Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku - Bab 122 Jalinan Es Dan Api yang Menyatu

Percakapan antara Elina dan Ibu membawaku kembali ke dalam kenyataan, akupun bernafas dalam-dalam , membiarkan aroma bunga melati yang segar memasuki pikiranku, lalu menuju ke tempat ladang penanaman bunga dan mulai bekerja.

Ibu berusaha membujuknya sebentar, dan setelah melihat Elina yang tetap kukuh tidak ingin kembali ke rumah, dia hanya bisa pasrah sambil menghela nafas yang panjang, lalu mulai mengajari Elina bagaimana cara memetik bunga, kuncup bunga jenis apa yang seharusnya dipetik.

Aroma indah bunga diladang dan teriknya matahari terasa seperti es dan api yang sedang menyatu, tidak lama kemudian keringatku pun bercucuran dengan deras, tetapi masih terbenam dalam aroma wangi yang menyebar dan warna ladang hijau di sekitar.

Setelah beberapa saat, aku mendongak kepala ke atas, tampak dari dekat Elina yang sedang mengerutkan keningnya dan sambil menyeka keringatnya, lalu mengerutkan bibir dan kembali bekerja.

“ Pulang dan istirahatlah sebentar.” teriak ku kepadanya.

“Tidak apa- apa , aku akan petik sedikit lagi . “ dengan keras kepala dia membalasku.

Aku mengernyitkan dahi, dan melewati deretan bunga , lalu memegang lengannya dan membawanya pulang ke arah rumah: “ Ayo jalan, kamu tidak terbiasa dengan pekerjaan ini, takutnya kamu pingsan karena teriknya matahari. “

“ Aku bisa melakukannya kok. “

“ Jangan terlalu sombong, kalau kamu pingsan itu benar-benar bukan lelucon.”

“Baiklah , kalau begitu kamu lepaskan dulu, aku bisa jalan sendiri. “

Aku melepaskan tangannya, Setelah itu dia berbalik untuk berpamitan dengan ayah dan ibu, dan dengan patuh mengikutiku kembali ke rumah.

Aku mencari selembar handuk bersih untuk diberikan kepadanya, lalu menuangkan segelas air.

Ketika hendak keluar dari pintu, aku melihat bahwa bagian belakang kaos putihnya basah kuyup, dan samar- samar kelihatan tali berpola berwarna merah muda, membuat pinggang rampingnya tampak lebih menggoda.

Aku menarik kembali tatapanku, lalu dengan ragu-ragu bertanya: “ Itu....... kamu apakah ada bawa pakaian dalam tidak? “

Wajahnya memerah: “Ngapain kamu tanya begitu. “

“ Kamu mengeluarkan begitu banyak keringat, takutnya kamu jadi tidak nyaman, kalau membawanya kamu bisa pergi ke kamar mandi dan mandi lalu ganti sebentar."

Dia menundukkan kepala : “Di hotel .“

“ Kalau begitu aku akan mengantarmu kembali ke hotel. “

“Tidak perlu, tidak masalah kok , hanya mengeluarkan sedikit keringat saja , pergi mondar-mandir kesana kemari sangat membuang-buang waktu. “

Aku pun ragu sedikit dan menganggukan kepala: “Kalau begitu kamu pergi ke kamar mandi dan melapnya sendiri, aku akan kembali bekerja, kalau kamu lapar makanlah sedikit buah, dimeja juga ada ubi jalar , sebentar lagi aku akan kembali lagi untuk masak. “

“Oke, aku bisa jaga diri sendiri kok, kamu pergi bekerja saja sana. “

Aku pergi keluar dari pintu dan lanjut menuju ke ladang bunga untuk bekerja.

Tidak lama kemudian, aku melihat Elina memindahkan sebuah kursi dan duduk dibawah pohon dekat pintu besar. Lalu mengambil kipas daun palem milik ibuku dan mengipas- ngipasnya sambil melihatku.

Siang sekitar jam 12 lebih, aku mengambil karung goni ku dan pulang kembali kerumah untuk memasak.

Ditempat kami sini bahkan tidak ada pasar yang menjual sayur, setiap pagi selalu ada tukang jual sayur keliling yang menggunakan gerobak tiga rodanya mengelilingi desa dan berteriak jual sayur , ibu pagi tadi sudah membelinya, juga tidak ada yang spesial, hanya daging babi lokal , masih ada lagi ikan lokal dari sungai dan tahu buatan lokal.

Elina terus –terusan disampingku menjadi asisten, dan setiap waktu bertanya kepadaku kenapa sayur ini harus taruh bahan ini, bertanya secara spesifik bagaimana cara memasaknya dan lain-lain.

Dia sepertinya juga berpikir ingin belajar memasak.

Setelah memanggil ayah dan ibu pulang untuk makan siang, aku bertanya kepada Elina mau tidak kembali ke hotel untuk mandi dan istirahat, dia berkata tidak perlu, dia tadi sudah membersihkan badannya.

Kemudian aku membiarkannya tidur siang di kamar ku, dan juga memberitahunya, tikar bambu sudah di cuci dan di jemur, selimut juga sudah diambilkan yang baru, dikasur sudah tidak ada lagi bau keringat ku.

Elina kemudian ragu sebentar, lalu menganggukan kepala mengiyakannya.

Setelah membawanya keatas, aku memindahkan kasur ayahku kebawah pohon didepan pintu rumah, dengan nyaman aku berbaring, dengan tiupan angin sepoi-sepoi akupun tertidur dengan cepat.

Sore hari, kami sekeluarga bertiga lanjut ke ladang untuk memetik bunga, jam 3 lewat Elina baru terlihat didepan pintu rumah, sepertinya baru saja bangun.

Dia sendiri yang menemukan sepasang kain penutup lengan dan juga keranjang bambu tadi siang, lalu mengenakan topi yang bertali pita biru itu, dan langsung dengan sendirinya turun lagi untuk membantu.

Aku hanya membiarkannya bekerja sekitar setengah jam, lalu membawanya kembali untuk bersantai ditempat yang sejuk.

Sampai sore, kami sekeluarga tiga orang selesai bekerja dan pulang, ayah secara khusus meminjam sebuah motor dari tetangga, untuk membawa hasil panen petikan bunga melati tadi dibawa ke kota dan dijual, lalu meninggalkanku sebuah motor Jialing.

Aku pun membawa Elina pergi ke tempat dasar tumbuhnya bunga melati, kebun bunga disini lebih luas dan besar, sampai tidak bisa melihat tanaman yang ada ditepi, dan juga terbuka untuk orang yang ingin jalan-jalan.

Elina menyuruhku mengambil ponsel dan membantu memotretnya, aku sendiri juga ikut masuk kedalam kebun itu, sampai-sampai seperti kupu-kupu yang sedang bolak-balik dilautan bunga tersebut.

Aku sementara bertindak sebagai fotografer yang handal, penglihatan dan kamera terus berfokus dibadannya.

Seolah-olah dunia ini yang terlihat hanya dia seorang.

Sesampainya dirumah, ibu sudah selesai menyiapkan masakan, setelah makan malam Elina tidak terburu-buru meninggalkan rumah, dan malah menyuruhku menemaninya ke atas, dan berkata ingin merasakan hembusan angin malam dan melihat gemerlapnya bintang dilangit.

Dia berkata, malam hari di kota besar sama sekali tidak terlihat bintangnya, karena lampu neon akan menghiasi dan membentuk sekelebat tirai cahaya diatas kota, dan lagi polusi juga melemahkan cahaya yang dipancarkan oleh bintang.

Jadi, dia dulu jarang sekali melihat bintang-bintang.

Kalau seandainya bisa, dia benar-benar berharap bisa mencari tempat yang bisa melihat bintang-bintang dan memiliki kehidupan yang damai.

Aku hanya terus tertawa dan tidak berbicara.

Tidak lama kemudian, dia berkata lagi, kalau tidak terjadi suatu kecelakaan, perusahaan sudah pasti akan menerima usulannya, membuka bisnis di Asia Tenggara, cabang perusahaan pertama terletak di Chiang Mai, Thailand, produk dan teknologi juga pasti akan didukung oleh kantor pusat domestik, cabang perusahaan fokus pada pengembangan pasar.

Lalu kemudian dia bertanya padaku, kamu setuju tidak jika tetap bekerja untukku menjadi bagian penanggung jawab di cabang perusahaan Thailand.

Aku menundukkan kepala dan terdiam, setelah beberapa saat aku baru memberitahukan kepadanya, untuk membiarkanku memikirkannya dulu selama beberapa hari.

Lalu dia tertawa dan berkata tidak apa-apa, aku menunggu kabar baikmu.

Setelah itu dia tidak lagi mengungkit masalah ini, dan malah menjadi hening dan tenang sambil menikmati angin malam dan melihat bintang dilangit.

Sampai malam jam 9 lewat, dia turun kebawah dan berpamitan dengan ayah dan ibu ku, lalu bilang kalau dia sudah mau kembali ke hotel, dan juga besok pagi –pagi sudah harus naik mobil berangkat ke Kota Guining, dan langsung dari Kota Guining terbang ke Thailand.

Ayah dan Ibu terus memaksa dan menahannya untuk tetap tinggal, lalu mengeluarkan barang-barang yang sudah dipersiapkan untuknya, sebotol asinan pepaya, kulit mentimun, biskuit wijen, ubi jalar kering............

Dia sambil berterima kasih juga sambil menolak karena segan, berkata bahwa dia sendiri tidak pulang ke rumah, tetapi mau dinas ke luar kota, dan juga tidak bisa membawa begitu banyak barang, bisa dibilang jika dibawa pergi juga tidak dapat dimakan semua.

Aku di samping membantunya berkata beberapa kata, terakhir dia hanya membawa satu botol kecil asinan pepaya, sisanya sebenarnya dia juga tidak bisa memakannya.

Sebenarnya, memberikan barang yang bernilai kecil seperti ini dan barang yang tidak cukup baik untuk disajikan kepada orang yang super kaya ini, aku merasa agak canggung.

Aku pun menyalakan motor dan mengantarnya kembali ke hotel , lalu memberitahunya, tunggu sampai aku selesai memikirkannya, kalau aku setuju untuk tinggal, aku akan cuti tepat waktu, danjika sudah sampai waktunya aku akan segera ke Thailand mencarinya.

Dia mengangguk dengan matanya yang memancar penuh harapan.

Setelah berpisah, aku mengendarai sepeda motor berputar arah dan pergi, dari kaca spion motor terlihat dia masih terus berdiri didepan pintu hotel, menunggu sampai aku berbelok di persimpangan.

Sebenarnya, samar-samar hatiku sudah mulai tergerak.

Seorang penanggung jawab cabang perusahaan, meskipun orang bawahan yang mengatur perusahaan tersebut tidak banyak, tetapi baik buruknya tetap adalah seorang kepala perusahaan, tunjangan tahunnya juga bisa dibilang tidak sedikit.

Dan juga, di Qiangmai aku sebenarnya dapat memanfaatkan hubungan koneksi disana.

Aku tidak segera pulang ke rumah, dan pergi lagi ke rumah Christopher duduk sebentar, lalu membuat janji kapan akan pergi ke kota Wuming

Hari kedua pagi hari, Elina meneleponku berkata, dia sudah naik ke mobil.

Sorenya, dia juga meneleponku berkata, kalau dia sudah sampai di kota Chiangmai.

Novel Terkait

This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
3 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu