After Met You - Bab 45 Kebaikan Dari Triliunan Anak Cucu, Bagaimana KaMu Bisa Membalasnya?

Saat Yuni Lim tersadar, ia merasa seluruh tubuhnya sangat lemah dan tidak bertenaga sedikit pun.

Walaupun ia hanya sedikit menggerakkan lehernya, ia langsung merasa sangat lelah.

Lengan kanannya terasa dingin, jadi Yuni Lim menoleh dan melihat sekilas. Ternyata ia sedang diinfus.

Ia menggerakan sebelah tangannya lagi yang bebas untuk menyibakkan selimut yang menutupi dirinya. Yuni Lim ingin bangun, tapi ternyata ia sama sekali tidak bertenaga.

Yuni Lim pun memejamkan matanya sebentar dan kembali membukanya.

Ia ingat setelah ia keluar dari Istana Yurich, ia kemudian naik taksi...

Presidential Suite, Tuan Mario, suara tembakan...

Adegan demi adegan kembali terulang dalam benaknya, ingatannya mulai tersusun secara rapi.

Pintu kamarnya terbuka tanpa suara dan seseorang berjalan masuk.

“Kamu sudah sadar.”

Suara yang lantang dan jernih itu terdengar jelas dalam kamar yang sepi, seperti suara air mengalir. Namun bagi Yuni Lim, suara itu tidak terdengar nyaman.

Candra Gail tidak berbicara sepatah kata pun bergerak saat melihat Yuni Lim. Candra lalu mengambil langkah-langkah besar untuk mendekatinya, alisnya sedikit mengerut dan bibir tipisnya berucap datar: “Adakah bagian yang masih terasa sakit atau tidak nyaman?”

Yuni Lim yang tidak berdaya hanya berhasil mengatakan beberapa kata: “Semuanya sakit.”

Selesai bicara, Yuni Lim melirik Candra sekilas dengan hati-hati. Tapi Yuni Lim lalu memalingkan kepalanya dan kembali memejamkan mata.

Ia tidak tahu bagaimana harus ia bersikap di depan Candra Gail sekarang.

Membencinya? Bersyukur padanya?

Candra adalah penyelamat hidupnya sekaligus pria yang telah membohonginya.

Candra mengerutkan keningnya melihat Yuni Lim yang kembali memejamkan matanya setelah selesai bicara. Ia pun memutuskan untuk berjalan keluar. Yuni Lim menghembuskan napas lega setelah mendengar suara pintu yang ditutup pelan.

Tapi belum beberapa menit berlalu, beberapa orang dokter pun masuk.

Candra dengan serius berkata: “Lakukan pemeriksaan menyeluruh untuknya. Kalau ia masih mengatakan sakit atau tidak nyaman di bagian manapun itu, lebih baik kalian menanggalkan jabatan sebagai dokter.”

Yuni Lim pun langsung dipindah-pindahkan untuk menjalani berbagai macam pemeriksaan.

Setelah melewati semua pemeriksaan, Yuni Lim dengan ajaib merasa lebih baik. Candra lalu memutuskan untuk mengampuni nyawa dokter-dokter itu ketika melihat fisik Yuni Lim yang sudah lebih baik dan warna wajahnya yang sudah tidak pucat pasi lagi.

Yuni Lim menyender di atas kasurnya dan meraba wajahnya. Dengan suaranya yang tipis, ia pun bertanya: “Jam berapa ini?”

“Kamu sudah tidur seharian, semalaman.” Candra berjalan mendekat sambil membawa sesuatu yang diletakkannya di atas laci kecil di samping kasur. Yuni Lim menoleh sekilas, ternyata Candra membawa termos.

Candra menjawab pertanyaannya dengan nada bicara yang biasa, membuat Yuni Lim tidak bertanya hal lain padanya. Candra pun tidak mengungkit apapun dan dengan santai membuka tutup termos tersebut. Aroma bubur ayam yang harum dengan segera keluar dari dalam termos.

Yuni Lim mencium aroma itu dan merasa dirinya menjadi lapar.

Candra menuangkan bubur itu ke dalam sebuah mangkok dan mengangkat sendok ingin menyuapinya: “Makanlah sedikit.”

“Terima kasih, tapi aku bisa sendiri.” Yuni Lim meliriknya sedikit, tidak sepenuhnya menatap Candra.

Mendengar itu, raut wajah Candra pun berubah sendu. Ia lalu menyodorkan mangkuk itu dan menyerahkan kepada Yuni Lim, kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi.

...

Seminggu setelahnya, Yuni Lim masih berada di rumah sakit, namun ia tidak pernah melihat batang hidung Candra lagi. Hanya para suster saja yang merawatnya.

Sebaliknya, Alex Paige dan Andrea datang mengunjunginya. Tapi Yuni Lim tidak menunjukkan raut wajah senang.

Rekan mereka membohonginya, tapi mereka berdiri di sampingnya dan mengajaknya bercanda. Apakah Yuni Lim berhutang pada mereka sehingga ia harus memberikan raut wajah senang?

Kalaupun berhutang, ia hanya berhutang kepada Candra.

Sampai pada hari dimana Yuni Lim keluar dari rumah sakit, barulah ia melihat sosok Candra Gail.

Ketika Yuni Lim berjalan sampai ke pintu masuk rumah sakit, barulah ia menyadari bahwa selama ini ia dirawat di rumah sakit paling bagus di Malaysia. Puluhan ribu ringgit tidak cukup untuk membiayai biaya perawatan per harinya.

Candra menyender di bagian depan mobil, mengenakan baju hitam dan celana hitam. Gaya berpakaiannya membuat tubuhnya terlihat semakin tinggi dan mempesona. Ia berdiri diam di sana, tidak bicara maupun bergerak, membuat orang merasakan aura kemewahan yang terpancar dari dalam dirinya.

“Belakangan ini aku sedikit sibuk, makanya tidak bisa menjengukmu.” Candra berjalan mendekat dan sambil bicara mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Yuni Lim.

Tapi Yuni Lim menghindar. Tidak ada ekspresi apapun yang terlukis di wajahnya dan dengan dingin ia berkata: “Terima kasih sudah menolongku, biaya rumah sakit akan kubayar kembali padamu. Kalau nanti ada hal yang bisa kubantu, atau jika kau membutuhkanku, katakan saja, aku akan membalas kebaikanmu ini.”

Gerakan tangan Candra terpaku di tengah udara. Ia menyipitkan bola matanya yang hitam dan dengan santainya menarik kembali tangannya. Ia pun kembali mengulangi perkataan Yuni Lim: “Membalas kebaikanku?”

“Iya.” Yuni Lim mengangguk, wajahnya yang pucat menunjukkan dengan jelas keinginannya untuk pergi.

Tiba-tiba Candra tertawa dengan nada rendah dan mendekat ke telinga Yuni Lim: “Kebaikan dari triliunan anak dan cucu, bagaimana kamu bisa membalasnya?”

Yuni Lim tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dan mengangkat kepala untuk menatap Candra. Jauh di dalam sorot matanya, Yuni Lim akhirnya mengerti arti dari perkataan Candra barusan. Wajahnya yang pucat pasi pun merona merah.

Yuni Lim menekuk wajahnya dan tidak mampu membalas perkataan Candra.

“Katakan, bagaimana kamu bisa membalasnya?”

Dasar, masih saja tertawa!

Yuni Lim menendang sebelah kaki Candra dan menggerakkan kakinya pergi dari situ secepatnya. Untung saja di depannya adalah halte bus, ia hanya perlu berlari dua langkah untuk naik ke bus yang kebetulan sudah datang.

Candra masih berpijak di tempat yang sama dengan sebelah betisnya yang masih terasa sakit, raut wajahnya sulit dijelaskan.

Andrea sedikit ragu, namun akhirnya menghampirinya: “Bos, anda tidak apa-apa kan...”

Candra meliriknya: “Kalau sampai terjadi masalah lagi, kamu kembali saja ke Amerika!”

“Baik.” Emosi atasannya semakin lama semakin tidak baik. Jelas-jelas istrinya yang membangkitkan amarahnya, tapi malah melapiaskan amarahnya kepadanya.

...

Bus melaju dengan sangat pelan, saking pelannya pemandangan di luar jendela pun terlihat jelas.

Pikiran Yuni Lim sebenarnya sangat kacau.

Saat bus berhenti sejenak di halte, terlihat di seberang ada toko yang menjual dan menerima reparasi pintu.

Ia mengikuti orang lain turun dari bus, menuju ke arah toko di seberang itu, dan berkata dengan suara dingin: “Tolong ganti pintuku.”

Nona penjual di toko itu bertanya dengan sopan dan sabar: “Maaf, pintu seperti apa yang anda butuhkan? Kapan anda ada waktu luang, kami...”

“Aku mau yang paling kuat dan kokoh dan ganti pintuku sekarang juga!” potong Yuni Lim dengan suara dingin, disertai pula tatapannya yang bisa meluruhkan gunung es.

Nona penjual itu masih sedikit mempersulitnya: “Mohon maaf, tapi tukang reparasi kami…”

Yuni Lim langsung mengeluarkan sebuah kartu dan meletakkannya di atas meja: “Kubayar sepuluh kali lipat.”

Kali ini ia harus berterima kasih kepada Candra yang menemukan kembali dompetnya. Akan tetapi Candra begitu tidak tahu malu, Yuni Lim harus mengganti daun pintunya baru ia bisa merasa tenang.

Dasar pembohong tidak tahu malu!

...

Yuni Lim berdiri di koridor pintu masuknya, mengawasi para pekerja yang sedang mengganti pintunya.

Suara “Dok dok dok! Ting tang ting tang!” pun memenuhi ruangan.

Tetangga di seberang rumah pun membuka pintu, dengan tidak sabar membuka mulut: “Kenapa ganti pintu sepagi ini! Berisik sekali!”

Yuni Lim menyilangkankan lengannya di depan dada dan menatap tetangganya itu dengan muka yang dingin. Suaranya yang datar dan dingin pun berucap: “Lebih baik anda masuk dan tutup pintu anda. Kalau tidak, malam ini saya akan membunyikan lagu kematian di depan pintu anda.”

“Kamu…” Tetangga itu memutar bola matanya, tidak menyangka wanita secantik Yuni Lim akan bicara hal konyol seperti itu.

Tetangga itu pun menutup pintunya dengan kasar. “Brakk!”

Yuni Lim masih berdiri di koridor itu. Warna wajahnya masih pucat, tidak ada rona merah di wajahnya.

Kira-kira sudah sepuluh hari berlalu semenjak Yuni Lim mengetahui jati diri Candra yang sesungguhnya. Tapi pria itu tidak memberikannya penjelasan apapun dan Yuni Lim juga tidak bertanya.

Tapi dalam hati kecilnya, sebenarnya Yuni lim sudah hancur.

Ia berterima kasih kepada Candra yang telah menyelamatkannya dari situasi yang berbahaya itu, tapi bagaimanapun juga Candra Gail juga telah tega membohonginya.

Rasa terima kasih dan penghianatan telah ditipu adalah dua hal yang berbeda. Yuni Lim memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi tinggal bersama Candra.

Para pekerja itu mengira Yuni Lim kesal dengan pekerjaan mereka yang lamban, akhirnya mereka menambah kecepatan gerakan mereka agar penggantian pintu itu cepat selesai.

“Nona, sudah selesai.”

“Terima kasih.” Selesai bicara, Yuni Lim dengan segera menutup pintunya.

Para pekerja itu berdiri mematung di depan pintu. Sebenarnya pelanggan ini puas atau tidak dengan hasil kerja mereka?

Setelah menutup pintu, apartemen pun menjadi hening.

Yuni Lim beranjak ke rak bir dan mengambil sebotol anggur. Ia baru berjalan setengah langkah ketika teringat bahwa anggur tersebut adalah pemberian Candra sewaktu ia kembali. Yuni Lim membalikkan tubuhnya dan langsung membuang botol anggur itu ke tempat sampah, sedikitpun tidak mau melihatnya lagi.

Ia membuka kulkasnya dan melihat beberapa kaleng bir. Setelah menegak habis tiga kaleng berturut-turut, Yuni Lim merasa mulai pusing tapi ia masih bisa berpikir jernih.

Tiba-tiba, ponsel yang diletakkannya di samping berdering. Yuni Lim menoleh dan meliriknya sekilas, ternyata sebuah nomor yang tidak dikenal meneleponnya.

Novel Terkait

Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu