My Tough Bodyguard - Bab 25 Prahara Alat Penyadap

Vila Keluarga Mo.

Saat makan malam, Anderson dan Alice saling bertukar informasi tentang operasional perusahaan.

Ayah dan anak ini adalah Direktur Besar dan Direktur Umum. Mereka sangat sibuk, hampir tak punya waktu untuk bercakap-cakap. Jadi, informasi tentang perkembangan perusahaan hanya bisa dilakukan saat waktu pribadi.

Istri Anderson sudah lama tiada, jadi orang yang paling dipercayainya adalah anaknya sendiri. Begitu juga sebaliknya.

Oleh karena itu, perbincangan mengenai keputusan penting atau rencana pengembangan perusahaan, selalu dilakukan oleh ayah dan anak ini di meja makan, seperti saat ini.

"Tunggu!"

Melihat topik obrolan mereka tentang rahasia perusahaan, Robert di sebelah mereka pun buru-buru menghentikannya.

"Apa, sih, kamu?" Alice tidak senang pembicaraannya diputus oleh Robert.

Anderson mengira Robert sedang ingin menghindari rahasia perusahaan, ia pun tertawa, "Robert, kamu bukan orang luar, tidak apa-apa kalau mau mendengarkan."

"Tentu saja tidak masalah kalau aku mendengarkan. Tapi, kalau rahasia ini diperdengarkan ke orang lain, akibat apa yang bisa muncul?" kata Robert memberi isyarat.

"Di sini tidak ada orang luar, lagipula di luar semua adalah bodyguard elite. Tidak berlebihan kalau aku menyebut ini sebagai tempat paling aman. Bagaimana bisa ada orang yang menyadap rahasia kita?" Alice sangat jelas menunjukkan ketidakpercayaannya.

"Tempat paling aman? Apa kamu lupa kasus pemasangan alat sadap di ruangan Paman Mo?" Robert menggelengkan kepalanya.

"Itu kan di perusahaan. Ini di rumah. Di sini terdapat pasukan bodyguard profesional dan CCTV. Tidak mungkin ada orang yang menyelinap masuk dan memasang alat penyadap di sini." Tak peduli apa kata Robert, Alice tetap tidak percaya.

"Alice, jangan mengacau!" Anderson memelototi putrinya, lalu berkata pada Robert, "Robert, apa kau menemukan sesuatu?"

Robert mengiyakan, lalu menarik tangannya dari bawah meja. Ia menunjukkan alat penyadap kecil di ujung jarinya! Tapi alat penyadap ini sudah dihancurkannya.

Ia melemparkan alat itu ke atas meja. Ting, ting, ting...terdengar suara jatuhnya.

"Tempat sejelas bawah meja saja dipasangi alat penyadap. Bodyguard yang kalian sewa mahal-mahal itu, ternyata tak ada satu pun yang menemukannya. Masih berani bilang ini tempat paling aman?"

Wajah Anderson dan Alice seketika berubah pucat. Mereka tak ingat sudah berapa kali memperbincangkan rahasia perusahaan di atas meja makan.

"Tak heran akhir-akhir ini banyak rahasia internal perusahaan yang berulang kali bocor. Ternyata masalahnya di sini!" Anderson memelototi alat penyadap di atas meja makan itu, ekspresinya sangat jelek.

"Mungkin tak hanya di sini. Kalau bahkan di meja makan saja ada alat penyadap, maka seluruh vila ini harus diperiksa kembali," Robert membawa sebuah alat dari kamarnya.

Hasilnya, mereka menemukan belasan alat penyadap di aula. Ada yang di bawah sofa, ada yang di atas alat fitness...

"Boleh juga, letaknya memang di tempat yang jelas, tapi di sudut yang tersembunyi. Kalau tidak menggunakan detektor, pasti tidak ketemu," Robert terkaget-kaget. Sangat jelas, yang memasang alat penyadap ini adalah seorang ahli.

Bibir mungil Alice ternganga, "Bagaimana mereka melakukannya? Jelas-jelas banyak bodyguard di rumah ini..."

"CCTV bisa dihindari. Bodyguard sehebat apapun juga ada saat-saat di mana mereka lalai," ujar Robert datar, lalu menaiki tangga lantai 2.

"Kamu mau ke mana?" tanya Alice.

"Di hall ada penyadap sebanyak ini, di atas juga pasti ada. Vila ini harus diperiksa seluruhnya," Robert yang berdiri di depan pintu tersenyum pada Alice.

Mengetahui Robert hendak memeriksa kamarnya, mana mungkin Alice mengizinkannya. Apalagi setelah melihat senyum ganjil di wajah Robert, ia segera berlari naik, tapi sudah terlambat.

"Buka! Robert sialan! Buka pintunya!" Alice menggedor pintu kamarnya dengan marah.

Kamar ini adalah dunia kecil Alice. Setelah ibunya tiada, ia seorang diri di kamar ini memegangi foto ibunya dan menulis buku harian untuk menyembuhkan luka.

Bahkan ayahnya pun tidak diizinkannya masuk. Hanya Robert ini yang menerobos masuk kamarnya.

Robert bisa membongkar alat penyadap, ia juga punya kemampuan untuk memasang alat penyadap. Kalau pemuda ini punya maksud jahat dan memasang penyadap di kamarnya, maka Alice tak akan bisa tidur tenang.

Alice mengakui kalau kemampuan Robert sangat hebat. Ini sudah teruji. Tapi Alice belum memahami karakternya. Ia hanya merasa pria itu suka omong besar dan tidak serius, tidak mudah dipercaya.

Untungnya Robert tidak tinggal terlalu lama di dalam kamar. Kriett...Pintu pun terbuka.

"Robert, buka pintu...nya!"

Kebetulan Alice sedang menggedor pintu. Tangannya pun luput.

Ia terkejut. Tangannya mendarat di atas dada Robert. Tubuhnya terjerembab ke depan, mendarat di pelukan pria itu.

Robert merasakan dua gumpalan empuk mendarat di atas dadanya. Wangi rambut dan wangi khas wanita merasuki hidungnya. Sekujur tubuh Robert pun bergetar hingga tak bisa bernapas.

"Mata keranjang!" Alice mendorong Robert seperti habis tersengat listrik. Wajahnya merah padam.

"Kau sendiri yang melakukannya. Kalau bukan karena aku, kau pasti sudah jatuh terjerembab. Bukannya berterima kasih, malah mengataiku mata keranjang, dasar tak tahu terima kasih," balas Robert.

"Kalau bukan karena menerobos masuk tanpa seizinku, apa aku akan berbuat begitu?" ujar Alice marah.

"Masuk ke kamarmu adalah kebutuhan pekerjaan. Sebenarnya yang penting adalah keamanan privasimu, atau keamanan orang?" Robert memutar bola matanya.

"Aku tidak percaya ada orang yang menyelinap masuk ke kamarku!" dengus Alice.

Mendengar hal itu, Robert tertawa, "Lihat sendiri apa ini!"

Benda di tangan Robert membuat Alice menunjukkan ekspresi tidak percaya. "Aku pasti mengunci rumah saat pergi, bagaimana mungkin..." gumamnya.

"Mengunci? Kau terlalu meremehkan kemampuan mata-mata profesional! Tak peduli kunci apa yang gunakan, mereka bisa masuk seenaknya tanpa merusak gembok!" Robert menggelengkan kepala.

Bibir merah Alice ternganga, tampak jelas kalau ini pertama kalinya ia mendengar hal itu.

Meskipun ada banyak adegan membobol pintu di dalam film, namun itu hanya hiperbola. Alice tak percaya ada orang seperti itu di dunia nyata. Sama tidak percayanya dengan bahaya yang akan menghadang jika ia berjalan di rumah sakit.

"Dua penyadap, yang satu adalah kamera tersembunyi. Nona besarku, kuharap kau tidak punya kebiasaan tidur telanjang, kalau tidak, kau akan habis dilihat orang," ujar Robert sambil tertawa.

Alice seketika itu juga panik, "Aku, aku terbiasa memakai baju tidur!"

"Ohh..begitu," Robert sengaja memanjangkan 'oh'-nya, menampakkan sorot mata penuh imajinasi.

"Matilah!" Melihat sorot kurang ajar di mata Robert, Alice pun menghujani dada Robert dengan banyak pukulan, ia tiba-tiba bertanya dengan tegang, "Kamera itu, tidak, tidak dipasang di kamar mandi kan?"

"Tidak, dia dipasang di meja belajar. Mereka sepertinya ingin melihat isi dokumen yang kau urus setiap malam lewat kamera itu," kata Robert sambil menggelengkan kepala.

"Keterlaluan, bagaimana mereka bisa seperti ini!" ujar Alice marah.

"Memang, bodoh sekali, kalau aku pasti sudah kupasang di kamar mandi!" kata Robert dengan perasaan yang sama.

"Matilah! Bukan itu maksudku!"

Alice sangat ingin mencekiknya.

Anderson menarik kedua orang yang hampir bertengkar itu, lalu tertawa kecut, "Ada urusan penting yang harus diurus. Robert, cepat periksa kamar yang lain. Di rumah ini terpasang banyak alat penyadap, kalau tidak dicari seluruhnya, nanti rumah ini tak akan aman lagi."

"Baik, selama tidak ada orang yang menghalangiku," kata Robert sambil meringis.

"Hantulah yang menghalangimu!" Alice memasang wajah mirip hantu, lalu segera masuk ke kamar.

Tata letak kamarnya masih seperti dulu. Alice sama sekali tak melihat jejak pencarian Robert.

Belajar dari pengalaman tadi, Alice berkali-kali memeriksa meja belajar, bawah kasur, dan kamar mandinya. Setelah memastikan tak ada benda yang mencurigakan, ia baru menghembuskan napas lega.

Saat ia keluar dari kamar, Robert dan Anderson sedang berada di aula lantai 1. Setumpuk alat penyadap tergeletak di atas meja.

"Apa sudah diperiksa seluruhnya?" tanya Alice.

"35 buah alat penyadap, 10 buah kamera tersembunyi, hampir tersebar di seluruh vila. Setiap gerak-gerik kita, tidak lolos dari pengamatan musuh," kata Robert.

"Keterlaluan!" Memikirkan gerak-geriknya dipantau oleh orang lain, Alice tak bisa menahan untuk tak gemetar.

Anderson juga marah besar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata serius, "Robert, kalau bukan karena kau kali ini, akibatnya sungguh tak bisa kubayangkan."

"Prioritas kita saat ini adalah mencari tahu siapa dalang di balik ini," saran Robert.

Anderson mengiyakan, lalu melihat Alice, "Alice, keadaan saat ini, kau juga sudah lihat. Keluarga Mo sedang memasuki fase yang sangat berbahaya."

Hati Alice tersentak, ia buru-buru berkata, "Ayah..."

"Alice, ayah tidak ingin memaksamu, tapi keadaanlah yang memaksa. Robert butuh status yang layak," Anderson mengatakannya dengan lembut, namun maksudnya sudah sangat jelas.

Melihat sorot mata penuh permohonan dari ayahnya, hati Alice pun melunak. Semenjak kepergian ibunya, ini pertama kalinya ayahnya menunjukkan sorot mata seperti ini.

"Sialan! Anggap aku memanfaatkanmu!"

Melihat Robert di sampingnya, Alice menggigit bibirnya. Meskipun hatinya masih tak begitu rela, tapi demi perusahaan dan keluarganya, dia akhirnya bersedia.

"Saat pesta ulang tahun Alice bulan depan, kita akan mengumumkannya. Robert, bagaimana menurutmu?" tanya Anderson dengan sukacita.

Sebagai tunangan Alice, walaupun hanya pura-pura, ia pasti sudah bahagia tak terkira. Tapi reaksi Robert sangat datar. Ini membuat Alice curiga, apakah dirinya tidak cukup menarik?

"Aku ingat, yang bertanggung jawab atas keamanan vila ini adalah seseorang bernama Tom," kata Robert tiba-tiba.

Anderson mengangguk-angguk. Ia menelepon Tom dan menyuruhnya datang ke aula untuk melapor. Seisi vila terpasang alat penyadap, sebagai kepala bodyguard, Tom telah melalaikan tugasnya.

Melihat begitu banyak alat penyadap di atas meja, rona wajah Tom langsung berubah. Dia tahu betapa gawatnya masalah ini.

"Tuan Mo, saya akan menyerahkan surat pengunduran diri besok," kata Tom tanpa disuruh.

Anderson menggeleng, "Tom, tentang pengunduran dirimu, kita bicarakan besok. Kau pergilah, suruh anak buahmu meningkatkan kewaspadaan malam ini."

Tom adalah mantan anggota pasukan militer khusus. Ia sudah mengikuti Anderson selama 5 tahun dan tak pernah melakukan kekacauan besar. Semua orang juga punya hati. Mengeluarkan Tom, Anderson tentu saja tak tega.

Novel Terkait

The True Identity of My Hubby

The True Identity of My Hubby

Sweety Girl
Misteri
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
5 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu