After Met You - Bab 406 Apa Gunanya?

Raut wajah Candra Gail sejenak terlihat stagnan.

Beberapa saat setelahnya, ia hanya memiringkan kepalanya dan tidak melihat Yuni Lim. Ia menggunakan nada bicara seakan sangat tidak peduli dan berujar: “Apakah pertanyaan seperti ini masih perlu ditanyakan?”

Candra Gail melontarkan perkataan itu dengan nada mengejek.

Tidak terlukis raut apapun di wajah pria itu, tapi nada bicaranya terdengar sangat mewakilkan perasaannya.

Kedua mata Yuni Lim pun memerah menatap Candra Gail. Sekuat tenaga ia menahan diri, ia tidak ingin menangis.

Orang dewasa tahu, bahwa menangis di hadapan orang yang tidak menyayangi kamu tidak bermanfaat, selain hanya menjadi bahan tertawaan dan membuat orang kesal.

Akan tetapi, bagaimana ia bisa menahannya?

Yuni Lim benar-benar tidak lagi bisa menahannya.

Yuni Lim menggenggam erat kedua tangannya dan menangis layaknya seorang anak kecil. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata: “Kamu pasti membohongiku! Kamu pasti sedang menghadapi kesulitan, bukan? Apakah terjadi masalah? Beritahu aku! Kamu jangan berkata menyakitkan seperti ini... Aku benar-benar sedih... Kamu jangan seperti ini…”

Kata-kata selanjutnya sudah tidak bisa Yuni Lim lanjutkan karena ia sudah menangis tersedu-sedu. Ia mengulurkan tangannya untuk menutupi dadanya, bagian itu benar-benar terasa sangat sakit.

Bagaimana bisa menjadi seperti ini?

Tidak ada orang yang lebih tega dari Candra Gail namun juga tidak ada orang yang lebih sabar darinya.

Kejadian seperti ini bukannya tidak pernah terjadi sebelumnya, kejadian dimana Candra Gail punya ‘sejarah kejahatan’ seperti ini.

Candra Gail terbaring kaku diatas kasur, raut tenang yang terukir diwajahnya terlihat sulit untuk dipertahankan.

Kedua tangannya diikat terlalu kuat oleh Yuni Lim, benar-benar tidak bisa dilepaskan.

Jadi saat ia ingin melakukan gerakan sederhana seperti menegakkan tubuhnya, itu terasa benar-benar sulit baginya.

Setelah Candra Gail bisa membalikkan tubuhnya dan duduk, ia menggerak-gerakkan sedikit tubuhnya kemudian berhenti. Ia hanya terduduk disitu sambil menatap Yuni Lim, hampir tidak sedikitpun ia bergerak saat menatapnya.

Walaupun Candra Gail menatapnya dengan tatapan dingin, tapi dapat terlihat dagunya mengencang erat jika dilihat dengan seksama. Hal seperti ini baru bisa terlihat saat seseorang dengan sekuat tenaganya bersabar.

Yuni Lim masih menangis, air matanya mengalir seolah tidak dapat terhenti. Sekujur tubuhnya gemetar, ia terlihat sangat-sangat menyedihkan.

Pangkal tenggorokan Candra Gail terlihat sulit bergerak, suara yang keluar dari mulutnya sedingin es dan menakutkan: “Apalagi yang kamu tahu selain menangis? Sudahlah, aku tidak menyukaimu. Aku sudah bosan bermain denganmu, apakah itu tidak boleh! Apa gunanya tarik ulur seperti ini!”

Dengan mata yang kabur oleh air mata Yuni Lim menatap Candra Gail. Tapi ia tidak bisa melihat wajah Candra Gail dengan jelas karena air mata menggenangi matanya.

Ia menatap lurus pria itu selama dua detik, kemudian tiba-tiba berlari menghampiri. Ia bersimpuh di depan pria itu, mengulurkan tangannya dan meraba-raba tubuh pria itu secara sembarangan sambil berkata: “Kamu bukan Candra Gail, kamu pasti bukan ia! Kamu pasti berpura-pura...”

Candra Gail yang akhirnya terlihat seperti marah pun meraung dengan suara nyaring: “CUKUP! BERAPA KALI HARUS KUKATAKAN PADAMU!”

Yuni Lim terpaku. Melihat mata Candra Gail yang penuh dengan ketidaksabaran dan rasa kesal membuatnya sedikit tersadar. Dengan sekuat tenaga ia menahan tangisannya dan dengan suara polos bertanya: “Benar-benar karena sudah bosan? Kalau begitu kenapa mau menikah denganku?”

Nada suara Candra Gail terdengar mengejek: “Hah, daya ingatmu benar-benar buruk! Kamu jangan lupa, kamu sendiri yang berinisiatif untuk datang ke depan pintuku. Kamu masih muda dan lumayan cantik, lalu datang dengan sendirinya ke hadapanku. Kenapa aku tidak mau?”

Yuni Lim merasa geram sampai sekujur tubuhnya gemetar. Ia membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah berapa lama tidak ada suara apapun yang terucap.

Candra Gail menautkan alisnya dengan geram, suaranya terdengar lebih dalam: “Masih belum cukup? Apalagi yang ingin kamu tanyakan? Kamu masih tidak percaya? Yuni Lim, aku belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak tahu malu sepertimu. Kamu benar-benar mengira dirimu sangat hebat sampai bisa membuatku terus-terusan melihatmu?! Emosimu sangat tidak stabil dan kamu juga tidak punya latar belakang keluarga yang hebat. Selain ada manfaatnya saat bersamaku, masih ada guna apalagi?”

Sederetan perkataan yang dilontarkan Candra Gail ini, walaupun setiap kata-katanya adalah kebenaran, tapi setiap kata-katanya seperti jarum. Jarum yang dengan kejam menancap di hati Yuni Lim yang membuat darahnya mengalir.

Hal yang paling menakutkan dalam percintaan adalah orang yang paling kamu cintai adalah orang yang paling bisa melukaimu. Ia tahu dengan pasti semua kelemahanmu. Sekali serang pada titik yang vital, pasti tidak akan gagal.

Cinta disisi lain juga kebencian.

Kasih sayang disisi lain adalah kekejaman.

Tiba-tiba seluruh ruangan menjadi hening terdiam.

Waktu terasa seperti terhenti, hembusan napas kedua orang itu seperti musnah.

Cukup lama waktu berlalu, sampai akhirnya Yuni Lim berujar kaku: “Kalau begitu kita cerai saja.”

Candra Gail pernah berkata bahwa ia pasti akan setia pada pernikahan.

Yuni Lim percaya, namun pria itu mengingkarinya.

Tidak heran, semua orang bilang kata-kata pria adalah yang paling tidak boleh dipercaya.

Sebenarnya Yuni Lim yang terlalu bodoh atau kemampuan pria itu yang terlalu licik?

Yuni Lim mengira Candra Gail akan langsung menyetujui begitu ia mengungkit perceraian.

Tidak disangka, pria itu hanya membalasnya dengan dua kata: “Tidak mungkin.”

Yuni Lim secepat kilat menengadah, di dalam matanya terbersit secercah sinar yang terang dan dengan penuh harap menatap Candra Gail.

Seperti tahu apa yang sedang dipikirkan Yuni Lim, sudut bibir Candra Gail menyunggingkan senyum mengejek: “Kenapa? Kamu kira aku akan menarik kembali kata-kataku?”

Secercah sinar di dalam mata Yuni Lim pupus seketika.

Setelah ditebak Candra Gail, ia benar-benar mengira pria itu akan menarik kembali perkataannya.

Candra Gail adalah orang yang sangat cerdas. Dengan kata lain, bahkan orang bijak atau iblis pun tidak bisa menandinginya. Hanya butuh satu lirikan mata, ia bisa melihat dengan jelas apa yang dipikirkan Yuni Lim.

Candra Gail tertawa ringan: “Kamu pikir kamu bisa mengambil setengah hartaku dengan mudah?”

Wajah Yuni Lim pucat seketika, mata dan ujung hidungnya masih merah karena sebelumnya ia menangis. Ia terbengong-bengong bersimpuh disitu, terlihat sangat tidak berdaya dan membuat orang lain yang melihatnya ikut bersedih.

Candra Gail menggerak-gerakkan bibirnya, lalu raut wajahnya berubah dan dengan rapat mengatupkan mulutnya.

Perkataan Candra Gail ini, jelas-jelas merupakan sebuah penghinaan.

Menghina Yuni Lim dan juga merendahkan perasaan diantara mereka berdua.

Saat itu juga, sepercik api terakhir yang ada di lubuk hati Yuni Lim berubah menjadi debu.

Ia mengeratkan giginya dengan sekuat tenaga seolah mengumpulkan kekuatan tubuhnya: “Aku tidak mau uangmu sepeserpun! Kuharap kamu secepatnya mengurus perceraian.”

Melihat raut wajah Candra Gail yang tidak tersentuh sedikitpun, ia pun tidak bisa menahan senyumnya.

Yuni Lim meluncur turun dari kasur dengan perlahan, mencari gunting dan memotong ikatan dasi yang mengikat tangan Candra Gail. Ia melihat kain yang sudah tercabik itu dan kembali termenung.

Saat masih bersinar, dasi yang berkualitas ini dapat menyanjung identitas seseorang dan membuat orang lain terkagum.

Tapi setelah dipotong, dasi ini hanyalah seonggok kain.

Sama seperti perasaan diantara dirinya dan Candra Gail.

Setelah itu, Yuni Lim mengembalikan gunting itu ke tempat asalnya.

Secara teratur setelah ia melakukan semua ini, Yuni Lim beranjak pergi tanpa menoleh lagi.

Ditengah-tengah semua proses ini, Yuni Lim tidak memperhatikan bahwa Candra Gail tidak berujar sepatah katapun. Ia terlebih tidak menyadari bahwa seorang pria yang tidak memiliki perasaan terhadapnya bagaimana mungkin bisa menahan untuk tidak marah saat kedua tangannya diikat.

Sampai saat pintu tertutup, Candra Gail tidak bisa lagi menahan bau amis yang menjalari tenggorokannya. Ia bersender di kasur dan memuntahkan darah segar.

Tepat pada saat itu, seorang pelayan datang dan mengetuk pintu: “Tuan, nyonya...”

Candra Gail mengelap jejak darah di ujung bibirnya dan duduk menegakkan badannya seolah tidak terjadi apa-apa, nada suaranya terdengar seperti biasa: “Biarkan ia pergi!”

Setelah mendapatkan jawaban, pelayan itu pun langsung pergi.

Akan tetapi Candra Gail tidak berbaring untuk beristirahat. Ia justru mengambil ponselnya dan melakukan sebuah panggilan: “Ikuti.”

Novel Terkait

My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu