Ternyata Suamiku CEO Misterius - Bab 338 Dia Sudah Mati (2)

Bianca Ye membiarkan dirinya masuk ke pelukan ibunya dan menangis, sambil menangis dan berkata, "Bagaimana mungkin kak Yolanda bisa mati? Dia begitu hebat, bagaimana dia bisa mati?"

Christy Mu menepuk punggungnya dengan ringan dan membujuknya seperti saat kecil dulu, "Anak baik, menangislah jika kamu mau."

"Apa yang bisa kakakku lakukan, dia begitu menyukai kak Yolanda, hu hu hu... Mengapa Tuhan begitu tidak adil?"

Christy Mu mendesah pelan, matanya memerah dan berkata, "Dunia ini pada dasarnya memang tidak adil."

Yang meresponnya adalah suara tangisan putrinya yang lebih keras.

Di malam hari, Evardo Ye terbangun lagi. Dia melihat ke langit-langit putih, teringat dengan kata-kata Juna Duan, lalu air matanya menetes di sudut matanya.

Tidak heran, Yolanda Duan sudah lama tidak menghubunginya. Tidak heran, dia memimpikan sesuatu yang begitu sial, ternyata benar-benar terjadi sesuatu pada Yolanda Duan...

Yolanda Duan, bukankah aku sudah memintamu untuk menjaga diri sendiri? Bagaimana kamu menjaga dirimu sendiri? Apa yang harus kulakukan jika kamu pergi?

Di ruang tamu di lantai bawah, ketiga orang itu saling memandang diam-diam. Ericko Ye berkata setelah waktu yang lama, "Aku akan menghubungi komandan Duan agar Edo bisa melihat Yolanda untuk terakhir kalinya."

"Boleh juga." Christy Mu setuju, "Kalau tidak, dia juga tidak akan percaya dengan fakta ini selamanya. Bagus juga jika perasaannya mati sepenuhnya."

Bianca Ye meringkuk dan terisak di samping ibunya.

Ericko Ye menghubungi kembali panggilan terakhir di ponsel putranya. Panggilan itu berdering lama sebelum diangkat.

“Halo, kepala senior Duan, aku Ericko, ayah dari Evardo,” Ericko Ye melaporkan diri.

"Halo." Sikap Juna Duan tetap acuh tak acuh, kesannya terhadap keluarga Ye benar-benar sudah hancur.

"Aku telah mendengar kabar kurang mengenakkan ini dari Evardo, dan dia sangat sedih sekarang."

Juna Duan tidak berbicara di sana. Ericko Ye mengira bahwa dia juga bersedih, jadi dia melanjutkan, "Aku ingin meminta pendapatmu, bolehkah Evardo pergi ke tempat peristirahatan Yolanda untuk terakhir kali? Bagaimanapun, kedua anak ini..."

“Tidak perlu,” Juna Duan dengan tegas menolak. “Ketentaraan kami mempunyai peraturan dan dia tidak boleh berpartisipasi. Sampai disini dulu, aku masih sibuk.” Juna Duan tidak memberinya kesempatan dan langsung menutup telepon.

Ericko Ye mendengarkan suara 'BIP' di sana, menurunkan ponselnya dengan lemah dan mendesah, "Dia bilang tidak boleh."

Namun, kenapa dia mendengar adanya kemarahan dalam nada suara Juna Duan, dan justru bukan kesedihan?

Lantas, apakah dia bersiap untuk membalaskan dendam Yolanda Duan?

"Aku akan naik ke atas untuk melihat Edo," Christy Mu bersiap untuk bangun, tetapi Ericko Ye menahannya, "Jangan pergi, biarkanlah dia sendirian. Setelah dua hari ini, dia pasti akan menjadi tenang."

Christy Mu menunjukkan pesimisme tentang ini, "Terakhir kali dia mengatakan bahwa Yolanda adalah separuh nyawanya, dan sekarang separuh nyawanya sudah hilang, tidak tahu kapan dia akan bisa bangkit kembali."

"Kita harus percaya pada Edo. Dia adalah anak laki-laki yang kuat, dia pasti akan melaluinya kali ini."

"Hei, kita hanya bisa berharap seperti ini."

Di kota B yang jauh.

Setelah beberapa hari dalam perawatan, pendengaran telinga kiri Yolanda Duan tidak ada peningkatan kecuali untuk mendengar suara keras, sedangkan telinga lainnya benar-benar tidak bisa mendengar apa-apa.

Dia pun menjadi berkecil hati secara perlahan.

"Kepala senior, kami telah melakukan yang terbaik. Sekarang, pasien yang telah pulih ke tingkat ini sudah merupakan hasil yang sangat bagus," kata dokter dengan perasaan bersalah.

Hanya dalam beberapa hari, rambut Juna Duan pun banyak yang memutih. Seluruh dirinya juga tampak layu. "Kalau begitu, apa maksudmu sekarang?"

"Lebih baik untuk pulang ke rumah dan pelan-pelan memulihkan diri," Dokter itu berhenti sebentar, lalu menyarankan, "Kita juga dapat memasangkan alat bantu dengar untuk sementara waktu, sehingga ketika pihak lain berbicara dengan keras, dia bisa mendengarnya sedikit-sedikit dan juga bisa memberikan umpan balik kepada pihak lain. Jika dia tidak berbicara dalam waktu lama, aku khawatir jika pita suaranya akan terpengaruh."

"Lakukan saja seperti yang kamu katakan."

Yolanda Duan telah mengalami banyak kisah hidup dan mati. Oleh karena itu, dia adalah orang yang sangat terbuka. Ketika dia melihat dokter membawa alat bantu dengar, dia hanya tersenyum dan menerimanya.

Memakainya di telinga kirinya, dia bisa mendengar sedikit suara. Selama periode perawatan ini, dia juga bekerja keras untuk belajar bahasa bibir, jadi jika pihak lain berbicara dengan perlahan, dia bisa menebak maksud perkataannya secara umum.

“Bisakah kamu mendengarku?” Juna Duan berkata dengan keras lalu kembali mengecil.

Yolanda Duan akhirnya mendengar suara ayahnya. Dia mengangguk bahagia dan berkata dengan suara serak, "Aku mendengarnya."

Karena tidak berbicara untuk waktu yang lama, maka pita suaranya pun sedikit sakit. Itu agak sulit untuk diucapkan, tetapi itu sudah merupakan hasil yang sangat baik untuk dia dan ayahnya.

Yolanda Duan meminum seteguk air dan lanjut berkata, "Ayah, aku mendengarmu."

Mata Juna Duan langsung memerah, "Baiklah, mari kita pulang."

"Ya."

Rumah Yolanda Duan di kota B adalah rumah pekarangan yang sangat berharga dan kuno. Rumah ini diturunkan dari leluhurnya. Juna Duan dan Yolanda Duan tinggal di sini sesekali ketika mereka datang ke kota B.

Ada sebuah guci air besar di tengah-tengah halaman yang luas, di dalamnya ada beberapa ikan besar, juga beberapa bunga lili air yang mengapung di atasnya, sangatlah indah. Di sebelah guci air ada rak anggur, karena umur pohonnya sangat panjang, maka tanaman merambat hijau itu hampir menutupi sebagian besar halaman. Anggur yang belum matang itu seperti sekelompok zamrud yang sangat lucu.

Juna Duan membuka pintu sebuah kamar yang masih ditutupi dengan batu bata biru besar. Jendelanya bersih, hanya saja tempat tidurnya kosong. Dia membuka sebuah lemari dan mengeluarkan selimut di bawahnya lalu kemudian berkata, "Cuacanya cukup bagus hari ini, pas sekali untuk menjemur seprainya."

Dia membelakanginya dan tidak berbicara dengan keras, jadi Yolanda Duan tidak mendengar apa yang dia katakan, tetapi telah menebaknya dari apa yang dia lihat.

Ayah dan putrinya itu menjemur selimut, membersihkan kamar, dan akhirnya memindahkan bangku kecil untuk duduk di bawah rak anggur untuk memetik sayuran. Sayuran itu dibeli oleh Linardi, dia juga akan bertanggung jawab untuk memasak nantinya.

Yolanda Duan berpikir, Hari yang begitu santai ini tidaklah buruk.

Meskipun ada banyak sekali yang hilang.

Duduk dan makan di bawah rak anggur, Yolanda Duan mengontrol besar kecil suaranya sendiri. Dia batuk beberapa kali dan mencoba berkata, "Ayah, aku ingin didemobilisasi."

Sumpit di tangan Juna Duan dan Linardi pun berhenti.

Yolanda Duan telah memikirkan masalah ini untuk waktu yang lama. Dia tidak bisa melakukan apapun lagi di ketentaraan sekarang. Dia lebih tidak bisa menerima belas kasihan dari orang lain. Dia tidak ingin membebani ketentaraan, jadi dia hanya bisa mendemobilisasi dirinya sendiri.

Novel Terkait

Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu