Cinta Yang Dalam - Bab 348 Ayo Kita Pacaran

Kaki Gandi terasa sakit, tapi dia tetap tidak melepaskan Winda.

Saat emosi Winda nyaris meledak, dia berkata tanpa daya "Nona Winda, bisakah kamu memindahkan kakimu supaya aku bisa menjauh dari kamu."

Winda menjerit, rasa kesal di hatinya agak mereda.

Dia memindahkan kakinya, tapi Gandi malah tidak mundur. Sebaliknya, Gandi meraihnya ke dalam pelukan sambil berbicara dengan nada lembut "Maaf, sayang. Aku telah membuatmu marah."

Ekspresi Winda tampak tertegun, emosi yang hampir meledak itu tertahankan oleh kata-kata Gandi.

Kelembutan Gandi, sepertinya tidak begitu menyebalkan?

Winda tidak bisa berhenti memikirkannya. Setelah berpikir selama dua detik, dia teringat betapa agresifnya pria ini barusan.

Dia mendorong Gandi menjauh dan berkata dengan suara rendah "Cukup, siapa sayangmu? Gandi, hari ini adalah terakhir kalinya aku bertoleransi padamu. Jika ada lain kali, aku tidak akan mengampunimu!"

Setelah Riana membawa Sabrina pulang, dia masih tidak menemukan Winda setelah mencari-cari di sekeliling.

Dia mengawasi Sabrina mencuci muka dan membujuknya untuk tidur. Setelah Sabrina tertidur, barulah dia meninggalkan kamar.

Di lorong, dia mengeluarkan ponsel. Ketika dia mencari nomor telepon Winda dan hendak melakukan panggilan, entah kenapa dia terpikir jalan bebatuan yang dilewatinya barusan.

Sosok samar itu sepertinya mirip dengan Winda?

Dia meletakkan ponsel, sebuah pikiran muncul di benaknya.

Dia buru-buru menuruni tangga. Sesampainya di pintu, dia bertanya kepada pengawal "Apakah kamu melihat nona?"

Pengawal di sebelah kiri menggelengkan kepala. Pengawal di sebelah kanan awalnya ingin menggelengkan kepala juga, tetapi dia sepertinya teringat sesuatu. Dia pun berkata “Nyonya, saya ingat nona sepertinya pernah muncul di jalan itu, lalu nona sepertinya dipanggil oleh seseorang.”

Dipanggil?

Riana mengingat bahwa dia tidak bertemu Gandi di pesta, hatinya tersentak.

Dia sekedar merespons pengawal itu, lalu berkata "Kalian berdua ikuti aku dari kejauhan. Kalau aku panggil kalian, kalian segera datang."

"Paham!"

Riana berjalan menuju ke jalan bebatuan untuk mencari Winda. Sambil meneriakkan nama Winda, dia menggunakan flash ponselnya sebagai senter untuk menyinari jalan.

Suara datang lebih dulu, kemudian diikuti dengan cahaya senter.

Winda seketika menjadi gugup. Dia memandang Gandi dengan panik, buru-buru berkata "Kenapa kamu masih berdiam di sini? Apakah kamu mau ditangkap? Buruan pergi dari sini!"

Berbeda dengan Winda, Gandi sangat tenang. Dia berbicara dengan suara kecil "Aku mau melihatmu lebih lama."

Penampilannya yang tenang sontak membuat emosi Winda melonjak tinggi.

Pria ini bahkan tidak lupa untuk berlagak keren di saat seperti ini? Apakah pria ini mengira dirinya adalah gadis berusia 18 tahun?

Winda sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana pemikiran kakak iparnya ketika melihat dia dan Gandi berduaan di dalam hutan.

Pada saat itu, apapun penjelasan yang diberikan dirinya akan sia-sia.

Melihat pria di depan masih tenang, rasa kesal yang kuat seketika membanjiri hati Winda.

Matanya merah. Pria ini agaknya hanya memikirkan diri sendiri.

Pria ini ingin menghancurkan reputasinya dan membuat semua orang mengira bahwa mereka berdua memiliki hubungan rahasia, benar?

Dengan demikian, hubungan mereka berdua pun dapat diperkuat.

"Cepat pergi. Jika tidak, maka akan terlambat!"

Ada sedikit tangisan yang terkandung dalam suara Winda. Dia tahu bahwa dia dan Gandi harus pergi dari sini melalui dua arah yang beda.

Ada begitu banyak orang di Rumah Besar Yang. Jika ketahuan oleh siapapun, rumor pasti akan menyebar.

Tapi Gandi malah mengulurkan tangan dan meremas pipi Winda dengan lembut, tersenyum "Jangan panik, ada aku di sini."

Winda kesal sekali. Pada saat seperti ini, Gandi masih pura-pura tenang.

Pria ini tidak dapat dipercayai!

Riana tidak mendengar balasan Winda, dia pun melakukan panggilan telepon.

Di malam yang sunyi, ponsel Winda tiba-tiba berdering.

Dia sontak tercengang. Riana yang mendengar suara dering pun berjalan menuju arah datangnya suara.

"Winda, apakah kamu di sini?"

Winda panik. Dia memegang ponsel di tangan, tidak tahu harus berbuat apa.

Namun, Gandi tiba-tiba membungkuk, memegangi pipi Winda dan menciumnya.

Setelah tiga detik, barulah dia melepaskan Winda.

"Nona Winda, kamu harus ingat bahwa aku yang menyelamatkanmu kali ini."

Usai itu, Gandi tiba-tiba menghilang di kegelapan.

Melihat arah perginya Gandi, Winda sangat cemas. Dia ingin berteriak untuk mengingatkan Gandi, tapi Riana sudah berada di sisinya.

“Winda, kenapa kamu di sini dan kenapa kamu tidak mengangkat telepon?” Riana tiba di sisi Winda. Melihat tatapan Winda yang kosong, dia menoleh ke arah pandangan Winda.

Tempat yang disinari senter hanyalah rumput dan air danau.

"Tidak ada, kakak ipar. Aku hanya berdiam diri di sini, sinar bulan malam ini begitu indah."

Winda diam-diam merapikan baju, berkata sambil tersenyum.

Riana sekadar meresponsnya, tidak melanjutkan topik.

Ketika dia hendak kembali dengan Winda, dia menemukan jejak kaki di tanah.

Satu besar dan satu kecil. Jejak kaki yang kecil adalah punya Winda, bagaimana dengan yang besar?

Dia tidak tahu seperti apa perasaan di hatinya. Tapi saat ini dia seketika mengerti bahwa beberapa hal memang tidak bisa dihalangi.

Perjamuan belum usai, tapi Riana tidak ingin kembali ke sana lagi.

Dia tinggal di tempat Winda. Keduanya mengobrol sambil menunggu sampai perjamuan berakhir.

Setelah Riana pergi, Winda mandi dan kembali ke kamar.

Berbaring lama di ranjang besar, kasur yang empuk tetap saja tidak bisa meningkatkan rasa kantuknya.

Dia tidak mengantuk. Tadi dia hanya berpura-pura menguap beberapa kali di depan Riana.

Benaknya terus memikirkan apa yang terjadi barusan. Pria itu bersifat mendominasi, tidak masuk akal, bertindak sewenang-wenang, tapi sedikit lembut.

Winda mengeluh di dalam hati, kemudian bangkit dari ranjang dan berjalan ke balkon.

Dia berbaring di kursi malas, mengatur posisi yang nyaman, menarik selimut, memandangi bintang-bintang terang yang ada di kejauhan.

Hidup yang sekarang santai dan tentram. Tapi entah kenapa, dia selalu merasa ada yang kurang.

Meskipun dia memiliki Sabrina, tapi dia yang berada di tingkat usia ini cenderung mendambakan cinta.

Meskipun dia selalu memperlakukan dirinya sebagai umat yang suci, tapi dia tetap tidak bisa menahan asmara di hati.

Pria ini berulang kali menggoda dirinya dan dirinya sepertinya mulai tergoda?

Semakin berpikir, Winda semakin tidak kantuk. Pada saat dia mendengar bel tengah malam, dua jam telah berlalu.

Dia berpikir bahwa pria itu mungkin sedang tertidur pulas tanpa kekhawatiran, sementara dirinya malah merasa getir, penuh pikiran dan tidak bisa tidur sama sekali.

Ketidakseimbangan di hatinya semakin kuat.

Dia mengambil ponsel, menghubungi nomor pria itu.

Nada dering ponsel pria sama membosankannya dengan karakternya, hanya suara bip...

Akhirnya, setelah lebih dari tiga puluh detik, panggilan tersambung.

Tapi Winda malah langsung mematikannya.

Huh, dia sengaja berbuat usil. Dasar penipu.

Kalau dia tidak bisa tidur, Gandi juga jangan berharap untuk tidur.

Winda salah, Gandi tidak tidur.

Setelah meninggalkan Rumah Besar Yang, hal pertama yang dilakukan Gandi ketika kembali ke rumah adalah menangani urusan perusahaan yang sudah menumpuk, serta mengadakan rapat video.

Usai sibuk, hari sudah tengah malam.

Ketika dia sedang mandi di kamar mandi, dia mendengar teleponnya berdering.

Dia pun mengenakan jubah mandi dan berjalan keluar.

Melihat orang yang menelepon adalah Winda, dia cukup terkejut.

Untuk apa wanita ini menelepon dirinya di tengah malam?

Saat Gandi mengangkat telepon, Winda malah mematikannya.

Gandi memandang layar ponsel dengan tampang linglung selama 15 detik sebelum dia tanggap. Ini sepertinya adalah usilan wanita. Wanita sengaja melakukan panggilan yang mengganggu!

Sambil duduk di sofa, Gandi mengambil gelas di atas meja dan menyesap seteguk air.

Setelah itu, dia menelepon kembali.

Pertama kali, tidak ada yang jawab. Kedua kalinya, masih tidak ada yang jawab...

Tidak masalah, dirinya sangat sabar. Dia boleh menelepon sampai ada yang jawab. Lagian wanita itu tidak tidur, wanita itu juga kebetulan tidak menginginkan dirinya tidur.

Akhirnya, untuk yang keenam kalinya, telepon dijawab.

“Hei, kamu gila ya, untuk apa kamu telepon di tengah malam!” Seru Winda dengan tidak puas, nada yang dibuat-buat terdengar seolah dia baru saja bangun tidur.

Sudut bibir Gandi terangkat, akting wanita ini cukup nyata.

“Bukankah Nona Winda yang meneleponku terlebih dahulu?” Kata Gandi dengan nada tawar.

Ujung lain telepon terdiam beberapa detik. Kemudian, Winda berkata "Aku tidak menelepon kamu, kamu salah lihat!"

“Oh, tidak apa-apa, anggap saja aku yang menelepon Nona Winda.” Gandi sama sekali tidak peduli.

Winda memandangi layar ponsel selama beberapa detik, tampak tidak percaya bahwa pria ini menjadi segitu mudah untuk dibodohi?

Semakin demikian, Winda semakin khawatir karena takut Gandi akan mengakalinya.

“Kalau tidak ada urusan lain, aku akan matikan teleponnya. Ini sudah larut malam, Tuan Gandi istirahat lebih awal.” Setelah Winda selesai berbicara, dia merasa perfoma dirinya masih kurang. Alhasil, dia menambahkan “Trik gangguan telepon semacam ini lebih baik dikurangi."

“Winda.” Gandi tiba-tiba memanggil Winda yang hendak mematikan telepon.

“Mau bilang apa, cepat!” Winda merasa sangat risih dengan sikap Gandi yang berubah-ubah.

"Apakah kamu punya pacar baru?"

Perkataan Gandi membuat Winda sontak bangun dari kursi malas.

Kenapa ada orang yang mengajukan pertanyaan seperti ini? Bukankah pertanyaan tersebut seharusnya berbunyi ‘apakah kamu punya pacar’? Atau kekasih. Pacar baru terdengar seolah dirinya adalah wanita yang suka bergonta-ganti pacar!

Tapi dia bereaksi di detik berikutnya, apakah dia punya pacar baru? Salah, pacar. Apakah itu ada hubungannya dengan Gandi?

"Tuan Gandi, apakah ini ada hubungannya denganmu?"

"Iya."

Kata iya dari Gandi membuat Winda tertegun. Dia tidak mengerti apa maksud dari pria ini.

"Ada, tentu saja ada. Siapapun yang bertemu denganku akan menyukaiku. Jika aku ingin mencari pacar baru, selama aku menyebarkan kabar, antrean akan memenuhi Rumah Besar Yang! Masalah sepele seperti ini tidak perlu dikhawatirkan Tuan Gandi!"

Selesai itu, Winda langsung mematikan telepon.

Detik berikutnya, dia menerima pesan teks.

Pesan yang sangat sederhana, hanya ada tiga kata dan satu tanda baca.

"Ayo kita pacaran!"

Novel Terkait

Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Love In Sunset

Love In Sunset

Elina
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
4 tahun yang lalu