After Met You - Bab 407 Mengaku kepada Yuni Lim

Lampu di ruang aula bersinar sangat terang.

Begitu Yuni Lim turun, pelayan langsung menyapanya dengan hormat: “Nyonya.”

Wajah pelayan itu semuanya terlihat sangat berhati-hati dan juga tidak berani berkata banyak.

Yuni Lim tentu saja tahu seberapa kacau dirinya saat ini.

Seseorang yang terus-menerus berdoa tapi tetap ditinggalkan, hanya bisa menangis dengan lemah dan terlihat tidak tahu malu...

Yuni Lim tidak menghiraukan pelayan itu, ia hanya berjalan lurus keluar. Matanya yang sembab tidak mengalirkan setetes air mata pun, bekas air mata yang ada di wajahnya pun sudah mengering. Pipinya terlihat mengencang dengan sangat menyedihkan, sekujur tubuhnya tidak bernyawa.

Ekspresi dari dalam hatinya saja terlihat tidak bernyawa.

Ada sudut mata pelayan yang menangkap kejanggalan itu, lalu ia naik ke atas mencari Candra Gail. Namun dengan cepat ia kembali lagi ke bawah, dan menggeleng-gelengkan kepalanya kepada pelayan lain. Ia juga memberitahu pengawal di luar untuk membiarkan Yuni Lim pergi.

Yuni Lim seperti tidak merasa apapun terhadap semua ini.

Aula yang biasanya terasa sangat besar dengan halaman yang sangat luas, saat ini setelah tidak lama berjalan, Yuni Lim pun sudah berada di ujung jalan.

Pengawal di daun pintu tidak ada yang menghalanginya dan itu pasti karena Candra Gail sudah memberikan perintah.

Yuni Lim tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh dan melihat lagi sekilas vila yang terang benderang.

Tempat ini sangat luas, tapi pada akhirnya tetap tidak dapat menampungnya. Meskipun kapasitas vila ini sangat besar.

Yuni Lim menghela napas. Saat ia membalikkan tubuhnya, ia melihat sebuah mobil yang terparkir di gerbang utama. Mobil Panameranya.

Walaupun ia juga tidak tahu bagaimana mobilnya bisa terparkir di depan pintu, tapi rasa kecurigaannya itu hanya sejenak saja merambat sebelum secepat kilat meluncur hilang. Ia tidak ingin berpikir lebih banyak barang sedetik pun. Yuni Lim membuka pintu mobil, duduk di dalamnya, dan mulai menyalakan mesin mobil.

Ia berkata dalam hati pada dirinya sendiri untuk tenang, tapi kakinya tidak bisa menahan diri untuk terus menginjak pedal gas.

Mobil berkelas itu seperti panah yang terlepas dari benang busurnya, secepat kilat meluncur pergi.

Setelah mobil Yuni Lim pergi, sebuah mobil hitam pun meluncur keluar dari dalam garasi vila.

Setelah mendengar suara mesin mobil di lantai bawah, barulah Candra Gail perlahan-lahan bangkit berdiri dari kasur.

Ia berjalan sampai ke depan jendela dan menyibak tirai jendela. Ia hanya bisa terlihat bayangan dari lampu jalan di taman. Di kejauhan hanya terlihat remang-remang lampu, dan lebih jauh lagi hanya terlihat pegunungan yang gelap.

Candra Gail berdiri sebentar, namun tiba-tiba warna wajahnya berubah. Lengannya menumpu diatas jendela dan ia sedikit membungkukkan tubuhnya. Sebelah tangannya yang lain ia menutupi bagian perutnya untuk beberapa saat. Saat rasa sakit yang menyerang lambungnya memudar sedikit, Candra Gail kembali menegakkan tubuhnya. Saat ini, ia sudah mandi keringat.

Ia kembali meraih ponselnya dan menelepon Daniel Mo: “Antarkan obat lambung.”

Daniel Mo baru saja keluar dari laboratorium. Sambil mensterilkan dirinya pun ia bertanya: “Ke Istana Yurich?”

“Vila.” Suara Candra Gail sedikit lemah. Ia menjawab singkat seperti itu dan langsung memutuskan panggilan.

...

Daniel Mo datang dengan sangat cepat.

Begitu ia sampai di vila, ia langsung berjalan masuk kekamar Candra Gail.

Candra Gail sudah mandi asal, satu stel seprai dan selimutnya sudah diganti. Pria itu duduk dengan hening diatas sofa sambil memegang ponselnya dan entah melihat apa didalamnya.

Melihat wajah Candra Gail yang pucat pasi, Daniel Mo meletakkan kotak obat dan dengan sorot mata polos bertanya padanya: “Apakah malam ini kamu minum bir sampai membuat maagmu kambuh?”

“Tidak parah, beri saja obat lambung.” Saat ini barulah Candra Gail menengadah melihat ke arah Daniel Mo.

Daniel Mo sebenarnya mendengar keanehan yang tersirat dari nada suara Candra Gail.

Ia memperhatikan Candra Gail dengan sangat teliti. Wajah pria itu putih seperti kertas, pupil matanya hitam dan kelam... Semua fitur wajah tampannya terlihat seperti biasanya. Selain hanya terlihat lemah, entah darimana ia juga terasa suram.

Daniel Mo sedikit menautkan alisnya, ia yang sebenarnya tidak terlalu suka bicara atau bertanya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya satu pertanyaan lagi: “Kamu sudah bicara pada istrimu?”

Butuh waktu yang lama bagi Candra Gail sebelum akhirnya ia melontarkan sepatah kata: “Sudah.”

Daniel Mo melihatnya sekilas dengan curiga: “Bagaimana reaksi istrimu? Dimana ia?”

“Berikan obatnya dan langsung pergi saja sana.” Candra Gail terlihat seperti tidak bersedia untuk bicara lebih banyak dan mulai mendesak Daniel Mo.

Daniel Mo juga tidak marah, hanya saja hatinya merasa curiga. Sebelumnya Candra Gail pernah mengatakan bahwa ia ingin mengaku kepada Yuni Lim, ia kira Candra Gail akan menjelaskan kondisi tubuhnya.

Tapi sekarang, sepertinya ‘mengaku’ menurut Candra Gail tidaklah sama dengan apa yang dipikirkan Daniel Mo.

Daniel Mo mengeluarkan stetoskop: “Aku periksa dulu sebentar.”

“Tidak perlu.” Candra Gail menghindar ringan, namun juga tidak marah.

Daniel Mo langsung mengerti.

“Kamu tidak mengatakan kondisi tubuhmu yang sesungguhnya kepada istrimu?”

Candra Gail akhirnya merasa kesal. Dalam sekali hentak, ia pun bangkit berdiri: “Terlalu banyak basa basi! Apakah kamu tidak sibuk di laboratorium?”

...

Yuni Lim mengemudi tanpa tujuan, ia juga tidak tahu kemana dirinya menyetir.

Sampai akhirnya mobilnya terparkir, barulah ia tersadar bahwa ia ada di depan Istana Yurich.

Yuni Lim menurunkan jendela mobil dengan perlahan. Angin malam berhembus masuk, terasa dingin sekali.

Sekujur tubuhnya bergidik dan akhirnya ia tersadar.

Setelah beberapa saat, barulah Yuni Lim bersiap untuk menyetir kembali ke apartemen.

Tapi sesampainya di bawah apartemen, tiba-tiba ia tidak ingin naik. Disana ada jejak kehidupan Candra Gail, dan Yuni Lim tidak ingin kembali sedikitpun.

Ia bersender dikursi dan pelan-pelan tertidur. Saat ia bangun, ujung langit sudah terang.

Pagi sudah tiba.

Yuni Lim tertidur di mobil semalaman.

Ia terbiasa untuk melihat ponselnya begitu bangun. Ia mengulurkan tangannya dan melihat waktu. Pukul enam pagi, masih terlalu pagi.

Tunggu, ponsel?

Bukankah sebelumnya ponselnya diambil oleh Candra Gail? Bagaimana bisa ada di dalam mobil?

Yuni Lim kemudian mencari lagi di dalam dashboard, ternyata semua berkasnya ada di dalam situ.

Ia mengingat kembali dan berpikir lagi dengan teliti. Semalam begitu ia keluar, mobilnya sudah terparkir di depan pintu. Nahkan ponsel dan semua berkasnya ada di dalam mobil. Yuni Lim tertegun sejenak kemudian tersenyum.

Tentu saja ini adalah gaya kerja Candra Gail. Pantas saja, Yuni Lim baru terpikir alasan kenapa pria yang selama tiga hari tidak pulang tiba-tiba pulang.

Ternyata kepulangannya semalam adalah untuk ‘berpisah’ darinya.

Kalau begitu, bukankah seharusnya ia berterimakasih kepada pria itu yang telah begitu memperhatikannya sampai-sampai menyiapkan mobil mewah untuknya?

Drrt drrt—

Ponselnya bergetar.

Yuni Lim meliriknya sekilas, ternyata Angel Li yang meneleponnya.

Begitu panggilannya tersambung, suara Angel Li yang terkejut menyambut telinga Yuni Lim: “Direktur Lim, anda tidak apa-apa, bukan?”

Yuni Lim berujar datar: “Tidak apa-apa.”

Suaranya sekarang terdengar sangat serak karena ia tertidur semalaman di mobil. Ditambah, semalam ia menangis begitu lama di vila.

“Apakah anda sakit? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungimu, aku khawatir sekali…”

Bisa terlihat, Angel Li memang benar-benar panik. Biasanya ia tidak berani bicara tanpa henti kepada Yuni Lim seperti ini.

Yuni Lim mendengarkan Angel Li bicara sambil menyelipkan beberapa helai poni yang ada di dahinya: “Hari ini aku ke kantor.”

Setelah menutup telepon, Yuni Lim turun dari mobil dan pulang ke apartemennya.

Yuni Lim lalu mandi dan berganti baju. Ia ingin berangkat kerja seolah tidak terjadi apa-apa.

Sewaktu kecil, ia mengira ayahnya bisa menemaninya seumur hidupnya. Tapi ayahnya justru meninggal dunia saat ia berusia sembilan tahun. Setelah tumbuh besar, Yuni Lim pun bertemu dengan Candra Gail. Ia mengira pria itu bisa menemani seumur hidupnya, tapi yang disebut ‘seumur hidup’ ini terlalu singkat.

Yang dimaksud ‘seumur hidup’ ini sepertinya bukanlah setelah menggantungkan hidup pada orang lain. Bagaimana pun juga, kehidupan pribadinya harus ia lalui sendiri.

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
4 tahun yang lalu