut ia melakukan apa-apa, ia malam ini tidak menguliti dan menelannya hidup-hidup karena merasa bersalah membuatnya merasa ketakutan begitu.

Saat ia menoleh untuk bicara, ia melihat Victoria sudah memejamkan matanya dan tertidur, cahaya remang jatuh di wajahnya, bulu matanya membentuk bayangan di wajahnya.

Ia bangkit lagi mematikan lampu di sebelah Victoria, lalu tidur di samping Victoria, satu lengannya dimasukkan ke bawah bantal, tak lama ia pun juga terlelap.

Sinar rembulan memasuki jendela, malam itu begitu sunyi.

Cahaya lembut di pagi hari menembus tirai dan jatuh di wajah Victoria, beberapa helai rambutnya jatuh di mukanya dan menutupi kulit putihnya yang lembut.

Wallace menarik lengannya, ia berusaha tenang dan mengendalikan diri melihat wanita cantik yang masih tertidur nyenyak di depan matanya.

Victoria berjaga-jaga sepanjang malam, hingga posisi tidurnya masih tetap, masih menggulung tubuhnya.

Apakah ia setakut itu pada Wallace?

Memikirkan itu, sudut bibir Wallace menampakkan kesepian.

Bulu mata lentik itu berkedip, Victoria membuka matanya, ia mengangkat tangannya menghalangi sinar matahari yang menusuk mata, lalu membalikkan tubuh.

Melihat Wallace yang sudah bangun dan sedang menatapnya, ia sangat terkejut, tetapi karena pendidikannya yang baik ia tak berteriak karena takut mengagetkan ibu Wallace.

"Kamu tidur seperti ini semalanan, apa tidak capek?" Tanya Wallace.

Victoria menenangkan diri, mendengar pertanyaan Wallace, ia tak banyak bicara, hanya menarik selimut menutupi dirinya rapat-rapat.

Wallace menahan tawa, ia turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, sebelum menutup pintu ia berkata, "Cepat ganti baju."

Klap… Suara pintu yang tertutup itu menjadi pemisah antara Wallace dan Victoria yang sedang tertegun.

Victoria mengambil pakaian dan memakainya dengan santai.

Wallace berpegangan pada sisi wastafel, ia melihat cermin dan melihat dirinya yang sedikit kacau. Dasar, pagi-pagi begini bisa-bisanya tubuhnya bereaksi pada perempuan itu!

Ia menyalakan keran dan mencuci mukanya dengan air dingin, sekarang ia nampak jauh lebih baik.

Victoria telah berganti baju dan bersiap untuk keluar, Wallace kebetulan juga keluar dari kamar mandi. "Kau keluar begini saja?"

Victoria tidak paham.

"Ibuku tidak suka dengan penampilan yang berantakan," ujar Wallace dengan dingin.

Wallace mengabaikan Victoria yang diam kebingungan, ia berjalan ke pinggir kasur dan membuka mantel tidurnya, menampakkan tubuh kekarnya.

Victoria menundukkan kepala malu, ia menelan ludah, ia bukannya tak mengerti maksud perkataan Wallace, hanya saja semua peralatan mandinya ada di kamar bawah yang ditempati ibu Wallace, ia harus bagaimana lagi.

Tetapi sekarang Wallace telah melepas pakaian, dan ia juga tak membolehkannya keluar, Victoria terpaksa sembunyi di kamar mandi.

Setelah masuk, Victoria baru menyadari, semua peralatan mandinya telah tertata rapi di atas wastafel.

Saat keluar dari kamar, Wallace mengangkat lengannya, Victoria dengan terpaksa menggandeng lengannya.

Ibu Wallace tersenyum lebar karena melihat pagi-pagi kedua orang ini sudah begitu mesra.

Ruang makan telah dipenuhi aroma susu sapi, sarapan sudah siap di atas meja, ibu Wallace duduk diam di meja makan, sangat jelas ia sedang menunggu kedua orang itu.

Victoria semakin merasa malu, ia sebagai pembantu tak hanya tidak melakukan apa-apa, tambah lagi sekarang membuat ibu Wallace menunggu, wajahnya pun sedikit memerah.

Wallace mengerti perasaan Victoria, ia tahu Victoria malu, tetapi di mata ibu Wallace, wajah gadis itu memerah karena apa yang mereka lakukan kemarin malam.

Ibu Wallace melihat Wallace, wajah ibu Wallace yang biasa serius juga tersenyum hingga ke matanya. Wallace mengangkat wajahnya, tatapannya tak sengaja jatuh pada senyuman ibunya, ia terkejut, ia pun cepat-cepat menunduk dan makan lagi.

"Aku sudah selesai makan, aku pergi dulu, tante… Wallace… Kalian makan saja pelan-pelan!"

Victoria meletakkan cangkir dengan canggung, lalu menyambar ranselnya dan keluar.

Ia memanggil taksi di luar dan pergi sekolah.

Sudah tidak pagi lagi, hampir semua orang sudah sampai di sekolah, bahkan sepertinya hampir semua sudah masuk ke kelas, hanya sedikit orang yang masih di luar.

Victoria mengabaikan pandangan orang di sepanjang jalan, ia masuk ke kelas, dadanya merasa sesak karena melihat orang-orang yang memuakkan itu, tetapi dilihat dari luar ia tetap pura-pura tenang.

Novel Terkait

My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Beautiful Lady

Beautiful Lady

Elsa
Percintaan
3 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu