Cinta Yang Dalam - Bab 362 Pergi Membuka Kamar?

Gandi menutp pintu penumpang, tetapi tidak pergi ke tempat pengemudi.

Setelah naik ke kursi belakang, baru saja membuka pintu mobil, Winda sudah menyusut ke samping dengan gugup.

"Gan, Gandi, kamu mau buat apa? Bukannya mau pergi makan?" Winda berkata dengan ekspresi tampak seperti pencuri, hal ini membuat Gandi tidak tahu bisa berkata apa-apa.

Dia menarik sabuk pengaman di samping dan berusaha berkata dengan nada suara yang lembut: "Nona Yang, menurut kamu apa yang ingin aku lakukan?"

Winda melihat Gandi dengan ekspresi yang waspada, Gandi terlihat seperti ingin memakai sabuk pengaman untuk Winda.

Tetapi, untuk apa yang dia pikirkan sebenarnya, bagaimana Winda bisa tahu? Dia bukan ulat di dalam perut Gandi.

Hanya masalah kecil seperti memakai sabuk pengaman saja, bukannya Gandi cukup bilang saja?

Buat apa berlari sampai ke belakang dan melakukannya sendiri? Pasti karena dia memiliki pemikiran yang buruk.

"Ti, tidak tahu.... Tuan Tirta, kamu letak saja sabuk pengamannya, masalah kecil seperti ini, aku bisa melakukannya sendiri"

Setelah berkata, Winda pun mengulurkan tangannya, mau mengambil sabuk pengaman dari satu arah lain lagi.

Tetapi pada detik selanjutnya, suara pong berdering dan mobl bergoyang untuk sejenak.

Gandi menutupi pintu mobil dan ikut duduk di bagian belakang.

Dia dan Winda masing-masing duduk di arah sudut, di dalam mobil yang berlebar 2 meter, lebar 1,5 meter di dalam mobil, jarak antara mereka berdua tidak sampai 50cm.

Jarak itu sangat dekat, asal salah satu orang mengulurkan tangannya, sudah bisa menyentuh sesama.

"Aku ingin lebih dekat dengan nona Yang, apakah boleh?"

Sambil berkata, Gandi pun mendekatinya.

Jantung Winda berdebar dengan kuat, seolah-olah sudah mau melompat keluar dari tenggorokannya.

Melihat Gandi yang sudah semakin dekat, Winda pun mengulurkan tangannya, bermaksud untuk menghentikannya.

Akan tetapi, kalau ada orang ketiga melihat penampilan sekarang, orang itu pasti akan merasa Winda sedang berpura-pura, berkata tidak mau tetapi sebenarnya ingin.

"Tuan Tirta, kalau kita berdua semua berada di belakang, siapa, siapa yang mengemudi nanti..."

Winda tidak ingin mengatakan kata-kata menjerat dengan Gandi, karena berdasarkan personalitas pria ini, kalau terlalu banyak mengatakan kata-kata menjerat, dia hanya akan menjadi semakin nakal dan menekan lebih dekat.

"Oh? Sepertinya kata-kata non Yang benar juga"

Sambil berkata, Gandi pun mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang.

"Kemari saja, kami butuh supir"

Kurang dari 3 menit setelah Gandi menelpon, ada seseorang yang datang mengetuk jendela mobil.

Gandi menurunkan jendela dan seorang petugas keamanan yang muda membungkukkan tubuhnya, "Presiden Tirta, apakah kita berangkat sekarang?"

Gandi menggelengkan kepalanya, "Kamu pergi merokok dulu istirahat sebentar, nanti aku panggil kamu"

Winda melihat adegan ini dengan wajah tidak tahu harus berkata apa, dia tidak bisa bereaksi untuk sesaat.

Pria ini benar-benar sangat detail, supir saja dia sudah siapkan dari tadi?

Berarti, kata-kata Winda tadi itu sama dengan melompat ke dalam jebakan sendiri?

Siapa tahu, Gandi sama sekali tidak memberi Winda waktu untuk berpikir, waktu Winda baru menggerakkan kepalanya, tubuh Gandi sudah menekan di depan wajahnya.

Wajah Gandi yang tampan, auranya yang lembut dan tatapannya yang penuh dengan kasih sayang disemprotkan ke wajah Winda begitu saja.

Wajah Winda langsung memerah, sensasi yang panas terasa sampai lehernya.

Winda mengangkat kepalanya, setelah saling bertatapan dengan mata Gandi, dia pun segera mengarah tatapannya ke arah lain.

Tatapan Gandi mencakup kasih sayang, Winda sama sekali tidak berani melihatnya terlalu lama, dia takut dirinya akan jatuh cinta lagi pada detik selanjutnya.

Melihat Winda yang merasa malu, Gandi sama sekali tidak peduli.

Karena efek yang dia mau memang seperti ini, kalau Winda bereaksi dengan marah, malahannya semuanya akan menjadi hancur.

Gandi melihat wanita cantik yang sedang menghindarinya, kemudian mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Winda.

Tubuh Winda tidak bisa menahan diri dan gemetar, dia sibuk berkata: "Tuan, tuan Tirta, kamu sedang buat apa? Bukannya mau pergi makan? Ayo kita berangkat sekarang, aku sangat lapar!"

Gandi tidak bereaksi terhadap kata-kata Winda.

Winda mengangkat kepalanya untuk melihat Gandi, siapa tahu, setelah mengangkat kepala, dahinya langsung terasa hangat.

Pria itu sangat dekat dengan dirinya.

Hanya satu gerakan kecil seperti ini saja, Winda sudah terjatuh ke dalam perangkap.

"Kamu..."

"Aku kenapa?"

"Kamu, tidak tahu malu!"

Rasa malu membuat Winda merasa sedikit marah, pria ini jelas sengaja menganggunya!

Gandi memasang gaya seolah-olah tidak mendengar, melihat Winda dengan ekspresi sepeti seekor kelinci polos.

"Nona Yang, apakah kamu tidak salah? Kamu sendiri yang menyentuh aku duluan! Ciuman pertama yang aku simpan selama 30 tahun, diambil begitu saja..."

Berkata sampai sini, Gandi memasang ekspresi sedih dan sakit hati. Kemudian dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah-olah yang dirugikan adalah dia.

Winda merasa pandangannya terhadap pria ini harus mengganti, setiap kali berinteraksi dengan pria ini, Winda akan merasa emosi dan ingin membunuhnya.

Bukannya pria ini adalah pemegang kuasa perusahaan Tirta? Bukannya dia adalah presiden yang sangat berkuasa dan mendominasi? Bukannya semua orang berkata dia adalah pria tampan yang dingin seperti gunung es?

Tetapi mengapa, pria ini bisa melakukan begitu banyak drama ketika berada di hadapannya?

Bahkan, hanya masuk ke dalam mobil saja pria ini juga bisa lari ke belakang dan memakaikan sabuk pengaman untuk Winda. Sementara hal yang dia lakukan sekarang sama sekali tidak berhubungan dengan mengenakan sabuk pengaman!

Waktu Winda mau membantah secara refleks, dia menyadari kalau dia membuka muluntya, sepertinya pasti akan bersentuhan lagi dengan pria ini.

Setelah mengalami pengalaman seperti kemarin, Winda memilih untuk segera diam.

Winda telah memutuskan, pura-pura mati seperti sekarang juga merupakan solusi yang bagus.

Melihat Winda tidak berbicara, Gandi malahan merasa sedikit cemas.

Bagaimana dia bisa mengambil langkah selanjutnya jika wanita ini hanya diam saja?"

"Nona Yang, apakah kamu merasa malu?"

Winda menggelengkan kepalanya dengan gerakan ringan, agar tidak bersentuhan dengan Gandi.

"Kalau begitu, mengapa wajahmu memerah seperti pantat monyet? Benar-benar sangat merah dan panas..."

Winda melihat Gandi dengan marah, di dalam mobil yang redup, dia pun bisa melihat senyuman Gandi yang nakal.

Winda mendengus dengan kuat, untuk mengungkapkan ketidakpuasannya pada saat ini.

"Nona Yang, apakah kamu tidak senang?"

Winda mengangguk pada kali ini, tetapi dia lupa, gerakan dia ini kebetulan membuat dirinya bersentuhan dengan Gandi lagi.

Gerakan mengangguk ini sama dengan mendekatkan dahinya sendiri ke depan wajah Gandi.

Setelah itu, Winda merasakan sebuah kehangatan, dia mundur ke belakang secara refleks dan tertabrak dengan dinding mobil di belakang.

Sementara nafas Gandi tiba-tiba menjadi berat.

Gandi menatap ke Winda dengan dalam, bahkan tangannya sudah memiliki gerakan ingin memeluknya.

Di ruang mobil yang kecil ini, jarak mereka berdua sangat dekat dan masrah.

Sementara pada saat ini tubuh Winda sudah ditekan di bawah tubuh Gandi dengan dekat.

Melihat pipinya yang memerah, Gandi merasa api di dalam hatinya sudah mulai membakar dengan kuat.

Mengapa wanita ini begitu menggoda?

Pertama kali menjumpainya, api yang Gandi menahan di dalam hatinya selama dua tahun akan menjadi terbakar secara refleks.

Gandi berkata dengan nada suara yang rendah dan mempesona, "Nona Yang, apakah kamu tahu, aku menyukai kamu?"

Wajah Winda memerah, kali ini, dia tidak merasa jijik ataupn membantah secara refleks.

Winda menatap ke Gandi dengan dalam dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.

"Tuan Tirta, kamu merasa apakah aku memiliki hak untuk berkata tidak setelah kamu memperlakukan aku seperti itu?"

Karena gugup, karena antisipasi yang tidak bisa dijelaskan dengan alasan, dahi Winda sudah dibasahi keringat.

Gandi mengulurkan tangannya dan menyeka keringat di dahi Winda, kemudian berkata dengan lembut, "Nona Yang, kamu sendiri yang membuat keputusan untuk meninggalkan aku pada tahun itu"

Winda membuka mulutnya, ingin membantah bahwa orang yang di maksud Gandi adalah orang yang berbeda dengan Winda saat ini.

Waktu mau mengatakan hal itu, Winda tiba-tiba teringat kalau dia membantah, bisa jadi pria ini akan langsung bertingkah kasar dan keras?

Sudah dirugikan begitu banyak kali setiap bersama pria ini, Winda harus belajar dari pengalaman.

"Tuan Tirta, cuaca, cuaca sangat panas, kamu lihat aku juga sudah berkeringat, kamu juga sudah berkeringat. Kalau tidak, kita pergi ke hotel dulu untuk makan, ada urusan apa pun, nanti saja bahasnya, oke?"

Ruangan dan posisi yang masrah ini, orang yang lewat dan melihat adegan ini pasti akan merasa di dalam mobil ini sedang terjadi hal yang masrah.

Jadi, demi menghindari hal itu terjadi, Winda memilih untuk mengubah topik.

"Oh? Nona Yang merasa kepanasan ya? Kepanasan di dalam hati atau tubuh?"

Nada suara Gandi dan senyumannya yang nakal membuat tangan Winda membentuk menjadi sebuah tinju yang erat.

Tatapan Winda menyapu melewati bawah tubuh Gandi dengan diam.

Winda tentu saja mengerti maksud yang tersembunyi di dalam kata-kata nakal pria ini.

Sepertinya, selalu mengalah tidak tentu bisa menyelesaikan masalah.

Yang pasti adalah harus mendidik pria ini agar dia bisa belajar dari pengalaman.

Waktu Winda sedang memikirkan hal itu, kaki Gandi malah saling melipat secara refleks.

Gerakan ini sepertinya dilakukan setelah memahami pikirannya dan sedang bertingkah untuk melindungi diri.

Winda mengangkat kepala secara refleks dan melihat Gandi tersenyum.

Gandi mengulurkan satu tangannya dan melambaikan lima jarinya di depan wajah Winda, kemudian berkata dengan santai: "Nona Yang, apakah tadi kamu memikirkan sesuatu yang berniat buruk? Pemikiran seperti ini tidak boleh ada pada kali ini! Kalau rusak, kamu harus tanggung jawab..."

"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa..."

Winda mengomel sambil berpikir, kalau dia benar-benar merusaknya, itu juga sedang melindungi diri.

Tetapi pada detik selanjutnya, Winda mulai memarahi dirinya di dalam hati. Sudah saat seperti apa? Dirinya masih memikirkan hal seperti ini.

Tubuh pria ini sudah semakin mendekat!

Buat apa Winda masih memikiran hal tanggung jawab?

"Tuan Tirta, kamu melihat petugas keamanan kamu, dia sudah menunggu begitu lama di luar. Kalau tidak, kalau tidak suruh dia masuk ke dalam mobil saja, kita bicara nanti setelah tiba di hotel"

"Hotel? Apakah kita pergi untuk membuka kamar?"

Novel Terkait

Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
3 tahun yang lalu