Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku - Bab 6 Maaf

Mungkin karena tidak sempat melindungi dirinya, atau mungkin juga karena ketakutan yang dia rasakan begitu kuat jadi Elina tidak berteriak dan juga tidak memberontak.

Malah sebaliknya, tubuhnya terasa kaku, dia hanya membuka mulutnya menatapku dengan penuh ketakutan.

Aku sudah menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya, menikmati paras cantiknya dari jarak yang sangat dekat, bulu matanya bergerak naik turun, kedua bola matanya terlihat hitam pekat namun sangat jernih, dan juga bibir merahnya yang juga sudah mulai gemetaran.

Hormon hormon dalam tubuhku langsung mencuat, membuat otakku mendidih hingga membuatku kehilangan pemikiran sehatku, aku hanya ingin membalas dendam kepadanya habis habisan.

Membalas dendam kepada sosok perempuan yang merasa dirinya begitu hebat.

Dia membuatku kehilangan segalanya.

Aku sudah hancur seperti ini, apa salahnya jika mendekam di dalam penjara untuk sekali lagi, yang penting aku bisa lepas dan bebas dari kemarahan dan kebencian dalam diriku.

“Apa yang akan kamu lakukan? Aku peringatkan kepadamu, jangan berani beraninya kamu mendekat...”

Elina tersadar, tapi dia tidak berteriak dan juga tidak berusaha untuk memberontak.

Dia seharusnya tahu jika pengaturan kedap suara dalam ruangan ini begitu bagus, dia juga sadar benar jika memberontak tidak akan ada gunanya.

“Aku hanya ingin membuatmu merasakan bagaimana rasanya dilecehkan, ini adalah apa yang seharusnya kamu dapatkan sejak dulu.”

Aku menaikkan kedua tangannya di atas kepalanya, dengan menggunakan satu tanganku, dan tanganku yang lain aku gunakan untuk mengangkat dagunya, memaksanya untuk menatapku.

Tubuhnya sudah gemetaran, dia masih mencoba memalingkan pandangannya dari kedua mataku, berusaha untuk memberontak.

Tanganku menahan kedua tangannya dengan alat, dan kemudian memaksanya memalingkan kembali tatapannya untuk menatap aku kemudian berkata: “direktur, nona Elina, lebih baik jika kamu tidak memaksaku untuk bertindak kasar, bekerjasamalah dengan baik, jangan katakan kepadaku jika kamu tidak bisa melakukannya.”

“Atau mungkin kamu bisa memohon kepadaku, jangan menatapku dengan tatapan seperti itu, aku bisa mempertimbangkan untuk memperlakukanmu dengan sedikit lembut, tetapi jika kamu menyukai sedikit kekerasan, maka aku akan sangat bersedia melakukannya.”

Wajahnya sudah memerah, dia menatapku dengan tatapan penuh ketakutan tetapi sifat keras kepalanya juga tidak bisa menghilang dari dalam dirinya.

Tatapannya itu masih sangat sombong, menatapku dengan tatapan merendahkan.

Aku langsung menarik dengan kuat kerah baju yang dia pakai karena kemarahan yang sudah tidak sanggup lagi aku bendung.

“Jangan...” Elina akhirnya memohon dengan suara isak tangisan yang terdengar dari suaranya, kepalanya mendongak, dan aku bisa melihat ada butiran air mata dikedua pelupuk matanya.

“Jangan... aku mohon, aku tau aku salah, maaf... aku mohon jangan seperti ini.....”

Dia berkata sambil menangis, menggelengkan kepalanya hingga membuat rambutnya yang terurai menjadi berantakan.

Napasku terdengar semakin kasar, bukan karena aku menginginkannya, tetapi aku merasakan gejolak penolakan dalam hatiku.

Batasanku, batas kesabaranku...... aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu kepada perempuan yang menangis, jika aku melakukannya maka hati kecilku akan terasa tidak tenang.

Sialan!

Aku memaki dalam hatiku, setelah itu beranjak dan melepaskannya dari kungkunganku kemudian menjauh.

Elina langsung merapikan bajunya, menutup kembali bagian depan tubuhnya yang sempat sedikit terbuka karena ulahku, kemudian mundur kebelakang hingga ke ujung atas ranjang.

Dia tidak berani kabur, hanya bisa menarik selimut untuk menutupi bagian depan tubuhnya, tapi selimut sudah tertindih olehku, dan dia hanya mendudukkan dirinya di atas lantai dengan kedua tangannya memeluk lututnya, menatapku ketakutan.

Rambutnya tersibak di pundaknya yang putih dan halus, ada bekas air mata di wajahnya, dia yang sekarang ini terlihat sedikit menyedihkan, berbeda dengan dia yang sebelumnya yang terlihat sangat dingin dan sombong, seperti dua orang yang berbeda saja.

Aku menarik napas panjang, berjalan ke kursi samping ranjang dan mendudukkan diri di atasnya, aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya, menghisapnya dalam dalam.

Kepulan asap rokok yang tebal membentuk sebuah lingkaran, membuatku merasa sedikit tenang.

“Apa kamu tau kenapa aku tidak menidurimu?” Aku tiba tiba bertanya.

Elina masih saja duduk di atas lantai dengan tangannya yang memeluk kedua lututnya, dia tidak berani memandangku, dia juga tidak menjawab pertanyaanku.

Aku berkata dingin, “karena kamu bukanlah malaikat, tidak semua orang ingin menidurimu, kamu hanya perempuan yang memiliki paras dan juga body yang sedikit lebih baik dibandingkan perempuan lainnya, jangan terlalu memandang tinggi dirimu sendiri, banyak sekali perempuan sepertimu ini diluar sana.

Dia masih terdiam tidak mengatakan apapun.

Aku juga tidak berkata kata lagi, hanya sibuk menghisap rokok di sela sela kedua jari tanganku, setelah selesai menghisap satu batang, aku kembali menghisap satu batang yang lainnya, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, aku hanya ingin duduk dan menenangkan kembali perasaan dan juga emosiku.

Ruangan ini tiba tiba menjadi sunyi, hanya ada suaraku yang masih sibuk dengan aktifitas merokokku, Elina masih saja berada di posisinya yang seperti sebelumnya, duduk di lantai dengan tangan memeluk kedua lututnya, dia hanya terlihat beberapa kali menyibakkan rambut depannya yang menutupi wajahnya.

Dia sudah tidak menangis lagi, tidak terlihat lagi rona ketakutan di wajahnya, dia yang sekarang ini tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya, wajah dingin dan rasa jijiknya terhadapku kembali muncul dalam wajahnya.

Aku tidak ingin melihat dia yang seperti ini, setelah mematikan rokok dan memasukkannya ke dalam asbak, aku beranjak dari tempat dudukku, mengambil kemeja yang sempat aku lemparkan ke lantai, berjalan ke arah pintu dan pergi begitu saja.

Aku belum pernah datang ke kota Chiang Mai sebelumnya, jika dibandingkan, Bangkok terasa penuh sesak dan ramai, sedangkan Chiang Mai seperti taman yang indah dan tenang, jalanan terasa damai dan segar, bahkan bisa terlihat deretan tanaman di sepanjang jalan, hanya banyak motor yang berlalu lalang saja yang membuat ketenangan itu sedikit terusik.

Kota yang tenang dan juga asing ini mungkin sangat cocok untuk menenangkan emosi dan perasaanku.

Saat menyusuri jalan, tidak terasa langkahku tertuju ke sebuah bar, bukan bar yang berisik dan riuh, melainkan bar yang begitu tenang.

Aku berjalan menuju meja bar tender setelah melewati kerumunan orang yang tidak jelas apakah itu perempuan atau laki laki, aku memesan sebuah minuman kepada bartender menggunakan bahasa Thailand yang aku kuasai, kemudian meminum minuman yang aku pesan dengan tenang.

Tanpa disadari aku tiba tiba menyentuh kartu tanda pengenal yang aku dapatkan setelah menjadi asisten Elina, tetapi kartu ini pada saat ini tidak lebih dari sekedar sampah.

Aku melemparkannya begitu saja ke dalam tempat sampah.

Seorang laki laki Thailand yang kira kira berusia 30 tahunan yang mengenakan kemeja bunga dan juga celana pantai memperhatikan gerak gerikku, dia juga menundukkan kepalanya menatap ke tempat sampah tempat aku membuang tanda pengenal itu.

Yang membuat aku terkejut adalah dia mengambil kembali tanda pengenal itu dan melihatnya dengan seksama, kemudian dia mengatupkan kedua tangannya ke arahku, berkata dengan sopan menggunakan bahasa Thailand: “halo, apa kamu datang dari Tiongkok?”

Meskipun perasaanku sedang tidak karuan, tetapi demi kesopanan aku juga mengatupkan kedua tanganku ke arahnya dan berkata dengan sopan, “halo, aku orang Tiongkok.”

“Asisten nona Elina dari Perusahaan Tekno ZWK?”

Aku seketika terdiam, Perusahaan Tekno ZWK merupakan tempat aku bekerja sebelumnya, itu juga tim yang dibawa oleh Elina ke Thailand demi untuk membicarakan masalah bisnis perusahaan.

Sedangkan pengucapan orang itu tadi terdengar sangat jelas, nona Elina, orang Thailand tidak akan menyebutkan nama orang begitu saja karena terkesan tidak sopan.

Di kartu kerja tertulis nama dan posisi perusahaan dengan menggunakan bahasa Thailand, orang ini tentu saja bisa membacanya dengan baik, tapi kenapa dia tiba tiba mendekat ke arahku dan menyapaku kemudian bertanya pertanyaan seperti itu?

“Halo, namaku Swadito, aku bekerja di perusahaan BTT Chiang Mai.

Seketika pertanyaan dalam benakku terjawab, perusahaan BTT Chiang Mai, itu merupakan sebuah perusahaan tekstil besar di Thailand, yang juga merupakan target dan tujuan mengapa Elina membawa tim perusahaan kemari.

Novel Terkait

Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
1001Malam bersama pramugari cantik

1001Malam bersama pramugari cantik

andrian wijaya
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu