Wanita Pengganti Idaman William - Bab 341 Menghukumnya Dengan Kejam

Bandara Frange, Negara M.

Jessy yang tampangnya sangat mirip dengan Jeanne, dia mengenakan rok pendek yang berwarna terang, dan memakai kacamata hitam sambil membawa koper menuju ke counter untuk boarding.

Negara tujuannya adalah ibukota Negara Z.

Ya, dia berniat pulang ke negaranya, tapi sama seperti sebelumnya, dia pulang diam-diam.

“Tidak usah kasih tahu yang lain, kepulanganku tidak akan mempengaruhi rencana kita.”

Dia berbicara dengan Julian di telepon.

“Baiklah, kamu saja yang atur.”

Julian mengangguk dan menuruti perkataan putrinya.

Sudut bibir Jessy terangkat membentuk senyuman, kelihatannya perasaannya hari ini cukup baik.

“Kalau begitu sudah dulu ya, aku mau boarding.”

Julian mengangguk, dan berpesan : “Hati-hati, kalau sudah sampai akan aku jemput.”

Jessy mengangguk kemudian menutup teleponnya.

Dan semua ini sama sekali tidak diketahui oleh Jeanne, dan juga dia tidak menyadari kalau dirinya diincar untuk yang kedua kalinya.

Setelah Jeanne pulang ke rumah, dia mengeluarkan kartu nama yang diberikan oleh Zoey, lalu memikirkannya kembali.

Bisa dibilang kalau mau menerima wawancara harusnya pada saat sekarang ini, mumpung sedang hangat-hangatnya, dan tak diragukan lagi wawancara ini kedepannya akan membantu menaikkan pamor desainnya di masa mendatang.

Terutama beberapa majalah yang berniat menulis artikel tentang Jeanne adalah majalah yang cukup besar, dan punya nama di kalangan penerbit.

Juga karena masalah ini, dia jadi bimbang dan tidak tahu harus memilih yang mana.

Akhirnya, dia memutuskan malam nanti mau bertanya ke William dan meminta pendapatnya.

Kemudian dia mengesampingkan dulu hal ini, dan kembali fokus mengerjakan sketsa desainnya..

Karena kalau dia mau menerima wawancara untuk sebuah artikel maka dia juga harus menyiapkan sebuah sketsa desain yang cukup menarik.

Malam hari ketika William sudah pulang ke rumah dia melihat Jeanne masih sibuk bekerja.

Melihat bayangan punggungnya yang disinari cahaya temaram matahari terbenam, pemandangan itu terasa hangat, sehingga William merasa hatinya penuh dengan kehangatan yang meluap.

“Masih sibuk ya?”

Dia melangkah ke depan lalu memeluknya.

Jeanne merasakan auranya, lalu dengan lembut menyambutnya.

“Sudah pulang kerja ya?”

Sambil berkata, matanya melirik ke arah jam weker di meja kerjanya, dia terkejut : “Oh Tuhan, sudah jam 6 dan aku masih belum ganti baju, tunggu aku sebentar ya.”

Selesai bicara, dia langsung melepaskan diri dari pelukan William, kemudian buru-buru pergi ke kamar mandi.

William juga tidak menahannya, bahkan dia tersenyum lembut melihat Jeanne yang panik.

Kemudian dia iseng melihat buku sketsa milik Jeanne, dan dia terkejut melihat isinya.

Ada sebuah sketsa baju Cheongsham yang telah di modifikasi, hasilnya sangat indah, benar-benar cocok dengan selera anak muda zaman sekarang.

Disaat yang bersamaan dia juga mendesah, dia merasa ketika dulu Jessy mempelajari manajemen keuangan, sebenarnya bisa dibilang sedikit mengubur bakatnya.

Sembari dia memikirkan banyak hal, Jeanne juga sudah hampir selesai.

Dia mengenakan gaun terusan berwarna biru muda, rambut hitam panjangya diuraikan begitu saja di punggung dan menyisakan sedikit rambut yang menjuntai di kedua belah pipinya.

Karena waktunya tidak cukup dia hanya berdandan ala kadarnya, tapi justru malah semakin menonjolkan kecantikannya.

“Aku sudah selesai!”

Dia masuk kembali ke kamar dengan penampilan barunya.

Melihat penampilan Jeanne yang begitu segar, sorot matanya pun bersinar.

“Cantik sekali.”

Dia memuji sambil tertawa, membuat senyum di wajah Jeanne semakin lebar.

“Ayo, kita berangkat, aku sudah memesan restoran.”

Dia mengajak William berjalan ke arah pintu.

Begitu Moli melihat kedua orang tersebut menuruni tangga, dia langsung berdiri.

Dia melirik Jeanne sekilas, ada rasa cemburu dalam sorot matanya, tapi dengan cepat dia mengendalikan diri lalu menghadap ke arah William.

“Tuan, apakah anda mau pergi?”

William menatapnya dengan dingin, dan berkata : “Ehm, kamu tunggu dirumah saja, tidak usah ikut.”

Moli mengatupkan bibir, raut wajahnya menunjukkan rasa tidak setuju.

“Bagaimana boleh? Kalau …..”

“Hm?”

Belum selesai dia bicara sudah disela oleh William hingga dia kaget dan tak berani bicara lagi.

“Kita jalan!”

Melihat dia sudah tidak berkata apa-apa lagi, William mengajak Jeanne pergi.

Jeanne mengangguk, lalu dia mengikuti William berjalan keluar.

Melihat bayangan punggung mereka berdua yang berjalan pergi, Moli merasa tidak rela.

Terutama saat menatap bayangan punggung Jeanne, dia merasa begitu benci hingga rasanya dia ingin membuat 2 lubang di tubuh Jeanne.

Sebenarnya Jeanne menyadarinya, hanya saja dia tidak menghiraukannya, lalu mengikuti William naik ke mobil dan pergi menuju restoran yang sudah di booking.

Seiring dengan kepergian dua orang tersebut, pria yang tadinya sedang mengintai diluar, mengerutkan kening, dan dia pun ikut pergi.

William dan Jeanne tidak tahu tentang orang yang mengintai itu, dan mereka berdua di ibukota, sampai di sebuah restoran kelas atas.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, mereka berdua mulai mengobrol.

Kemudian Jeanne mengutarakan soal wawancara, dan meminta pendapat William.

“William, menurutmu di antara beberapa majalah yang mau mewawancaraiku, lebih baik pilih yang mana? Aku merasa mereka ini kurang lebih hampir sama.”

Lalu dia menceritakan secara singkat mengenai beberapa majalah tersebut, dan dia menatap William dengan ragu.

William sama sekali tidak merasa terkejut, setelah dia mengetahui kalau Jeanne terkenal maka keadaan seperti ini sudah diperkirakan sebelumnya.

Dia terdiam beberapa saat, kemudian memberikan jawaban yang objektif : “Beberapa majalah ini sebenarnya lumayan, hanya saja atas dasar pertimbangan jangka panjang, maka menurutku majalah ZENORA cukup baik, harga jualnya jauh lebih mahal dibanding yang lain, selain popularitasnya majalah ini punya background kerja sama dengan merk internasional LADL, kalau bisa bekerja sama dengan baik, maka ini merupakan hubungan yang baik.”

Jeanne mendengarkan, lalu mempertimbangkan dengan bijak.

“Baiklah, kalau begitu aku akan menyetujui tawaran wawancara majalah ini.”

Dia tersenyum, dan William pun mengangguk, dan keduanya mulai mengobrol tentang hal lain.

Karena suasana hatinya sedang gembira, Jeanne pun minum sedikit alkohol.

Ketika mereka meninggalkan restoran itu, Jeanne mulai agak mabuk, bahkan jalan saja terhuyung-huyung.

Melihat Jeanne yang mabuk, sorot matanya terlihat pasrah, bahkan dia juga mulai terbiasa dengan kadar alkohol Jeanne, baru minum 3 gelas saja sudah mabuk.

Dia memapah Jeanne masuk ke dalam mobil, kali ini Jeanne tidak terlalu ribut seperti sebelumnya, malah dia semakin menempel pada William.

Tubuhnya sudah seperti gurita, menempel dan memeluk erat William.

Dan untungnya, perjalanan pulang ini bukan William yang menyetir, kalau tidak mereka berdua mungkin sudah mengalami kecelakaan.

“Sudah, jangan ribut lagi.”

Meskipun William suka pada Jeanne ketika dia mabuk dan mendadak mesra, tapi itu hanya berlaku di dalam kamar saja.

Sedangkan saat ini, di dalam mobil dia hanya bisa menatap Jeanne seperti makanan lezat tapi tak bisa dimakan, bahkan monster di dalam tubuhnya telah terbangun karena digoda oleh Jeanne, membuatnya sangat tidak nyaman.

“Jangan.”

Jeanne mencengkeram erat-erat kemeja William, dia tidak berhenti menggosok pipinya yang merah ke dada William, seakan-akan dia juga tidak sadar dia sudah berada di ambang jurang kematian.

William lalu memerintahkan supir dengan nada dingin : “Percepat mobil!”

Supirnya mengangguk dan tidak berani berlama-lama, dia langsung menginjak gas dalam-dalam dan menambah kecepatan.

Jarak tempuh yang awalnya sekitar belasan menit, setelah dikebut tak sampai 5 menit mereka sudah sampai.

Setelah sampai, William langsung menggendong Jeanne turun dan melangkah cepat menuju rumah baru.

Begitu Moli mendengar kalau William sudah pulang, dia langsung keluar dan menyambut dengan gembira.

“Tuan…..”

Dia tersenyum tapi William tidak menghiraukannya, dia berlalu sambil menggendong Jeanne naik tangga.

Saat ini seluruh pikirannya tertuju pada wanita yang ada dalam pelukannya, dia hanya ingin cepat-cepat masuk ke kamarnya, lalu menghukum wanita yang telah mengacau ini dengan kejam.

Jeanne yang masih tidak tahu akan adanya bahaya yang datang, sambil menggoda William dia masih tertawa terkikik.

Melihat bayangan punggung mereka berdua, Moli mengepalkan tinjunya begitu erat, dan wajahnya menunjukkan raut benci hingga seperti terpuntir.

Novel Terkait

My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
3 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu