After Met You - Bab 127 Jangan Lupa untuk Memberitahu Reporter

Yuni Lim menoleh dan menatapnya sekilas, bersikap seolah-olah ia tidak mendengar apa yang wanita itu katakan barusan. Yuni Lim justru mengambil sebilah pisau buah yang terletak di depan kasurnya lalu duduk.

Sebelah tangannya mengambil sebutir apel sedangkan tangannya yang satu lagi mengambil sebilah pisau buah, lalu ia mulai memotong buah itu.

“Aku bilang aku tidak mau makan.” Hanna Gu mengangkat alisnya dan menatap Yuni Lim.

Sebelumnya, Hanna Gu berpikir Yuni Lim ini hanya seperti seorang gadis kecil. Tidak sulit untuk ditangani.

Ia sama sekali tidak menyangka Yuni Lim akan begitu sulit ditangani, bahkan melebihi perkiraannya.

Hanna Gu mengira, seharusnya Yuni Lim merasa bersalah meskipun hanya sedikit karena kemarin ia telah menyelamatkan nyawanya. Ia sama sekali tidak menyangka Yuni Lim akan begitu menjaga jarak dengannya, sama sekali tidak membiarkan Candra Gail menjenguknya.

“Mungkin kamu mau makan setelah aku selesai menghabiskan ini.”

Yuni Lim mengangkat kepalanya dan menatap Hanna Gu sambil tersenyum kecil. Wajah Yuni Lim yang memang sangat cantik, terlihat begitu cerah bercahaya dan sederhana.

Senyum Yuni Lim ini terlihat begitu silau membutakan mata Hanna Gu. Ia menahan mulutnya untuk tidak bicara sepatah kata ataupun mengeluarkan suara apapun.

Yuni Lim menekuk bibirnya dan matanya menunduk pada buah apel yang sedang ia potong. Raut wajahnya terlihat tenang, tapi dalam hatinya pasti tidak seperti itu.

Apabila Yuni Lim tidak bisa melihat alasan sesungguhnya kenapa Hanna Gu menyelamatkannya, berarti wanita itu benar-benar buta.

Hanna Gu merasa Yuni Lim menganggap tindakannya hanya sebagai tindakan wajar dari orang lain.

Pada akhirnya, Yuni Lim pun selesai makan buah apel itu. Hanna Gu sama sekali tidak sempat memakannya karena semua dihabiskan oleh Yuni Lim seorang diri.

Yuni Lim duduk di depan ranjang rumah sakitnya, mengeluarkan suara “KRES! KRES! NYAM NYAM...” ketika menghabiskan sebutir buah apel itu. Suaranya terdengar jelas, membuat orang lain yang mendengarnya merasa bahwa buah apel itu pasti sangat manis dan harum.

Hanna Gu menarik wajahnya, berusaha mengatur raut wajahnya agar tetap datar. Tepat pada saat itu, Yuni Lim akhirnya menghabiskan apel itu.

Yuni Lim mengelap tangannya pada sehelai tisu lalu berkata dengan malu: “Maaf, Nona Gu. Aku merasa sayang sekali jika kamu tidak memakan apelnya, jadi aku yang membantumu untuk makan.”

“Tidak apa, aku mau istirahat saja.” ujar Hanna Gu tanpa tersenyum dan justru berkata dengan nada terburu-buru.

“Baiklah. Nona Amel tidak disini ya? Aku akan keluar dan mencarikanmu dua orang suster supaya ia tidak terlalu sibuk.” Yuni Lim bangkit berdiri dan berjalan keluar.

Beberapa saat kemudian, Yuni Lim kembali membawa dua orang wanita berusia paruh baya melangkah masuk: “Nona Gu, ini aku bawakan dua orang suster untukmu. Mereka pasti bisa merawatmu dengan baik. Apabila ada masalah, jangan ragu untuk segera meneleponku.”

Setelah berbicara demikian, Yuni Lim tersenyum penuh arti, membalikkan tubuhnya, dan berjalan pergi.

……

Begitu Yuni Lim pergi, salah seorang dari suster itu menghampiri Hanna Gu: “Nona Gu, apakah anda ingin minum segelas air sekarang?”

Barusan, Yuni Lim sudah membayarkan upah mereka dalam jumlah yang tidak sedikit. Melihat kondisi Hanna Gu yang seperti ini, mereka merasa sepertinya Hanna Gu bukanlah seorang yang sangat membutuhkan pelayanan. Meskipun begitu, jika mereka tidak berbuat apapun, mereka juga merasa tidak pantas dengan upah yang sudah diberikan.

Pandangan Hanna Gu melirik turun untuk memperhatikan dirinya sendiri dan tidak menatap kedua suster itu. Ia lalu menutup matanya dan berkata: “Kalian pergi ke luar saja. Sekarang aku mau beristirahat sebentar.”

Para suster itu sudah terbiasa bekerja untuk melayani pasien, sehingga mereka dengan cepat menyadari suasana hati Hanna Gu yang tidak baik. Mereka pun langsung membalikkan tubuh dan berjalan keluar.

Tapi ketika mereka baru saja keluar, mereka mendengar suara “BRUK!” yang sangat kencang dari dalam, seperti ada sesuatu yang terjatuh ke lantai.

Salah satu dari mereka sontak ingin masuk kembali, tapi suara Hanna Gu terdengar pada saat yang bersamaan: “Tidak boleh ada yang masuk.”

Kedua suster itu pun dengan segera menutup pintu dan tidak membiarkan siapapun masuk.

Di dalam kamar rawat, ternyata Hanna Gu melempar keranjang buah yang dibawakan oleh Yuni Lim. Buah-buah segar di dalam keranjang itu pun berhamburan, berguling-guling hingga menyentuh sudut kamar.

Maksud baik apanya?!

Kedua mata Hanna Gu dipenuhi dengan kebencian.

Yuni Lim, ya?

Hanya seorang gadis kecil yang ternyata berani bersikap begitu liar di hadapannya.

Tapi, Yuni Lim dapat bersikap seperti itu semata-mata karena Candra Gail yang masih meladeninya. Kalau tidak ada Candra Gail, apalah arti Yuni Lim?

Seperti buah-buahan yang segar dan cantik ini. Ketika masih ada di dalam keranjang, memang terlihat cantik dan segar. Tapi ketika sudah dibuang ke lantai seperti ini, siapa yang masih mau mengambilnya?

Hanna Gu menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Ia lalu mengambil ponselnya dan menelepon seseorang dengan raut tanpa ekspresi.

Suara Amel terdengar tidak sabar dari ujung sana: “Ada apa?”

“Sekarang juga kamu jemput aku, aku mau keluar dari rumah sakit. Jangan lupa kabari para reporter saat kau sudah datang.” Hanna Gu tidak mempedulikan nada tidak sabar Amel dan berbicara seperti memerintah dirinya sendiri.

Amel tidak menganggap serius ucapan Hanna Gu dan nadanya semakin tidak sabar: “Kalau kamu mau keluar dari rumah sakit ya keluar saja, untuk apa aku datang? Lagipula, bukankah kamu bisa menelepon untuk meminta para reporter itu datang? Aku masih bisa tidur...”

“Sebaiknya kamu datang saja ke sini! Jangan lupa bahwa sekarang kamu masih menjadi mata-mataku. Jangan lupa juga siapa yang memberikanmu semua uang itu agar kamu bisa tinggal di kamar sebagus itu. Kamu hanyalah seorang anjing yang bisa bertahan hidup dengan menggoyang-goyangkan ekormu kepada orang lain. kamu sudah hidup nyaman begitu lama, jangan sampai kamu benar-benar berpikir bahwa kamu adalah orang besar!”

Begitu selesai berbicara, Hanna Gu menutup teleponnya dan tersenyum dengan dingin.

……

Yuni Lim merasa ia sudah selesai berurusan dengan Hanna Gu. Begitu keluar dari kamar rawatnya, Yuni Lim langsung berjalan pergi sambil bersenandung.

Yuni Lim sadar betul bahwa Hanna Gu juga bukanlah orang yang murni baik hatinya.

Kalau posisi mereka ditukar, Yuni Lim juga pasti tidak mau menyelamatkan Hanna Gu.

Cara berpikir seperti ini membuat hati Yuni Lim terasa tenang.

Tapi sebenarnya, Hanna Gu adalah orang yang menyelamatkannya. Apa yang baru saja Yuni Lim lakukan untuknya apakah terlalu keterlaluan?

Suara ‘TING!’ dari lift terdengar dan pintunya pun terbuka, tepat di lantai dimana Yuni Lim ingin tiba.

Yuni Lim tersentak dari lamunannya. Ia melangkah maju untuk keluar, namun menabrak seseorang di hadapannya yang sudah berada di dalam lift itu.

“Kak Lukman!” Yuni Lim tidak menyangka akan bertemu dengan Lukman di tempat seperti ini.

Lukman sedang mengenakan jas dokternya, sebuah pulpen dan stetoskop menggantung di dalam kantong sebelah kiri atasnya. Ia terlihat sangat elegan dan lemah lembut, di sisinya terdapat dua orang perawat yang bertubuh kecil.

Salah satu dari perawat itu sedang berbicara dengan Lukman, wajahnya sedikit memerah dan ia terlihat malu-malu.

Ketika Lukman sedang mendengarkan perawat bertubuh kecil itu berbicara, kedua telinganya justru menangkap suara Yuni Lim yang memanggilnya.

Ia tercenung selama beberapa detik, berpikir bahwa ia sedang berhalusinasi.

Salah seorang dari perawat bertubuh kecil itu lalu menunjuk ke arah Yuni Lim dan menatap Lukman, “Wakil Direktur Lukman, di sebelah sana.”

Kedua telinga Yuni Lim menangkap sebutan ‘Wakil Direktur Lukman’ dari perawat bertubuh kecil itu.

Jadi ketika Lukman menolehkan kepalanya dan menatap Yuni Lim, ia justru disambut dengan raut wajah Yuni Lim yang terkejut. Lukman lalu menatap kedua perawat bertubuh kecil itu dan mengucapkan beberapa patah kata, kemudian menoleh pada Yuni Lim dan menghampirinya.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Lukman sambil berjalan menghampiri. Kedua matanya memperhatikan tubuh Yuni Lim dari atas ke bawah. Ketika menyadari bahwa tidak ada luka apapun di tubuhnya, pandangan Lukman pun kembali pada wajah Yuni Lim.

Ketika Yuni Lim hendak mengucapkan sesuatu, ia mendengar Lukman berkata: “Ini bukan tempat yang nyaman untuk berbicara. Ayo ikut aku.”

Selesai berbicara, tangan Lukman yang besar menggenggam lengan Yuni Lim, menarik wanita itu menuju kantornya.

Begitu Yuni Lim melangkah masuk, ia pun menengadah dan kedua matanya menangkap tulisan ‘Kantor Wakil Direktur’...

Profesi Lukman tertulis besar-besar.

“Silakan duduk di mana saja.” ujar sambil memberikan Yuni Lim segelas air lalu duduk di hadapannya.

Yuni Lim mengambil gelas itu. Sambil meminum air, matanya pun sambil menatap Lukman. Ini adalah pertama kalinya ia melihat pria itu saat sedang mengenakan jas dokter.

Lukman pun bertanya padanya: “Kamu sedang melihat apa?”

Yuni Lim menjawab dengan jujur: “Aku belum pernah melihatmu dengan jas dokter sebelumnya.”

Mendengar jawaban Yuni Lim, Lukman pun tersenyum kecil: “Apakah kamu masih tidak ingin mengatakan alasan kamu datang ke sini?”

Novel Terkait

Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Jalan Kembali Hidupku

Jalan Kembali Hidupku

Devan Hardi
Cerpen
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu