Kembali Dari Kematian - Bab 461 Erha Dan Yesica

“Halo Tuan Jing, aku teman sekelas Yesica, namaku Jeje. Apakah anda mencari Yesica? Yesica sedang bersamaku, tapi dia ada di kamar mandi, tunggu sebentar!” Jeje berpura-pura, “Yesica, ada yang mencarimu, sepertinya bernama Tuan Jing. "

Jeje menyerahkan ponsel kepada Yesica, Yesica tidak punya pilihan selain menjawab telepon sambil menepuk dada dengan tangan "Halo, Kak Jing, kamu mencari aku?"

“Yesica, keluar sebentar!” Pinta Erha tanpa ada ruang untuk negosiasi.

Yesica menatap ponsel yang telah kembali ke layar semula, matanya membelalak. Setelah berlalu lama, barulah dia menoleh ke Jeje dengan ekspresi yang masih tercengang sambil menggigit bibir "Kenapa kamu menjawabnya?"

"Aduh, melihat kamu seperti ini, aku tahu hatimu pasti ragu-ragu. Kalau memang begitu, lebih baik aku membantumu mengambil keputusan secara tegas, cepat pergi!"

Jeje berkata sambil mendorong Yesica keluar. Kedua tangan Yesica menahan di ambang pintu "Jeje, aku tidak mau pergi, aku. . . . ."

"Pergilah, kenapa tidak mau pergi. Dia sudah berinisiatif mendatangimu, dia mungkin tertarik padamu juga!"

"Aku. . . . . bukan, dia hanya memperlakukanku seperti adik perempuannya. Jeje, bisakah kamu. . . . ."

Sebelum Yesica selesai berbicara, Jeje sudah mendorongnya sampai di luar, sekaligus mengunci pintu "Pergi. Hari ini aku tidak akan membukakan pintu untukmu. Kalau kamu tidak menyelesaikan misi hari ini, tidak usah pulang! "

Mata Yesica membelalak. Akhirnya, dia menarik lengan bajunya dengan tak berdaya dan berjalan menuju gerbang sekolah.

Yesica menemukan mobil Erha diparkir di depan gerbang masuk kampus dari kejauhan. Erha sepertinya sudah menunggu beberapa saat. Dia menjepit sebatang rokok di sela-sela jari, bersandar di depan mobil dengan satu kaki menginjak di depan mobil, tangan menggantungkan mantel di bahu.

Jaraknya begitu jauh, tapi Yesica dapat menemukan Erha hanya dengan sekilas pandangan, seolah-olah penampilan Erha telah tercetak di dalam hatinya. Selama dia mengangkat kepala, kebiasaan naluriah langsung mengunci pandangannya pada sosok Erha.

Entah sejak kapan, kelakuan ini sepertinya sudah menjadi semacam kebiasaan. Sampai sekarang pun dia masih belum bisa mengubah kebiasaan itu.

Melihat penampilan Erha, jantung Yesica berdegup kencang. Apalagi saat melihat Erha berbalik, tangan dan kakinya yang gugup tak tahu harus diletakkan di mana.

"Yesica!"

Erha sudah melihat Yesica. Dia bangkit dari mobil, menggantung mantel di pergelangan tangan, melambai ke arah Yesica "Sini!"

Yesica menarik napas dalam-dalam. Dia membuat persiapan mental beberapa kali di dalam hati. Kemudian, barulah dia melangkah sambil tersenyum, memandang Erha dengan tenang "Kak Jing, kenapa kamu datang ke sini?"

Erha menyipitkan mata, memandang Yesica. Lalu, dia perlahan mendekat. Tindakannya ini membuat Yesica ketakutan dan mundur dua langkah. Kemudian, Erha mengangkat tangan dan meletakkannya di dekat telinga Yesica.

Jantung Yesica berdebar kencang, dia tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah "Kak Jing, kamu. . . . ."

“Jangan bergerak!” Seru Erha. Yesica benar-benar tidak bergerak, dia menatap Erha dengan mata lebar. Memandang Yesica yang imut, Erha merasa lucu, “Wah, ada rambut yang berantakan, Yesica. Apakah kamu tidak bercermin sebelum keluar?"

"Aku. . . . ."

Dari tadi Yesica sudah gugup setengah mati, apalagi dia didorong keluar oleh Jeje secara mendadak, bagaimana mungkin dia sempat memedulikan begitu banyak hal. Seluruh perhatiannya fokus pada Erha, dia tentu tidak sempat memikirkan penampilannya sendiri. Setelah Erha berkata demikian, Erha seketika kehilangan akal. Dia tidak bisa mengucapkan kalimat utuh untuk waktu yang lama.

"Sudah!"

Erha menarik kembali tangannya. Dia menemukan wajah Yesica memerah. "Kamu lari ke sini?"

“Aku. . . . .” Yesica menggelengkan kepala, “Tidak.” Sambil menggigit bibir, dia mengatupkan kedua tangannya dan menarik nafas dalam-dalam, “Kak Jing, ada apa kamu mencariku?”

“Tidak bisakah aku mencarimu jika tidak ada urusan?” Melihat Yesica seperti ini, Erha merasa lucu.

Sepertinya sejak saat itu, dia selalu secara naluriah membedakan Yesica dari gadis kecil yang dulu.

Hari ini dia datang bukan untuk menemui Yesica, tapi dia datang kembali ke almamaternya ini karena ada urusan penting. Tadinya dia sebenarnya sudah hendak pergi, tetapi ketika masuk ke mobil, dia teringat bahwa dia sepertinya sudah lama tidak bertemu dengan Yesica. Jadi, dia pun menelepon Yesica.

Setelah melihat Yesica berdiri di depan mata, dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya. Namun, dia merasa dirinya sepertinya sangat senang.

Erha memang merasa senang, tapi Yesica malah tidak merasa demikian.

Dia sudah berusaha untuk menghindari Erha, tetapi terkadang hati tidak berada di bawah kendalinya sama sekali.

Dia mungkin bisa membatasi tindakannya sendiri, tapi dia tidak bisa membatasi Erha maupun pikirannya sendiri.

Dia harus mengakui bahwa meskipun dia sangat gugup saat menghadapi Erha, tapi pada saat yang sama, dia juga merasa sangat senang dan bergairah. Hanya saja, dia tidak berani mengungkapkan perasaannya itu. Dia hanya bisa merapatkan bibir dan berpura-pura menatap Erha dengan serius.

"Itu . . . . . itu . . . . ."

"Sudah, hari ini aku datang ke kampus karena ada beberapa urusan, aku baru saja menyelesaikannya. Aku ingat kakak ipar pernah bilang kamu sibuk dengan tugasmu baru-baru ini. Grup Qin terlalu sibuk beberapa waktu yang lalu, apakah waktu belajarmu terganggu?"

Yesica mengangguk ketika melihat Erha mendiskusikan persoalan belajar dengan begitu serius "Sebenarnya oke-oke saja, tapi ibuku bilang studi tidak boleh ditinggalkan. Bagaimanapun, beberapa ilmu perlu dikuasai. Mengenai persoalan perusahaan, ibuku bisa mengawasinya sendiri. Jadi, dia menyuruhku untuk datang ke kampus saja dulu."

"Iya, Bibi Qin benar. Belajar sangat penting. Mengenai perusahaan, sebenarnya sama saja apakah kamu mengambil alih sekarang atau di masa depan!" Erha tersenyum sambil menatap Yesica "Apakah kamu sudah makan malam?"

Yesica menggelengkan kepala "Belum!"

Bagaimana mungkin dia bisa makan di saat seperti ini?

Setelah kelas terakhir mereka selesai, mereka berencana untuk makan bersama, tetapi dua teman lain yang seasrama tiba-tiba ada urusan dan belum pulang. Jadi, dia dan Jeje sedang menunggu mereka. Tetapi Erha malah datang.

"Naik!"

Erha membuka pintu mobil dan berkedip pada Yesica.

Kedua tangan Yesica tiba-tiba berpegangan erat, sedikit ragu "Kak Jing, sebenarnya aku . . . . ."

"Hah? Bukankah kamu bilang kamu belum makan? Masuklah." Erha menepuk bahu Yesica. "Aku juga belum makan!"

Yesica tahu dirinya tidak bisa menemukan alasan lain, sehingga dia hanya bisa mendengarkan Erha untuk masuk ke dalam mobil "Kak Mas Jing, cari tempat makan yang biasa-biasa saja, aku . . . . ."

“Tempat makan yang biasa? Jangan menghemat uangku. Meskipun aku hanya bekerja di rumah sakit dan aku mungkin tidak sekaya kakak ketiga, tapi aku bukannya tidak mampu mentraktirmu makan!” Erha seolah sedang membujuk seorang anak kecil, dia menatap Yesica dengan tatapan penuh pemanjaan.

"Baiklah!"

Yesica tidak berani menatap mata Erha secara langsung. Dia tahu dirinya tidak boleh menolak lagi, jadi dia mengangguk "Kalau begitu, Kak Jing yang mengambil keputusan saja!"

"Begitu dong. Kita sudah saling kenal selama bertahun-tahun, tapi sepertinya aku belum pernah mentraktirmu makan!"

Yesica mengangguk, menunduk dan menjawab. Dia tidak berani menatap Erha, dia takut Erha akan menerobos ke pikirannya selama dia tidak berhati-hati.

Meski Erha berbeda dengan Siwon dan Demyuk, tapi dia juga merupakan anak dari keluarga kaya. Soal selera, dia memang patut dipercaya.

Erha tidak begitu tahu tentang selera makan Yesica, tapi sebelumnya mereka sering keluar bersama. Menurut hidangan yang dipesan semua orang sebelumnya, Erha memilih tempat yang lumayan bagus dan relatif dekat dengan kampus Yesica, sehingga tidak akan menunda waktu istirahat Yesica.

Yesica masih merasa gugup saat bersama dengan Erha. Dia bahkan merasa tidak nyaman. Mereka berdua jarang memiliki waktu interaksi pribadi seperti ini, apalagi keluar berduaan.

Yesica sangat gugup. Sedangkan Erha juga agak linglung hari ini.

Dia sebenarnya tidak tahu apa maksud kelakuannya hari ini. Dia hanya mengikuti suara hatinya yang ingin menemui Yesica. Jadi, dia pun datang.

Dia memberi tahu Yesica bahwa dia datang ke kampus karena ada urusan, itu sebenarnya hanyalah alasan. Dia menatap Yesica yang sedang duduk dengan diam, hati tiba-tiba merasa gelisah. Yesica masih sangat muda, baru berusia di awal dua puluhan. Sementara dirinya sudah berusia tiga puluhan. Dia yang duduk bersama Yesica benar-benar terlihat seperti seorang tetua.

Siapa yang menyangka bahwa beberapa hari yang lalu dia masih memperlakukan Yesica sebagai adik perempuan, tetapi setelah berlalu beberapa hari, dia malah memiliki pemikiran semacam itu terhadap Yesica. Pemikiran seperti itu datang dengan cepat, segitu cepat hingga dia langsung datang ke sana tanpa menimbangnya dengan cermat.

Yesica sangat tidak nyaman. Dia selalu merasa mata Erha tertuju pada dirinya. Ini membuatnya semakin canggung dan gugup.

Yesica hayalah seorang gadis kecil. Walau dia memiliki pendirian yang kuat dan dibina dengan baik oleh keluarganya, tapi dia tetaplah hanya seorang gadis kecil. Dia tetap akan kehilangan akal saat menghadapi orang yang disukainya. Apalagi berinteraksi sendirian dengan Erha dan ditatap seperti ini olehnya.

Dia meremas jari-jari, mencengkeram ujung baju dengan erat, menampilkan senyuman yang dia kira tampak natural, lalu mengangkat kepala untuk menatap mata Erha yang dalam. Hanya sekilas pandangan itu langsung membuat hatinya tersentak. Dia langsung tertarik oleh tatapan itu. Dia bahkan tidak ingat apa yang ingin dikatakan.

"Kamu……"

"Kak Jing . . . . ."

Keduanya berbicara pada saat bersamaan, kemudian terdiam pada saat bersamaan juga.

Keheningan yang lama menyela di tengah pembicaraan sampai telinga Yesica berdengung dan detak jantungnya tanpa sadar melambat. Dia menelan ludah, pandangan penuh harapan tertuju pada Erha "Apa?"

Erha menggerakkan sudut mulut, melonggarkan kerah kemeja, tampak sedikit tak berdaya, “Tidak ada!” Dia berpikir dalam hati, pernahkah dirinya bertingkah seperti ini? Dia terlihat seperti bocah laki-laki. Sepertinya dia sudah bertahun-tahun tidak bertingkah labil seperti sekarang ini. Saat menghadapi Yesica, dia malah memiliki perasaan seperti ini. Mungkinkah dirinya sudah terlalu tua?

Benar juga, dibandingkan dengan Yesica, bukankah dirinya memang terlalu tua?

Jika Yesica tahu bahwa dia yang duduk di seberangnya tiba-tiba memiliki perasaan seperti itu padanya, Yesica agaknya bakal terkejut!

Memikirkan hal ini, Erha menghela nafas, lalu menyingkirkan pemikiran tidak benar itu dari hatinya. “Apa yang mau kamu makan. Aku sudah pernah mengecek bahwa di antara restoran-restoran di dekat kampusmu, makanan di restoran ini terhitung lumayan enak. Aku ingat penilaian restoran ini cukup bagus saat zaman aku kuliah. Awalnya aku kira restoran ini tidak bisa ditemukan lagi karena sudah berlalu banyak tahun, tapi ternyata masih buka!”

Novel Terkait

CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
3 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu