Menunggumu Kembali - Bab 146 Baiklah, Aku Jujur!

Jovitasari sama sekali tidak bisa membalas ucapan Ibunya.

Ia tidak menyadari bahwa Ibunya adalah orang yang seperti ini.

“Ibu, sejak kapan aku pernah tidak peduli kamu?”

Jovitasari menyerah, lagipula orang dihadapannya adalah Ibunya. Ia sangat merasa sedih, jika Ibu kesal atau sama sekali tidak peduli dengannya.

“Kamu lihat, kamu sekarang saja tidak peduli Ibu. Kamu dulu berbicara lembut dengan Ibu, tidak pernah berbohong, kamu akan berkaca-kaca jika Ibu memarahimu. Tapi sekarang, kamu lihatlah sikapmu saat berbicara dengan Ibu, sama sekali tidka menganggap Ibu.”

“Apa hubungannya, Ibu?”

Ucap Jovitasari sambil mengayunkan tangan Rita.

“Bukankah kamu dulu tidak pernah berbohong? Kamu sekarang sudah berani berbohong.”

“Ibu, aku tidak berbohong. Mengapa kamu percaya ucapan orang lain, padahal aku anakmu? Apakah kamu tidak percaya kepada anakmu?”

Rita melirik anaknya sekali dan berkata, “Baik, aku tanya kamu, mengapa kamu tidak memberitahu kami, kamu membeli rumah ini? Lalu darimana uangnya?”

“A-aku...K-kamu... Ibu, aku sudah beritahu berapa kali, kalau bukan aku yang membeli rumah ini. Kalau aku ada uang, untuk apa aku pergi ke bank meminjam uang? Kalau bukan karena dana tidak cukup, kita tidak perlu menggabungkan Industri Sorgum Sanjaya dengan perusahaan keluarga.”

“Lagipula mengapa Ibu tidak percaya kalau Sanfiko yang membeli rumah ini? Padahal di kertas perjanjian sudah tertera nama Sanfiko.”

Rita malah berbalik badan dan berdiri. Ia mengambil sebuah kertas perjanjian dari tas mahalnya dan menaruhnya diatas meja.

“Kamu lihat sekarang, nama siapa yang disana.”

Jovitasari melihat Rita dan berkata, “Ibu, uang darimana kamu bisa membeli tas itu? Lagipula tas itu sangat mahal.”

Rita memperlihatkan tas dihadapan Jovitasari dan berkata, “Ini bayaran Sanfiko untukku.”

Saat Jovitasari mengambil kertas perjanjian itu, Rita mengambil kartu ATM dari tasnya.

“Jovitasari, aku beritahu kamu kalau di kartu ini ada 400juta . Aku memberi adikmu 200 juta, lalu aku membeli tas dan cheongsam, disini masih tersisa 100juta.”

Jovitasari kaget melihat Ibunya dan berkata, “Darimana Ibu mendapat uang begitu banyak?”

Karena saat hari itu Sanfiko menyuruh Davis untuk mengganti rugi, Jovitasari belum datang.

Lagipula waktu itu Nusrini dan Jovitasari tidak pernah membahas, jadi Jovitasari sama sekali tidak tahu dengan masalah 400juta itu.

“Kartu ini adalah pemberian orang lain kepada Sanfiko, tapi aku merebutnya dari Sanfiko, lagipula hari itu Sanfiko menarik tasku hingga rusak, jadi kuanggap ini sebagai ganti rugi.”

“Mengapa Ibu melakukan itu?”

Jovitasari merasa Ibunya sangat jahat, apapun direbut olehnya.

“Ibu, uang ini milik Sanfiko, mengapa kamu merebut darinya?”

Seketika Rita tidak senang mendengar ucapan anak perempuannya. “Jovitasari, apakah karena merasa sudah besar, jadi kamu berani melawan dengan Ibumu?”

“Aku beritahu kamu, kamu harus inat saat itu Sanfiko tinggal dirumah kita, memakai barang kita, memang mengapa kalau aku merebutnya? Sekarang kartu ini ada di tanganku, jadi sudah menjadi milikku. Lalu aku juga sudah mengganti pemilik rumah ini menjadi diriku, jadi semua surat perjanjian sedang dibuat ulang.”

Apa?

Seketika ekspresi Jovitasari berubah, lalu ia membuka surat perjanjiannya.

Jovitasari makin kesal setelah melihat itu.

“Mengapa Ibu melakukan ini? Rumah ini kan dibeli Sanfiko, sekarang Ibu melakukan ini, apa bedanya dengan merebut?”

“Jovitasari, kamu dengar baik-baik. Aku tahu kamu membeli rumah ini dengan uang perusahaan. Sekarang perusahaan sedang mengalami krisis, jadi tidak ada orang yang memeriksa ini. Tapi kalau kita ketahuan tinggal di villa, pasti ada orang yang memeriksanya, jadi aku tidak memberitahu siapapun. Tunggu perusahaan bangkrut, kita baru pindah kesini.”

“Lagipula kamu tidak perlu bilang bahwa rumah ini dibeli oleh Sanfiko. Jangan bilang ia bisa beli rumah ini, bahkan ia tidak dapat membeli kendaraan biasa. Jovitasari, Ibu tahu kamu cinta Sanfiko, tapi sama dengan kataku, Sanfiko adalah orang payah, suatu hari pasti akan diusir dari Keluarga Bai. Kamu itu anakku, aku harus bertanggung jawab atas akhir kehidupanmu. Kalau uang saja tidak punya, kamu hanya bisa hidup susah. Tak apa-apa kalau kamu tidak suka Billy, Ibu masih mencari untukmu. Setelah kita pindah ke villa ini, sekeliling kita pasti penuh dengan orang kaya. Aku tidak percaya kalau aku tidak bisa menemukan mantu kaya disini.”

Mendengar ucapan Ibunya, Jovitasari hampir saja meledak.

“Ibu, kadang aku curiga kalau kamu bukan Ibu kandungku. Kamu selalu bilang kalau kamu berpikir demi kebahagiaanku, tapi apakah kamu tahu apa yang kuinginkan? Lagipula saat itu kamu bilang, jika Sanfiko membelikan rumah untukmu, kamu tidak akan menyuruh kami untuk bercerai. Mengapa kamu berbohong?”

“Aku berbohong? Aku melakukan ini demi kebaikanmu. Jovitasari, kalau benar Sanfiko yang membeli rumah ini, aku akan mengakuinya dan tidak menyuruh kalian cerai. Tapi rumah ini? Siapa yang kamu bohongi? Jangan-jangan kamu tidak tahu harga rumah ini? Rumah ini seharga 60miliar . Apakah Sanfiko punya uang sebanyak itu”

“Dengan apa ia membeli rumah?”

Rita dengan kesal duduk disana sambil melihat anaknya yang tidak patuh dengan perintahnya.

“Ibu, apakah ingin tahu bagaimana Sanfiko mendapatkan rumah ini?”

“Aku bisa jujur kepadamu.”

Jovitasari tidak dapat tahan lagi. Sanfiko melakukan banyak hal demi keluarga ini, tetapi tidak mendapat ucapan terima kasih dari keluarganya dan selalu diomeli Ibunya, serta ingin mengusirnya.

Ia tahu Sanfiko melakukan semua ini, demi dirinya dan menjaga perasaan dirinya.

Tapi Jovitasari makin merasa ini tidak adil bagi Sanfiko.

“Baik, kamu beritahu kepadaku. Aku sangat ingin mengetahuinya.”

Rita memeluk tubuh dengan kedua tangannya, lalu melihat kearah Jovitasari yang hampir nangis. Sebenarnya ia juga memikirkan masalah ini, lagipula kalau Jovitasari benar-benar menggunakan dana perusahaan untuk membeli rumah ini, tidak mungkin bisa dilakukan secara diam-diam. Rumah ini seharga 60 miliar, bukanlah sejumlah uang yang dikit. Orang perusahaan tidak mungkin tidak mengetahuinya.

Beberapa hari ini, Rita berhari-hati, tidak memberitahu kalau keluarganya membeli rumah di Xianjiang Property, karena ia tahu tidak ada orang yang percaya jika ia memberitahu. Dan yang paling penting adalah Rita takut kalau berita ini tersebar hingga kantor, maka orang kantor akan mulai memeriksanya dan menyalahkan Jovitasari.

Ini harus dikenakan hukuman. Dan saat itu, tidak bisa tinggal di villa dan ada kemungkinan bangkrut.

Ini juga salah satu alasan yang membuatnya khawatir dan bersikap buruk kepada Jovitasari untuk beberapa hari ini.

“Pertama, aku beritahu kalau rumah ini benar dibeli oleh Sanfiko. Hanya saja uangnya diberikan oleh teman sekolahnya.”

Apa?

Rita terkejut sesaat, lalu tertawa kencang.

“Jovitasari, kamu kira Ibu anak kecil, begitu mudah dibohongi? Ini bukan 600 ribu ataupun 6juta, tapi ini 60miliar. Apakah Sanfiko memiliki teman yang begitu kaya? Kalau ada, ia pasti sudah membanggakan dirinya sendiri.”

“Benar, Ibu. Ibu coba ingat-ingat lagi saat Industri Sorgum Sanjaya bekerja sama dengan Industri Bir Sumedang, mengapa begitu mudah terselesaikan? Itu semua karena teman Sanfiko. Teman Sanfiko ini adalah pemilik saham di Industri Bir Sumedang. Kurasa adalah pemilik saham yang besar, karena Sanfiko bilang temannya ini tinggal di luar negeri, baru saja kembali.”

“Apa?”

Rita melihat Jovitasari berbicara dengan tulus, tidak seperti berbohong dan bertanya, “Jovitasari, apakah benar semua yang kamu katakan itu?”

Jovitasari mengangguk dan berkata, “Ibu pikir ya, industri kita saat itu hampir saja bangkrut, lalu Industri Bir Sumedang ini langsung berinvestasi di industri kita sebanyak 600 miliar . Ibu pikir, Industri Bir Sumedang begitu besar, apakah orang-orang itu bodoh? Ini semua hasil bantuan Sanfiko kepada temannya.”

“Lagipula mengapa saat hanya membahas surat perjanjian itu denganku? Bahkan Ayah tidak pergi, itu semua karena Sanfiko.”

Seketika ekspresi Rita berubah.

“Kalau begitu, rumah ini pemberian teman Sanfiko untuknya?”

“Bukan pemberian, tapi iya juga. Yang penting karena temannya memberikan kartu kepada Sanfiko, lalu ia membeli rumah ini untukmu dengan uang didalam kartu itu.”

Mendengar ucapan itu, ekspresi Rita mendatar dan bertanya, “Kalau begitu Sanfiko masih menyimpan sisa uangnya?”

“Oh iya, berapa sisa uang didalam kartu itu?”

Jovitasari tercengang memandang Ibunya.

“Apa yang ingin Ibu lakukan?”

Ia memilik firasat buruk.

Benar, lalu Rita berdiri dan mengeluarkan teleponnya.

“Sanfiko ini menipu kita begitu lama. Kalau uang ini pemberian dari temannya, berarti kartu ini milik Sanfiko. Kurasa kartu itu masih punya banyak uang. Tidak boleh, aku harus menelpon Sanfiko untuk memberikan kartunya.”

Novel Terkait

This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu