Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku - Bab 146 Perasaan Yang Murni

Mendengar ini, aku tidak bisa menahan diri untuk mengepulkan asap rokok di depanku dan menatap Wenny, tidak seharusnya wanita ini ingin mencocokkanku dengan Keisya, atau membantu Keisya untuk mengetes bagaimana pandanganku kepada Keisya?

Tidak heran dia begitu banyak bicara dan berbicara tentang perasaannya kepadaku.

“Kamu jangan salah paham, aku bertanya bukan karena Keisya, dan juga bukan ingin menyuruh kamu kembali bersama dengannya, aku hanya ingin tahu.”

Seolah-olah bisa menebak pikiranku, Wenny segera menjelaskan perkataanya.

“Tidak apa-apa.”

Dengan tidak peduli aku tersenyum, tetapi hati ini diam-diam mengatakan bahwa tatapan mata wanita itu sangat tajam, semua ini bisa ditebak olehnya.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Wenny berkata lagi.

Aku menggelengkan kepala: “Tidak bisa, bahkan jika Keisya masih mencintaiku, ataupun jika dia ingin balikan, aku tidak akan bisa bersatu kembali dengannya.”

“Kenapa?”

“Karena perasaannya telah berubah, itu bukan lagi perasaan murni yang dulu kita miliki, dan kita berdua juga telah berubah.”

“Oh.”

Wenny mengangguk, raut wajahnya seolah-olah sedang berpikir.

Aku melihat jam dan berkata kepadanya: “Penerbangan Hendra sebentar lagi sampai, aku akan membawa kamu kembali ke hotel untuk beristirahat terlebih dahulu dan kemudian aku akan pergi ke bandara untuk menjemput mereka.”

“Baiklah, maaf sudah merepotkanmu.”

“Tidak apa-apa.”

Aku mengambil inisiatif untuk mebayar semua makanan ini, dan kemudian membawa Wenny keluar dari restoran dan duduk di mobil bisnis Toyota yang sudah menunggu di pintu.

Di dalam mobil, aku pikir karena kehadiran Allen, Wenny tidak lagi berbicara kepadaku tentang masalah perasaan, tetapi dia bebicara tentang pekerjaanku.

Tiba di hotel, Wenny berkata dia telah tidur di pesawat selama beberapa jam dan tidak ingin naik ke atas untuk beristirahat, dia hanya ingin minum kopi sebentar.

Aku bertukar nomor ponsel dengannya dan mengatakan kepadanya untuk tidak pergi jauh ketika dia ingin pergi berbelanja, lalu aku dan Allen pergi ke bandara.

Saat jam setengah empat sore, saat di bandara aku menjemput tiga orang siswa, dua pria dan satu wanita, salah satunya adalah pasangan yang sudah bersama-sama semenjak kuliah, dan yang satunya adalah salah satu dari beberapa siswa yang cukup baik terhadapku saat kuliah dulu, namanya adalah Hendra.

Setelah lulus kuliah, Hendra dan aku pergi ke berbagai kota untuk merantau, kami sangat jarang komunikasi, lagi-lagi karena aku telah dipenjara selama beberapa tahun, setelah keluar kami sudah tidak berhubungan lagi.

Awalnya Hendra bukan sangat ingin datang ke Thailand, setelah menndengar bahwa aku ada di sini, seketika Hendra merubah pikirannya.

Selama bertahun-tahun tidak bertemu, Hendra dan aku sangat merindukan satu sama lain, ketika kami bertemu, aku hanya bisa memeluknya dan menepuk bahunya.

Hendra lebih pendek dariku, masih sama seperti kuliahan dulu, dia tersenyum malu-malu ketika aku menepuk pundaknya.

Dalam perjalanan kembali ke kota, kami berbicara banyak tentang saat sedang kuliah dulu dan pengalaman setelah lulus.

Saat di dekat hotel, tiba-tiba aku menerima pesan teks dari Deni: “Roman, apakah kamu punya waktu untuk datang ke sini? Mari kita duduk sebentar, dan agak malaman nanti kita pergi menemui Aldi dan Suchart.”

Di bawah ada tulisan alamat hotelnya.

Aku ragu-ragu sejenak dan menjawab pesan teksnya: “Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi.”

Saat tiba di lantai bawah hotel, setelah bertemu dengan Wenny, aku meminta maaf kepada Hendra dan Wenny, lalu berkata: “Maaf, aku ada urusan sebentar, aku tidak bisa menemani kalian, dan aku tidak bisa makan malam dengan kalian malam ini, setelah urusanku selesai, aku akan mencari kalian lagi.”

“Tidak apa-apa, kamu urusin pekerjaan kamu dulu, kami tidak akan tersesat.” Hendra menampar lenganku.

Wenny bertanya dengan rasa ingin tahu: “Apakah kamu berbicara tentang proyek real estat dengan bos yang kamu temui di bandara?”

“Iya, mau gimana lagi, sebelumnya aku sudah membuat janji.”

“Kalau begitu pergilah, pekerjaan adalah hal yang paling penting.”

“Aku akan meminta Allen untuk menjemput siswa lainnya di bandara, Kalian bisa pergi ke jalan Ningman untuk makan malam, atau pergi ke tempat lainnya, kalian bisa melihat peta ponsel, jika kalian ingin pergi ke tempat yang jauh, kalian tinggal telpon Allen, dia adalah sopir dan pemandu kelian untuk dua hari ini, jangan enggan untuk meminta bantuannya, jika kalian pergi ke tempat yang dekat, kalian bisa berbelanja sambil jalan-jalan.”

“Tetapi jika ingin naik taksi, ingatlah untuk membicarakan biasanya terlebih dahulu, dan ingat untuk berbahasa Mandarin atau Inggris, banyak orang di Thailand yang dapat berbicara bahasa Mandarin. Setelah makan malam, kalian bisa pergi ke pasar malam, atau kalian dapat mencari tempat untuk duduk-duduk dan minum-minum, setelah urusanku selesai, aku akan mencari kalian, paling lambat jam Sembilan malam.”

Hendra dan Wenny mengangguk: “Baiklah, kami mengerti.”

Aku mengirim nomor ponsel Allen kepada mereka, dan Allen mengambil inisiatif untuk menepuk dadanya dan mengatakan jika ingin pergi kemana dan kapan saja bisa mencarinya, dia dan mobilnya akan selalu menunggu di luar hotel.

Setelah mengucapkan sampai jumpa pada Hendra dan Wenny, aku membawa Allen berjalan keluar dari hotel.

Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku kepikiran sesuatu, dan kemudian aku berkata: “Kota Chiang Mai adalah tempat yang mempunyai keamaan yang lumayan baik, tetapi di sana ada banyak pencuri, banyak dari mereka didedikasikan untuk wisatawan, kalian ingat untuk membawa barang-barang berharga yang benar, beberapa orang di pinggir jalan akan menawarkan...”

“Sudah, sudah, kami bukan anak kecil lagi, kamu begini mengingatkanku pada ayahku.” Wenny menutupi mulutnya dan terkekeh.

Aku sedikit malu: “Maaf, aku terlalu banyak bicara, kalau begitu aku akan pergi.”

“Baiklah, sampai jumpa.”

Keluar dari hotel, aku mengeluarkan lima ribu baht dan memberikannya kepada Allen.

Allen tampak sangat bingung dan segera mendorong uang itu: “Kak Roman, apa yang kamu lakukan? Aku tidak bisa menerima uang darimu.”

Aku memasukkan uang itu ke dalam sakunya: “Aku sangat merepotkanmu untuk membawa kami berkeliling dua hari ini, besok pergi ke Wat Rong Khun dan Black Temple, ambilah uang ini untuk bahan bakar, biaya parkir, dan lain-lain.”

“Jangan, Kak Roman, jika Bos Bruce tahu, aku akan dimarahi.”

“Dimarahi kenapa, aku akan memberitahunya, jika dia berani menghajarmu, aku akan membantumu.”

“Ini… Baiklah, terima kasih kak Roman.”

“Terima kasih untuk apa, uang ini sudah cukup untuk biaya bensin dan parker, sekarang kamu bawa aku ke hotel ini, ketika sudah jamnya, kamu jemput lagi teman-teman sekolahku di bandara, sampai sana kamu tinggal angkat papan naman sudah cukup, aku akan memberimu nama-nama mereka.”

“Baiklah, Kak Roman, kamu jangan khawatir, aku akan melakukan semuanya dengan benar.”

Setelah Allen melihat alamat di ponselku dan langsung mengendarai mobil pergi ke hotel tempat dimana Deni tinggal.

Aku merobek kardus air mineral di mobil dan menulis nama “Harry Huang” dengan spidol.

Deni adalah salah satu dari dua siswa terakhir yang akan tiba, dia datang dari Provinsi Guangdong dan tiba sekitar pukul lima.

Deni adalah anak orang kaya, katanya keluarga dia memiliki belasan pabrik, saat kuliah dulu aku memiliki hubungan yang biasa saja dengannya, aku jarang bermain dengannya, setelah lulus kami sudah tidak pernah berhubungan lagi.

Cukup menyuruh Allen menjemputnya, lagi pula hubungannya tidak terlalu dekat.

Saat tiba di Hotel tempat Deni tinggal, aku menjelaskannya kepada Allen lagi, dan kemudian membuka pintu lalu turun.

Baru saja berjalan sampai di depan pintu hotel, aku melihat seorang pria jangkung berjas hitam berdiri di sebelah pintu, mukanya sangat familiar, dia adalah salah satu pengawal yang dibawa oleh Deni dari rumahnya.

“Tuan Roman, Bos Deni memerintahkanku untuk turun menjemputmu.” Pengawal itu juga mengenaliku dan berkata dengan sopan.

Aku mengangguk: "Astaga.”

“Tuan Roman jangan sungkan, silahkan masuk ke dalam.”

Aku mengikuti pengawal itu, berjalan melalui lobi hotel yang megah, berjalan masuk ke dalam lift yang tenang, dan naik ke lantai delapan belas, dan sampai ke pintu kamar.

Pengawal itu mengetuk pintu dan berdiri di tempat mengintip yang ada di depan pintu itu.

Tidak lama, pintu terbuka, dan pengawal menyuruhku untuk masuk terlebih dahulu.

Novel Terkait

Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu