My Tough Bodyguard - Bab 297 Siapapun Tak Bisa Melindungimu

Sendy!

Robert berteriak dan berlari menuju jendela.

Bum!

Belum sempat ia melihat ke bawah, suara ledakan yang menggelegar terdengar. Bom itu meledak di udara!

Kilatan cahaya merah memenuhi udara. Suara menggelegar memekakkan telinga. Kekuatannya seperti serangan angin ribut, membuat para polisi yang melihat dari bawah terbelalak, tak percaya dengan apa tang mereka lihat.

Pyar!

Semua kaca jendela gedung pecah karena tak mampu menahan kekuatan ledakan.

Permukaan bukit kecil itu bergetar. Gedung mulai tak stabil. Struktur bangunan mendapat tekanan yang besar. Dinding mulai retak, menerbangkan debu-debu retakan.

"Hei!"

Maggie kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.

"Merunduk!"

Hampir semua polisi menutup mata mereka dan merunduk, tapi tetap terombang-ambingkan di lantai dengan menyedihkan.

Setelah kilatan cahaya menghilang, asap berkepul-kepul menutupi seluruh gedung.

"Uhuk, uhuk...aku tak bisa melihat apa-apa..." Maggie segera berlari menuju jendela, namun hanya bisa melihat kegelapan di sana. Keadaan di bawah sama sekali tak terlihat.

"Tingkatkan daya pandang!"

Robert membuka kedua matanya lebar-lebar. Garis di sisi matanya menampakkan kebuasan.

Pupil mata orang Asia mayoritas berwarna hitam. Begitu juga dengan Robert.

Namun setelah ia mengaktifkan kemampuan 'meningkatkan daya pandang", pupilnya mengalami perubahan yang aneh, dari hitam menjadi putih. Segala penghalang di hadapannya perlahan lenyap, seperti melihat tembus pandang.

Semenjak diinjeksi virus S, tubuh Robert mengalami perubahan. Daya pandang, daya dengar, kekuatan otot, dan daya hidupnya meningkat secara signifikan.

Setelah mengaktifkan pupil putihnya, segala sesuatu berubah menjadi tembus pandang, walaupun asap tetap ada di hadapannya. Pandangannya dengan mudah menembus asap sehingga ia bisa melihat keadaan di bawah dengan amat jelas.

Robert melihat Sendy terbaring di tanah, dikelilingi oleh polisi-polisi yang entah sedang berkata apa.

"Dia masih hidup!"

"Ya Tuhan, ini mujizat!"

"Cepat bawa ke rumah sakit!"

Para polisi mengangkat tubuh Sendy, meletakkannya ke dalam mobil polisi dengan hati-hati, lalu segera mengantarnya ke rumah sakit.

Dalam pengamatannya, Robert mendapati bahwa Sendy masih bernapas.

Matanya mengikuti kepergian mobil polisi itu. Ia memejamkan mata dan menghembuskan napas lega. Setelah membuka mata kembali, warnanya pupilnya telah kembali seperti sedia kala.

"Sungguh menegangkan. Bagaimana keadaan Sendy? Apa dia masih hidup?" tanya Maggie dengan panik. Ia tidak memiliki kemampuan melihat tembus pandang seperti Robert. Jadi ia tak tahu bagaimana keadaan di bawah sana.

"Tenang saja, dia baik-baik saja," kata Robert datar.

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu," kata Maggie sambil menepuk-nepuk dadanya.

Tiba-tiba, rasa pening menyerang kepalanya. Maggie memegangi pelipisnya dan menggeleng-geleng untuk mengembalikan kesadaran, tapi hasilnya nihil.

Ia sempoyongan, hampir tak bisa berdiri tegak hingga harus bertumpu pada dinding. Wajahnya mengeluarkan senyum yang aneh dan terpaksa, "Rober, aku, aku tidak enak badan..."

"Mungkin kau kelelahan. Tidurlah sebentar," saran Robert.

Maggie mengiyakan. Ia mendongak sambil memaksakan senyum, ketika didapatinya bahwa Robert sedang menatapnya tanpa berkedip. Sorot matanya tidaklah mengandung ancaman, namun entah mengapa, Maggie merasa sedikit takut.

Kelopak matanya seakan sedang berkelahi. Semuanya menghitam, kesadaran Maggie menghilang.

Robert menangkap tubuh Maggie dan menggendongnya, lalu membaringkannya di sisi jendela.

Setelah membaringkannya dengan baik, sorot mata Robert menatap drone dengan tatapan datar.

Benarlah kalau itu drone milik kepolisian. Saat bom meledak di udara pun, drone itu tak terpengaruh sama sekali. Ia tetap berjaga di sisi jendela dan merekam segalanya.

Brak!

Di bawah tatapan Robert, drone itu tiba-tiba terjatuh dan hancur berkeping-keping.

Drone yang tidak terpengaruh oleh ledakan ini, tiba-tiba hancur dan terjatuh begitu saja menjadi rongsokan besi.

Bsst bsst!

Petugas penyelidik tercengang. Layar komputer di hadapannya tiba-tiba berubah menjadi bunga es, mengeluarkan bunyi yang menyakitkan telinga.

"Apa yang terjadi?" tanya Steven di sebelahnya.

"Sepertinya terjadi malfungsi pada drone," Petugas penyelidik melihat ke arah drone, tapi sayang, ia tak bisa melihat apa-apa akibat asap kabut.

"Mungkin terkena ledakan tadi," Steven termenung.

"Mungkin...mungkin begitu," ujar petugas penyelidik dengan ragu. Ia tak bisa melupakan sorot mata Robert sedetik sebelum drone itu hancur. Sorot mata itu tampak mengandung sesuatu.

... ...

Di dalam ruangan.

Setelah drone hancur, sorot mata Robert berpindah pada Watt di belakang pintu.

Watt yang terluka berat akibat pukulan Sendy, sudah tak memiliki kekuatan untuk bertarung lagi, meskipun ia sempat memanfaatkan kelengahan mereka dengan menekan tombol pemicu tadi.

Terlebih, dalam menghadapi Robert, udara seperti menekan tubuhnya, membuatnya sulit bernapas. Bahkan untuk menegakkan tubuh saja susah.

Watt yang menyadari hal ini pun tidak bangkit lagi. Ia duduk di lantai sambil terengah-engah, "Tidak heran kalau kau disebut Wind Stalker. Kau tidak pernah ceroboh dalam melakukan segala sesuatu. Pertama, kau membuat Nona Fang pingsan, lalu menghancurkan drone, kau tidak mau kekuatanmu diketahui, ya?"

Robert diam saja. Ia hanya memandangnya.

"Kau bahkan tidak menggerakkan tanganmu saat membuat Nona Fang dan menghancurkan drone. Walaupun aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya, tapi kau mengubah aliran udara yang tidak berbentuk menjadi serangan yang berbentuk. Untuk hal ini, kau benar-benar jauh lebih hebat dariku," Watt mengacungkan kedua tangannya dengan lemah, "Aku mengaku kalah, aku mengaku kalah. Wind Stalker, aku mengakui kalau kau lebih hebat dariku."

"Pecundang tak pernah mengenali dirinya sendiri," ujar Robert.

Mata Watt menyorotkan segaris amarah, namun demi bertahan hidup, ia tak berani membantah.

Kedatangannya kali ini ke CBD, adalah untuk membunuh dewa.

Hasilnya, bahkan ujung baju Wind Stalker pun tak dapat disentuhnya, malah ia dipukuli jadi begini.

Kalau sejak awal tahu bahwa sang pengembara perang juga ada di sini, ia tak akan datang seorang diri apapun yang terjadi.

Gurunya, Giggs sang ahli bom pun sangat tertarik dengan kepala bernilai 1 milyar dolar itu. Hanya saja ia tak pernah menemukan kesempatan.

Satu tatapan membuat Maggie pingsan, satu tatapan membuat drone hancur.

Walaupun Wind Stalker tak pernah menggerakkan tangannya, tapi Watt tahu, dilihat dari kekuatannya, ia bukanlah tandingannya.

Awalnya Watt mengira kalau ia akan mati kali ini.

Saat Sendy menggenggam pisau lipat dan bersiap membunuhnya, Watt tidak memiliki tenaga untuk membalas sedikit pun.

Hingga akhirnya Maggie berteriak jangan, dan ketiganya tenggelam dalam perundingan tentang perlu atau tidaknya membunuh Watt.

Hasilnya, diputuskan untuk tidak membunuh.

Watt tidak mengerti bahasa mandarin. Ia tak tahu apa yang sedang diributkan oleh ketiga orang itu. Namun dilihat dari tindakan Sendy, tampak jelas kalau ia hendak membunuhnya.

Pertengkaran ketiga orang itu memberi Watt kesempatan untuk bernapas dan memulihkan sedikit energinya, sehingga ia bisa menekan pemicu bom.

Kalau ia mati, ia juga harus membawa serta beberapa orang dengannya.

Setelah menekannya, Watt menyesal.

Karena tiba-tiba dia menyadari kalau Maggie adalah seorang polisi. Saat Sendy hendak membunuhnya tadi, Maggie menyebabkan percekcokan. Ia mungkin hendak menghentikan Sendy untuk membunuh orang.

Hasil akhirnya, sangat mungkin Maggie berhasil memengaruhi Robert dan Sendy untuk membiarkan dirinya hidup.

Karena Watt menyadari, saat Sendy menyimpan pisau lipatnya kembali, aura pembunuh Robert juga perlahan lenyap.

Kadangkala, akibat terbakar emosi sesaat, manusia bisa berpikiran pendek dan lupa merenung.

Setelah semuanya terjadi, ia baru menyadari ada yang salah.

Aksi Watt meledakkan bom itu adalah contoh nyata dari perbuatan tanpa berpikir, lalu baru tersadar setelah semuanya terjadi.

"Benar, benar, aku adalah pecundang. Wind Stalker, maafkan aku. Tidak seharusnya aku menyerangmu," Watt merendahkan dirinya. Demi mempertahankan nyawa, apapun ia katakan.

"Kuberi kau 10 detik. Selesaikan kata-kata terakhirmu," kata Robert datar.

Raut wajah Watt langsung berubah, "Wind Stalker, kau masih mau membunuhku? Kalau kau membunuhku, kepolisian CBD tidak akan membiarkanmu! Kalau aku tidak salah menebak, Nona Fang tadi membicarakan hal ini denganmu!"

"Menurutmu, kenapa aku merusak drone?" Robert balik bertanya.

Keringat dingin Watt langsung mengalir, "Guruku adalah Giggs sang ahli bom. Dia pernah berbisnis dengan Pasukan Binatang Buas, 'kan? Aku adalah murid yang paling dihormatinya. Kalau kau membunuhku, dia pasti tidak akan tinggal diam!"

"Kalau dia berani mengacau, aku juga akan membunuhnya, biar kalian -guru dan murid ini- bisa tetap bersama di neraka," Robert tersenyum dingin.

"Kalau kau membunuhku, kau pasti akan meninggalkan bukti! Polisi tidak akan membiarkanmu. Pikirkan baik-baik sebelum bertindak!" Watt yang merasakan intensi kuat Robert untuk membunuhnya, mulai histeris.

"Terima kasih telah memikirkanku. Aku melakukan semua hal dengan cermat, kau tidak perlu khawatir," Robert tertawa kecil.

"Pemotong angin!"

Telapak tangan Robert terarah pada Watt.

Sebuah gelombang udara yang tampak dengan mata telanjang, memotong Watt seperti sebilah pisau tajam.

Puff!

Lengan kiri Watt langsung terpotong!

Dinding di belakangnya bahkan menyisakan sebuah jejak. Seperti pisau tajam, ia menembus badan dinding.

"Lagi."

Robert masih belum puas.

Lengan Watt yang satunya lagi, dengan cepat terpotong.

Darah dan lengan beterbangan, mata Watt terbelalak. Semua terjadi terlalu cepat sampai ia tak sempat bereaksi, sementara kedua lengannya telah terpotong.

"Ahhh!

"Aahh! Aahh! Aahh!"

Rasa sakit yang datang terlambat membuat Watt memelintir wajahnya. Tubuhnya berguling-guling di atas lantai. Darah mengalir dari bagian lengannya yang patah hingga memenuhi seluruh ruangan.

"Ke-kenapa..." teriak Watt sambil meronta.

"Sejak saat kau menekan pemicu bom itu, jangankan gurumu, bahkan dewa terlarang yang mendukung di belakangnya pun, tak bisa melindungimu," kata Robert datar.

"Dewa, dewa terlarang?" Watt menampakkan ekspresi bingung.

Kali ini giliran Robert yang terheran-heran, "Sebagai murid kesayangan Giggs, kau tidak tahu? Giggs disokong oleh Dewa Api di belakangnya!

"Kalau tidak, kau kira mengapa Giggs -seorang yang hanya bisa mengembangkan bom dan tidak punya kemampuan bela diri- bisa membuat kekacauan besar, menginisiasi perang dalam negeri, dan memicu perang internasional, namun bisa hidup sampai sekarang?

"Kecerdasan kecil Giggs itu, kau kira tidak ada yang mengetahuinya? Hanya karena terhalang oleh perlindungan Dewa Api saja, maka pemerintah dunia tidak bertindak sembarangan," cibir Robert.

Novel Terkait

Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu