Cinta Yang Dalam - Bab 328 Dia Hampir Mati

Begitu jet coaster melaju turun, kaki Ramon terasa lemas, namun dia tetap berpura-pura tidak terpengaruh.

Sementara Winda masih sedang berpikir apakah mau naik sekali lagi atau tidak.

“Winda, belakangan ini sedang trend film Pria dan Wanita Jomblo, apakah kamu sudah menontonnya? aku sudah memesan tiketnya, ayo kita pergi bersama!”

Ramon berkata sambil menarik pergi Winda .

Namun kali ini, namun tiba-tiba rasa pusing melanda dan membuat tubuhnya terasa begitu berat, sehingga langsung terjatuh menindih Winda .

Winda baru berpikir untuk menjawab kalau dia sudah menontonnya, namun Ramon tiba-tiba pingsan, membuatnya sangat terkejut.

“Ramon, kamu tidak apa-apa?”

Untungnya rasa pusing itu datang dan pergi dengan cepat, Ramon bangkit berdiri, menggelengkan kepalanya agar sedikit lebih sadar : “Tidak apa-apa, mungkin karena tadi naik je coaster sehingga hilang keseimbangan.”

Mereka berjalan keluar dari taman bermain, Winda melihat jam, sudah jam 12, sudah waktunya makan siang.

Awalnya Ramon ingin memilih sebuah restoran western, namun Winda tidak suka dengan makanan western.

Kebetulan dia tahu ada sebuah restoran Chinese yang baru buka, sehingga mengajak Ramon pergi kesana.

Setelah tiba di tujuan, Ramon pergi memarkir mobil, sementara Winda menunggu di depan pintu utama.

Matahari siang sangat menyengat, dia berteduh dibawah tempat yang teduh. Begitu melihat Ramon berjalan dari parkiran, dia langsung menghampirinya.

Tepat disaat ini, dia melihat Ramon yang ada diseberangnya melambaikan tangan sekuat tenaga kearahnya.

Dia masih belum paham, seketika suara knalpot motor yang kencang terdengar, kalung yang berada di lehernya ditarik dengan kuat, seketika rasa sakit yang menusuk mendera lehernya, berikutnya terdengar suara kalung yang putus.

Rasa panas perlahan mendera lehernya, dia tercengang sesaat, baru sadar apa yang sedang terjadi, ternyata dia bertemu jambret.

Kali ini Ramon sama sekali tidak memperdulika jambretnya, dia langsung berlari dan memapahnya, lalu bertanya dengan panic : “Winda, kamu baik-baik saja?”

Melihat bekas darah yang ada di leher Winda, ekspresinya berubah tajam.

Winda baru sadar dari rasa kagetya, teringat pemilik kalung itu, seketika panic, menunjuk motor yang masih terjebak macet dan tidak bisa melaju lagi sambil berteriak : “Kalung, kalung!”

Ramon melihat kearah penjambret, dia perlahan mengusap rambut Winda yang berantakan sambil menenangkannya : “Jangan takut, aku akan merebutnya kembali untukmu!”

Setelah mengatakannya, Ramon langsung melesat kearah penjambret.

Kebetulan ada sebuah motor besar yang berjalan kearah restoran, Ramon menghadang pengendara itu, lalu berkata beberapa patah kata, pengendara itu langsung menyerahkan motor padanya.

Winda khawatir pengejaran dengan motor akan berbahaya, karena kalau kalung hilang masih bias dibeli lagi, kalau sampai terjadi sesuatu pada orangnya, maka tidak akan ada obat untuk penyesalan.

Dia segera berteriak : “Ramon, tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya!”

Namun Ramon malah memberikan isyarat serahkan saja padanya, lalu menancap gas dan melaju dengan kencang menggunakan motor.

Winda mengejar dibelakang sampai seratus meteran, melihat kearah dia menghilang, tiba-tiba ada perasaan tidak enak yang menghampiri hatinya.

Disana ada dua orang pencopet, Ramon hanya seorang diri, apakah tidak bahaya?

Dia harus kembali dengan selamat!

Dia segera menelepon Arya Yang untuk memberitahukan situasi yang terjadi disini.

Winda sama sekali tidak tahu kalau Ramon adalah ahlinya pengendara motor.

Ketika masih sekolah, dia pernah menduduki juara di perlombaan Motor Cross .

Namun akhirnya harus mengurus perusahaan, sehingga perlahan meninggalkan hobinya ini.

Dia mengejar kedua pencopet itu dengan kecepatan tinggi, motor yang dipakai pencopet hanyalah motor biasa, membuatnya bisa mengejarnya dengan mudah.

Dengan satu tikungan, belakang motornya menyengol ban depan motor pencopet itu.

Kecepatan 100 km/jam lebih, stang motor pencopet menjadi tidak stabil, setelah goyang sesaat, mereka langsung terjatuh.

Ramon memarkir motor di pinggir jalan, berjalan kehadapan salah satu pencopet.

Dia masih ingat dengan sangat jelas, dialah yang menjambret kalung Winda .

Pria itu mengatakan serentetan bahasa inggris, karena sudah terkena batunya, tidak berhentinya meminta ampun.

Ramon mendekat, lalu menendang satu kakinya yang terluka.

“Dimana kalungnya?”

Orang itu ketakutan sampai mengeluarkan kalung dari dalam tas dan memberikannya pada Ramon .

Ramon menunduk dan mengambil dengan santai.

Melihat bekas darah diatas kalung itu, ekspresi wajahnya menjadi semakin tajam.

Memukul kedua orang ini hanya akan mengotori tangannya. Namun tidak mengapa, akan ada orang yang memberi mereka pelajaran.

Di Australia, merampas barang adalah criminal yang berat.

Dia mengeluarkan ponsel, menelepon polisi, lalu menyebutkan posisinya.

Begitu pencopet mendengar dia melapor polisi, dia langsung panic, berusaha meronta ingin melarikan diri. Ramon dengan satu tendangan menginjak siku lututnya, membuat pencopet itu tersungkur.

Suara sirine mobil polisi perlahan terdengar mendekat, polisi di Australia sungguh sigap dan cepat.

Ramon melirik pencopet yang satunya lagi, kali ini dia bangkit dengan terhuyung, ekspresi wajahnya terlihat begitu jahat.

Dia tersenyum dingin, nasi sudah menjadi bubur, pencopet yang satu ini juga tidak akan bisa kabur.

Kalau bukan karena merasa mengotori tangannya, dia sungguh ingin membuat kedua pencopet ini menghilang dari dunia ini.

Berani menyakiti wanitanya, maka mereka harus bersiap mati!

Dia baru berbalik ingin menyambut polisi yang datang, tiba-tiba terdengar suara tembakan.

Dan Ramon belum sempat merespon suara ini.

Tubuhnya tersentak, melihat warna merah yang muncul di dadanya, pandangan matanya perlahan menjadi rabun, dan tubuhnya tumbang di lantai.

Dia terkena tembakan, namun kali ini entah kenapa tiba-tiba dia tidak takut mati.

Hanya merasa tidak rela, dia sudah berjanji pada Winda akan melindunginya seumur hidup!

Winda berjalan mondar mandir didepan pintu restoran, matahari yang panas sudah menjemurnya sampai wajahnya dipenuhi keringat.

Namun dia sama sekali tidak memiliki suasana hati untuk mengusap keringatnya.

Dan disaat ini, ponselnya tiba-tiba berdering.

Ketika melihat Ramon yang menelepon, dia segera mengangkatnya : “Ramon, kamu dimana? Kalungnya sudah tidak mau lagi, kita bisa membelinya, kamu cepatlah kembali!”

“Hallo, apakah anda adalah teman tuan ini? Saya adalah pihak kepolisian Kota Orton, dia baru saja tertembak, sekarang sudah dijalan menuju rumah sakit pusat, untuk penanganan darurat butuh tanda tangan pihak kleuarga, mohon anda segera datang!”

Kepala Winda seketika blank, ponsel ditangannya terjatuh ke lantai sampai layarnya hancur.

Sama seperti hatinya yang juga hancur berkeping-keping.

Dia menhadang sebuah taxi dengan tergesa-gesa, meminta supir melaju secepat mungkin ke rumah sakit pusat.

Karena dia terus mendesak, akhirnya supir mulai merasa kesal.

“Nona, didepan adalah penyebrangan, aku tidak bisa menambah kecepatan….”

Setibanya di rumah sakit, dia langsung melihat mobil polisi yang terparkir dibawah.

Dia bertanya kepada polisi yang berjaga, lalu diantar ke ruang gawat darurat.

Lampu merah ruang darurat terlihat begitu menusuk.

Seorang polisi paruh baya berjalan menghampiri : “Hallo, yang tadi kutelfon adalah anda bukan?”

Winda menjawab dengan kaku, melihat cahaya lampu merah yang begitu menusuk mata, terpaku sejenak baru berkata : “Pak polisi, dia, dia tidak apa-apa kan?”

Polisi paruh baya itu menghela nafas, dia tidak tega mengatakan hal yang sebenarnya, namun dia harus mengatakan hal yang sebenarnya.

“Peluru menembus jaringan paru-parunya, dokter sedang berusaha menolongnya, namun anda tetap harus mempersiapkan hati anda…….”

Apa yang polisi katakan membuat tubuh Winda lemas seketika, hampir terkulai di lantai.

“Apakah, apakah membahayakan, membahayakan nyawanya?”

Dia bertanya dengan terbata, dia sungguh berharap bisa mendapatkan jawaban yang sebaliknya dari mulut polisi.

Namun polisi paruh baya ini memapahnya, setelah membiarkannya duduk, dia berkata sambil mengetatkan bibirnya : “Uhm, semoga tuan ini bisa bertahan.”

Polisi sudah pergi, Winda duduk di atas kursi, menatap pintu gawat darurat yang tertutup rapat dengan tatapan kosong.

Alangkah baiknya kalau saat makan dia mendengarkan apa yang dikatakan Ramon .

Namun dia sengaja pergi sejauh itu, dan akhirnya malah terjadi hal seperti ini.

Bukankah kalungnya hanya diambil oleh penjambret? Kenapa harus menyuruhnya mengejarnya!

Ternyata, dia bukanlah orang yang murah hati!

Winda tenggelam dalam penyesalan yang dalam, dan disaat ini Arya dan Elvan sudah tiba.

“Winda, apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?”

Winda memeluk kakinya, kepalanya terbenam dalam lengannya, bahunya sedikit bergetar.

“Kakak kedua, semua salahku, aku yang menyelakai Ramon !”

Winda mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi airmata yang meluap.

Saat ini Arya melihat bekas darah di leher Winda, amarah langsung memancar dari tatapan matanya, dia berkata dengan nada berat : “Bukan salahmu, yang bersalah adalah kedua poncopet brengsek itu! Elvan, segera bawa nona untuk mengobati lukanya.”

“Baik.” Elvan memapah Winda, namun Winda malah menggeleng dan berkata : “Kakak kedua, aku tidak ingin pergi kemana pun, aku ingin menunggu sampai Ramon melewati masa kritisnya.”

“Kalau telat diobati, maka akan meninggalkan bekas. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Ramon, aku yang akan menunggunya.”

Setelah Arya mengatakannya, ia langsung memberi isyarat pada Elvan .

Kali ini Winda tidak lagi melawan, dia tahu apa yang kakak keduanya lakukan untuk kebaikannya.

Setelah masuk ruang perawat, duduk dikursi, dokter membersihkan lukanya dengan alcohol secara hati-hati.

Lukanya sangat dalam, hampir saja memotong urat nadi di leher.

Agar tidak meninggalkan bekas, dia tidak berani menjahitnya.

“Nona Yang, tahan sebentar, aku akan mengoleskan obat.”

Setelah dokter mengatakannya, dia mulai membuka luka dengan cotton bud dan membubuhkan bubuk obat.

Karena terkena obat bubuk, rasa sakit langsung melanda, membuat tubuh Winda menjadi tegang.

Elvan yang melihat dari samping juga merasa sungguh bersalah.

Pagi ini dia sudah berencana mengikuti Winda, untuk menjaga keselamatannya.

Namun Winda berkata kalau dia bersama dengan Ramon, tidak akan mengalami bahaya.

Karena takut mengganggu mereka, setelah ragu sejenak, dia tetap tinggal di Kediaman Yang.

Luka seperti ini, bagi dirinya yang sudah pernah menderita luka karena pertarungan dan luka tembak, ini sama sekali tidak bisa dianggap luka.

Namun bagi Nona besar, ini akan menjadi trauma yang cukup besar.

Ini sudah kedua kalinya tidak menjaga Nona besar dengan baik, untuk seorang penjaga, ini sungguh memalukan.

Melihat alis Winda yang mengkerut erat, Elvan menundukkan kepala dan berkata penuh maaf : “Maaf, Nona, aku gagal melindungi anda dengan baik.”

Winda ingin tersenyum untuk menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.

Namun dia sungguh kesakitan, saat ini bahkan untuk mengerjapkan mata saja terasa bagaikan tertusuk jarum.

Setelah 15 menit, dokter baru selesai membubuhkan obat, lalu menempelkan plester yang bisa merekatkan bekas luka, baru selesai mengobati lukanya.

“Usahakan jangan banyak menggerakkan leher, sebelum lukanya menyatu jangan sampai terkena air.”

Setelah dokter berpesan langsung meninggalkan ruangan, Winda meluruskan lehernya, hendak bangun dengan tubuh kaku.

Elvan melihatnya dan langsung berkata : “Nona, tunggu sebentar.”

Dia berjalan keluar dari ruang perawat, mencari sebuah kursi roda, lalu kembali untuk mendorong Winda keluar.

Ketika tiba di ruang gawat darurat, lampu merah di ruang gawat darurat masih menyala.

Hati Winda sudah mengekrut menjadi satu, tatapannya mengarah ke kearah pintu ruang gawat darurat, bagaikan bisa merasakan penderitaan yang dialami Ramon saat ini.

Arya berdiri, melihat luka yang sudah diobati, berkata dengan perlahan : “Tenang saja, tulangnya begitu kuat, pasti akan baik-baik saja!”

Kelopak mata Winda memerah, airmata yang sudah dia tahan, saat ini kembali memenuhi matanya.

“Kakak kedua, semua salahku! Katakan padaku, apakah aku adalah seorang pembawa sial?”

Novel Terkait

Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu