Cinta Di Balik Awan - Bab 436 Bab Tambahan: Cinta Antara Dion Dan Kelly (1)

Aku sudah hamil 6 bulan, lihat di buku katanya bayi suka mendengar suara papa berbicara, papa harus banyak ngobrol dengan bayi. Untuk itu aku mengatakannya pada Dion, dia langsung membulatkan tekad, setiap malam akan membaca dongeng untuk bayi.

Hari pertama ketika akan tidur Dion menceritakan dongeng si itik jelek, hari kedua menceritakan tentang putri salju.

Hari ketiga, aku berbaring di atas ranjang menunggu Dion mendongeng untuk bayi, Dion menggaruk kepalanya hingga lama sekali, berbicara lembut ke perutku: “Nak, kamu ulas kembali dongeng yang aku ceritakan padamu dua hari lalu ya……”

Aku marah dan langsung berdiri, satu tendangan membuat dia terjatuh ke lantai, Dion terkejut lalu berdiri dan bertanya padaku: “Kenapa kamu hamil masih memiliki tenaga sekuat ini?”

“Ini adalah kekuatan yang bersatu, apakah ini cara kamu menipu kami ibu dan anak?”

Aku berusaha keras mengeluarkan dua tetes air mata, diam-diam membawa bantal dan turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke pintu.

Dion terkejut sekali, bergegas maju ke depan memelukku: “Istriku, kamu kenapa?”

“Saat anak pertama kamu tidak memenuhi kewajibanmu sebagai ayah sedikit pun, sekarang memberimu kesempatan untuk menebusnya, kamu masih tidak tahu menghargai, sudahlah, sudahlah, aku tidak akan mau melahirkan lagi.”

Dion mendengarnya semakin panik: “Bagaimana bisa tidak melahirkan? Jika tidak melahirkan anak berada di dalam perut harus bagaimana?”

“Kalau tidak bisa, aku akan menemukan tempat di mana tidak ada orang yang mengenalku dan melahirkan di sana saja, lagi pula aku sudah terbiasa melahirkan sendirian.”

Aku sudah memegang erat rasa bersalah dalam hatinya, benar saja begitu kata-kata terlontarkan, Dion langsung mengaku salah dengan wajah penuh penyesalan: “Istriku maaf, aku yang salah, besok aku akan mengganti semua bukuku yang ada di ruang baca menjadi buku dongeng Andersen, aku jamin kelak setiap malam pasti akan membacakan satu dongeng untuk anak kita, oh salah, harusnya menceritakan banyak dongeng, bercerita sampai kamu dan anak kita tertidur nyenyak……”

“Lalu, kalau kamu ada sosialisasi bisnis harus bagaimana?”

“Ada sosialisasi bisnis suruh Maxim saja yang pergi, kalau sungguh tidak bisa maka bisnis itu tidak perlu dilakukan, lagi pula kamu dan anak paling penting.”

“Apa kamu yakin sanggup melakukannya?”

“Sangat yakin sekali.”

Melihat trik ini sudah berhasil, dalam hatiku senang sekali, ekspresi di wajah masih pura-pura terlihat sedih sekali: “Kamu pikir trauma psikologis yang aku dapatkan selama beberapa tahun merawat Wanwan sendirian, sudah bisa ditebus hanya dengan mengandalkan kamu membacakan beberapa dongeng setiap malamnya?”

“Aku tahu tidak bisa menebusnya, tapi apa yang kamu ingin aku lakukan? Kamu katakan? Asalkan kamu katakan, walaupun harus melalui segala bahaya dan kesulitan aku juga tidak akan mengeluh sedikit pun.”

“Ini kamu yang katakan ya?”

Aku mengangkat dagu, perlahan mengeluarkan kertas putih terlipat dari saku piyama dan disodorkan ke hadapan Dion, wajah penuh senyuman licik.

“Apa ini?” Dion tidak mengerti dan mengangkat alisnya.

“Buka dan lihat saja kamu akan mengetahuinya.”

Dion membuka kertas putih itu dengan penuh keraguan, fokus melihatnya, ekspresi di wajahnya lebih beragam dari yang aku bayangkan, ekspresiku serius tapi tenang sambil melipat tangan di depan dada, mendengar Dion membaca:

Perjanjian tiga poin--

“Pertama,”

“Mulai dari sekarang, kata-kata istri adalah titah kaisar, harus dipatuhi tanpa syarat.”

“Kedua,”

“Setelah anak lahir, tidak boleh menyewa pengasuh untuk mengurus kebutuhan sehari-hari anak, suami yang bertanggung jawab penuh untuk melakukannya……”

“Ketiga,”

“Dua poin di atas harus dipatuhi, selain itu masih harus melakukan sampai tiga poin tidak, tidak mengeluh, tidak malas, tidak cari alasan.”

“Bagaimana? Apakah bisa menerimanya?”

Dion menelan ludah, tersenyum canggung sambil mengatakan: “Sebenarnya aku rasa poin pertama dan ketiga tidak masalah, yang kedua sepertinya agak sulit.”

“Sulit di mananya?”

Aku bertanya dengan sombong.

Begitu memikirkan kesulitan waktu melahirkan Wanwan ditinggal sendirian dan tidak berdaya, aku langsung benci dan kesal sekali, membangun sebuah keyakinan yang kuat dalam hati, dapatkan kembali, dapatkan kembali, harus didapatkan kembali, dia harus taat, taat, pasti harus taat!

“Siang hari aku harus bekerja, jika tidak menyewa pengasuh, apakah aku harus membawa anak ke perusahaan?”

“Bukankah tadi kamu sudah katakan, bisa tidak melakukan bisnis itu? Aku paling penting, anak paling penting?”

Dion merasa kesal: “Itu hanya mengatakan terkadang jika ada sosialisasi bisnis yang mengharuskanku pergi maka bisa tidak melakukannya, jika tidak melakukan bisnis apa pun, lalu siapa yang menghasilkan uang untuk menghidupi kamu dan anak-anak?”

Aku tersenyum dengan tenang: “Tidak apa-apa, kamu hanya perlu mengurus anak, aku akan menghasilkan uang untuk menghidupi kalian.”

……

Melihat ekspresi Dion yang kehabisan kata-kata, aku menepuk-nepuk bahunya, berkata dengan penuh arti mendalam: “Tanda tangan saja, setelah tanda tangan kelak tidak akan mengeluh aku tidak memberimu kesempatan untuk menebusnya lagi.”

“Tanda tangan apa?”

“Tanda tangan dan nama, tuliskan nama besarmu.”

“Haruskah.”

Aku menepuk perut, Dion benar-benar mengaku kalah, Dion sangat putus asa berjalan keluar sambil memegang kertas putih, aku memanggilnya: “Pergi ke mana?”

“Pergi ke ruang kerja untuk tanda tangan dan cap stempel untukmu.”

“Tidak perlu, barangnya sudah aku persiapkan.”

Aku segera membuka laci yang ada di samping ranjang, mengambil stempel Dion dan sebuah pulpen, lalu diserahkan ke tangan Dion.

Dion menarik nafas dalam-dalam, membungkuk untuk tanda tangan dan menuliskan namanya di atas kertas perjanjian tiga poin, ekspresi mata itu begitu tidak rela, setelah selesai tanda tangan, Dion tidak bisa menahan diri untuk bertanya: “Kenapa aku merasa seperti jatuh ke dalam perangkap?”

Aku tersenyum jahat, menggunakan isyarat mata memberi tahu Dion: tidak bisa mempermainkanmu hingga mati aku akan bunuh diri saja……

“Dingin sekali, aku pergi tidur dulu.”

Dia berbaring di tempat tidur dengan rasa takut, menarik selimut untuk membungkus dirinya.

Keesok paginya, langit masih belum terang, aku langsung membangunkannya, “Apa?” Dion sayup-sayup bertanya.

“Aku lapar, cepat bangun dan buatkan sarapan untukku.”

“Bibi yu akan menyiapkan sarapan pagi.”

“Semalam aku lupa memberi tahu kamu, bibi yu sudah pulang ke rumahnya untuk menikmati masa tua, kelak di taman bunga wisteria hanya ada kita berdua saja.”

“Apa?”

Dion langsung duduk, terkejut dan bertanya: “Masalah sebesar ini kenapa kamu tidak memberi tahu aku?”

“Masalah sebesar apa? Bibi Yu sudah begitu tua, apakah kamu merasa enak hati menyuruh dia setiap hari melayanimu?”

“Bukan begitu juga, hanya saja bibi Yu sudah merawat kita selama bertahun-tahun, setidaknya kamu harus membiarkan aku mengatakan beberapa kata terima kasih dan kata perpisahan dengannya, selain itu, aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang pensiun untuk dia, bagaimana kamu bisa membiarkan dia pergi begitu saja?”

“Kamu tidak perlu menyesali hal ini, ucapan terima kasih dan perpisahan aku sudah membantumu mengatakannya, selain itu uang pensiun juga sudah diberikan padanya.

Dion menggosok kening, dengan sangat sulit mengatakan: “Tapi aku tidak bisa masak?”

“Kalau begitu pelan-pelan belajar dan cari tahu, siapa yang begitu dilahirkan sudah bisa masak? Pergilah, harus percaya pada diri sendiri.”

Dion menunjuk keluar jendela: “Langit masih belum terang, sekarang masak terlalu pagi, biarkan aku tidur sebentar lagi.”

Baru saja berbaring dengan baik, langsung aku tarik bangun lagi: “Wanwan jam tujuh mau pergi ke sekolah, sekarang jam empat, apakah kamu yakin dalam waktu singkat bisa membuat sarapan pagi yang lezat dan bergizi?”

Dion tertegun, bangun dengan menyedihkan, di bawah paksaanku, dengan sangat enggan meninggalkan selimut hangat.

Setelah Dion pergi aku juga langsung bangun, pekerja sudah akan mulai bekerja, tentu saja mandor harus mengawasinya.

Selesai ganti pakaian dan mencuci muka aku langsung turun ke bawah, diam-diam pergi ke depan pintu dapur dan melihatnya sejenak, melihat tampang Dion yang kelabakan dan menggunakan celemek, aku berusaha menahan tawa lalu kembali ke ruang tamu, mengambil majalah keuangan dan mulai membacanya dengan santai.

Sampul majalah adalah foto suamiku, Dion yang mengenakan setelan jas formal sungguh tampan sekali, sangat layak disebut orang berbakat luar biasa dalam dunia bisnis, sejak perselisihan internal diselesaikan, bisnis semakin berjaya, sering bisa melihat fotonya di majalah atau di koran, setiap kali bisa membuat orang merasakan sesuatu yang segar dan baru.

Novel Terkait