Cinta Yang Dalam - Bab 153 Kritis

Di dalam Club Golden. Gandi berparas dingin. Sekarang sudah jam sembilan, Neva malah belum datang.

Dia menekan rokok di tangan, menghancurkannya sedikit demi sedikit hingga detritus sudah bertumpu tinggi.

Orang-orang yang hadir tahu karakter Tuan Gandi, mereka semua memilih menjauhinya dengan sikap hormat, tidak berani mendekatinya.

Satu-satunya yang berani mendekati Gandi hanyalah Fandi. Fandi melepaskan gadis di dalam pelukan, berjalan mendekati kakak keduanya dan berkata, "Kakak Kedua, kakak ipar masih belum datang juga pada jam segini, mungkinkah terjadi sesuatu?"

Gandi mendengus dingin, "Lebih baik mati!"

Fandi merasa tegang, tidak tahu harus berkata apa.

Sudah jelas bahwa Kakak Kedua sedang dalam suasana hati yang buruk, jika dirinya mengatakan sesuatu yang salah lagi, ia mungkin akan dihabiskan Kakak Kedua sebagai peringatan untuk orang lain.

Fandi bangkit tanpa daya, kembali ke posisi semula. Dia kehilangan niat untuk terus bermesraan dengan gadis di sisinya.

Pada saat ini, Yosi menyodorkan segelas anggur merah padanya, "Minumlah! Siapa suruh kamu cari masalah. Aku melihat kakak iparmu bukan orang yang berani, tapi sekarang dia malah berani mengingkari perjanjian Kak Gandi!"

Gandi dalam suasana hati yang buruk, raut mukanya menjadi semakin suram.

Kerumunan di dalam ruangan pribadi itu tidak berani berbicara, semua orang sibuk urusan sendiri-sendiri.

Pesta yang seharusnya menyenangkan malah menjadi sangat canggung dan membosankan.

Pada akhirnya, Yosi tidak tahan lagi, dia mencari alasan untuk pergi ke kamar mandi dan menelepon Neva.

Namun, telepon tidak dapat terhubung. Dalam hati Yosi bergidik, jangan-jangan benar-benar terjadi sesuatu?

Dia tidak peduli dengan suasana hati Gandi lagi kali ini. Dia melangkah maju dan berbisik di samping Gandi: ‘Kak Gandi, telepon kak ipar tidak bisa terhubung, mungkinkah benar-benar terjadi sesuatu? Hujan di luar sangat deras, wanita selalu ceroboh dan bahaya dalam mengemudi ... '

Gandi mengernyit, tatapan dinginnya membuat Yosi merinding, berkata, "Siapa yang menyuruhmu mengurus masalah orang lain?"

"Aku, aku..." Yosi, yang selalu tenang, malah agak ketakutan.

Akhirnya Jonami yang memecah suasana tegang, dia mengusulkan untuk menyanyi dan bermain kartu. Kemudian, Gandi berdiri dengan dingin, meninggalkan Yosi sendirian.

Fandi hendak mengejar Gandi, tetapi Yosi menariknya dan memberitahunya bahwa telepon Neva tidak dapat terhubung.

Fandi terbengong sejenak. Neva tidak hanya terlambat, teleponnya juga tidak bisa dihubungi.

Fandi dan Yosi saling memandang, benar-benar terjadi sesuatu?

“Aku akan memeriksanya.” Setelah Fandi melontarkan sebutir kalimat kepada Yosi, dia langsung bersiap untuk pergi.

Tetapi setelah berjalan beberapa langkah, terdengar suara Gandi yang mengandung kemarahan: "Kamu mau ke mana?"

Keringat dingin sontak menyelimuti punggung Fandi, dia menoleh dan tersenyum canggung, berkata: "Aku, ke-keluar..."

“Kembali, jangan ke mana-mana!” Seru Gandi dengan keras.

Fandi tidak punya pilihan, Kakak Kedua lagi tidak senang, dia harus menghindar dari jurang api amarah.

Satu jam setelah Neva memasuki ruang gawat darurat, Shinta bergegas kemari.

Ada juga beberapa polisi lalu lintas dan seorang sopir truk setengah baya.

Setelah melihat Shinta datang, kapten polisi lalu lintas yang mendadak diutus kemari segera berdiri dan berkata, "Nyonya Tirta."

"Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi!" Teriak Shinta dengan marah.

Dia, yang selalu tenang dalam menghadapi segala keadaan, mulai panik.

Dia tahu bahwa Neva keluar untuk menghadiri pesta, tetapi dia tidak menyangka sebuah pesta malah membawa Neva ke ruang gawat darurat.

Sopir truk besar bersembunyi di belakang, diam-diam dan tidak bersuara. Namun, dia lalu ditarik oleh polisi lalu lintas: "Kamu yang bersalah, kamu yang bilang!"

Menghadapi tatapan Shinta yang amuk, sopir truk besar merasa dirinya seperti mengangkat batu untuk menghantam kakinya sendiri. Jika tahu bahwa risiko dari empat milyar begitu besar, maka dia mati pun tidak akan mengambilnya.

Salah dirinya sendiri karena dibutakan oleh uang.

"Aku, aku menyetir ke sana, lalu turun hujan lebat, aku tidak bisa melihat dengan jelas ... mobil nona muda itu keluar, aku memang membawa kelebihan beban, ditambah dengan jalan licin pada hari hujan, remnya tidak bekerja, akibatnya saling menabrak ..."

Sementara sopir truk besar berbicara, wajah Shinta sudah pucat.

Saat ini, satu kaki Neva berada di ambang kematian, sedangkan kaki yang lainnya ditarik erat oleh dokter.

Shinta menarik napas dalam-dalam, akhirnya menahan dorongan untuk memerintah orang menyayat-nyayat si sopir.

Dalam masalah kecelakaan lalu lintas, pembagian tanggung jawab adalah urusan polisi. Jadi, dia tidak bisa campur tangan.

Namun, jika ada pengutusan di balik kecalakaan ini, Shinta, yang telah mengalami bertahun-tahun pasang surut, pasti akan membuat orang-orang yang terlibat menyesal seumur hidup.

Fandi akhirnya menemukan peluang untuk menyelinap keluar dari ruangan pribadi.

Sesampainya di depan pintu, dia segera menelepon Wendi. Setelah beberapa kali bunyi bip, panggilan tersambung. Fandi buru-buru bertanya: "Wendi, apakah kak ipar ada di rumah?"

Wendi belum tidur, dia berkata: "Tidak? Ada apa, kakak, apakah kak ipar belum pergi?"

Wendy agak bingung, waktu sudah berlalu begitu lama, sekali pun berjalan, orangnya seharusnya sudah tiba juga.

“Dia tidak datang, oke, aku sudah tahu, aku akan mencarinya lagi.” Setelah Fandi selesai berbicara, dia mematikan telepon dengan tergesa-gesa.

Wendi mengerutkan kening, dia teringat Shinta keluar dengan buru-buru, apakah terjadi sesuatu?

Begitu Fandi mematikan telepon, ponselnya berdering lagi. Kata "Ibu" yang besar di layar membuatnya gemetar.

Dia segera mengangkatnya, bertanya, "Ibu, ada apa?"

“Suruh Kakak Keduamu segera datang ke rumah sakit pusat.” Selesai bicara, sebelum Fandi sempat bertanya alasan, Shinta sudah menutup telepon.

Mendengarkan bunyi bip dari ponsel, Fandi menurunkan ponsel dengan tak berdaya. Baru saja berbalik dan hendak memasuki ruangan, dia menemukan Gandi sedang menatapnya dengan ekspresi suram. Hatinya menegang, tergagap-gagap: "kakak, itu, ibu menyuruh kita segera pergi ke rumah sakit."

Pergi ke rumah sakit? Gandi memiliki firasat buruk di dalam hatinya, dia secara naluriah ingin melangkah maju.

Tapi begitu teringat keterlambatan Neva hari ini, dia berkata dengan marah, "Aku tidak mau pergi!"

Kemudian, Gandi kembali ke ruangan.

Fandi tidak berani melanggar perintah ibu, dia turun ke bawah dan pergi ke rumah sakit.

Ketika dia tiba di rumah sakit dan menemukan Shinta, Shinta sedang meringkuk di bangku di luar ruang gawat darurat dengan tampang kelelahan.

"Bu." Panggil Fandi sambil menghampiri Shinta.

Shinta sekilas memandang Fandi, melihat samping Fandi tidak ada orang, amarah sontak melonjak dalam hatinya: "Di mana Kakak Keduamu? Kenapa dia tidak datang? Dasar bocah, apakah dia mau membuatku marah hingga mati!"

Shinta berkata dengan marah, dia awalnya sudah sangat panik karena dia tidak yakin apakah Neva masih bisa hidup atau tidak.

Namun sekarang, orang yang ada di dalam ruang gawat darurat ini jelas adalah istri Gandi, tapi Gandi sendiri malah tidak muncul.

Melihat ibunya begitu amuk hingga bergemetaran, Fandi segera memapah Shinta: "Ibu, jangan marah, jangan marah, marah tidak baik untuk kesehatan. Apa yang terjadi sekarang?"

Shinta tiba-tiba menghela nafas ketika mendengar pertanyaan Fandi, dia benar-benar hampir menangis.

“Kakak iparmu mengalami kecelakaan mobil, peluang hidupnya sangat kecil!” Shinta menghela nafas panjang, tubuhnya melemah. Jika bukan karena dipapah Fandi, dia mungkin sudah jatuh.

Fandi tertegun, dia yang awalnya membenci kakak iparnya berubah menjadi biasa-biasa saja pada kakak iparnya. Di lubuk hatinya, dia sebenarnya sudah mengakui kakak iparnya ini.

Dia tidak pernah menyangka drama perpisahan semacam ini akan dihadapi keluarganya.

“Be-benar?” Fandi tanpa sadar mengajukan pertanyaan bodoh seperti ini.

Shinta menunjuk ke lampu merah di atas pintu ruang gawat darurat, menghela nafas tanpa akhir.

Fandi memapah Shinta untuk duduk terlebih dahulu. Mengetahui bahwa masalah ini mendesak, dia langsung menelepon Gandi.

Setelah berdering beberapa kali, telepon akhirnya dijawab.

“Fandi, ada apa?” Orang yang berbicara adalah Yosi. Yosi melihat Gandi tidak mau menjawab telepon, sementara Fandi terus menelepon. Jadi, dia mengambil inisiatif untuk mengangkatnya. Gandi tidak melarang, diam-diam setuju.

“kakak Yosi, kamu segera memberitahu Kakak Keduaku agar dia segera datang ke rumah sakit, kakak iparku mungkin tidak bisa bertahan lagi!” Suara Fandi sangat panik. Berita yang dikabarkan Fandi membuat Yosi bergidik.

Yosi mengiyakannya, kemudian segera menutup telepon. Dia lalu mengambil beberapa langkah ke depan untuk mendekati Gandi yang sedang bermain kartu, berbisik: "kak Gandi, kak ipar mengalami kecelakaan. Dia sedang di rumah sakit untuk pertolongan pertama. Kamu cepat pergi ke rumah sakit!"

Gerakan tangan Gandi membeku sekejap, tapi dia langsung kembali normal pada detik berikutnya. Dia membuang salah satu batu majong, berkata, "Mati pun tidak ada hubungannya denganku.”

Ekspresi Yosi mandek, dia tidak menyangka Gandi akan berkata demikian.

Dia mencoba membujuk: "kak Gandi, bagaimanapun dia adalah istrimu ..."

Gandi mengulurkan tangan dan menarik kerah Yosi, berkata dengan suara berat, "Apa urusannya denganmu!"

Lalu dia mengempaskan tangan, Yosi terhuyung mundur beberapa langkah.

Yosi memandang Gandi dengan tak percaya. Dia tidak menyangka kakak Gandi yang selalu dihormatinya ternyata begitu keras kepala hingga tak terobati.

“Gandi, itu adalah wanitamu. Sekarang dia lagi diselamatkan di ruang gawat darurat, kenapa kamu tidak pergi!” Yosi mengingat Neva yang lemah lembut, kemudian membandingkannya dengan sikap Gandi saat ini, kemarahannya seketika meledak. Dia merasa tidak adil bagi Neva, jadi dia berteriak dengan suara berat.

Begitu dia berteriak, semua orang di ruangan pun tahu.

Jonami, yang berada di samping Gandi, segera bangkit dan menengahi kedua orang itu: "Yosi, apa yang sembarangan kamu katakan? Jangan asal omong."

Yosi mencibir, mengabaikan isyarat mata Jonami, menatap Gandi yang tidak menoleh ke arahnya, "Seseorang tahu apa yang aku katakan."

“Apakah ada hubungannya denganmu?” Gandi akhirnya berbicara, tetapi suaranya penuh kedinginan.

Yosi sudah menyerahkan seluruh dirinya, dia tertawa dingin, berkata, "Itu memang tidak ada hubungannya denganku. Tapi aku tahu bahwa jika hal yang sama ditempatkan pada siapa pun yang hadir di sini, mereka setidaknya akan pergi untuk melihatnya. Tidak peduli seberapa buruk hubungannya, mereka pun tidak akan seperti seseorang. Hati semua orang berdaging, apalagi kebaikan Neva padamu diketahui kita semua!"

Kata-kata Yosi telah membuat ruangan menjadi heboh.

Tatapan beberapa orang pada Yosi berubah.

Dunia ini tidak pernah kekurangan penggosip, ada beberapa orang yang bahkan mencurigakan hubungan Yosi dan Neva.

Gandi akhirnya bangkit, dia berbalik dan melangkah ke depan Yosi.

Yosi menatap langsung ke mata Gandi yang ganas tanpa tersentak.

“Apakah kamu tidak merasa kamu terlalu banyak atur?” Gandi berkata dengan dingin.

Yosi berdengus, "Aku hanya tidak bisa mengabaikannya begitu saja?"

“Benarkah?” Begitu suara Gandi terucap, Yosi melihat tinju yang membesar di depannya.

Suara pukulan meledak di dalam ruangan, Yosi terjatuh ke lantai.

Dia seketika merasa pusing, sentuhan hangat mengalir dari hidungnya.

Gandi melangkahi Yosi, berjalan keluar.

Novel Terkait

Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu