Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby? - Bab 597 Sudah Kuduga

Lucy duduk di depan cermin dandan selama dua jam penuh.

Melihat riasan wajah yang semakin lama semakin molek itu, Lucy pun sangat tercengang.

"Kau terlihat tegang sekali, apa kau tidak enak badan?" saat sang perias bermata biru itu menata rambut Lucy, ia melihat dadanya yang semakin lama semakin terlihat jelas itu, ia pun mengerutkan keningnya dengan khawatir.

Lucy segera mengalihkan pandangannya dari cermin, lalu tersenyum malu, "Tidak apa-apa."

Tidak apa-apa, namun wajahnya terlihat seperti orang yang baik-baik saja.

Sang perias itu pun segera meletakkan catokan rambut di tangannya itu, lalu membalikkan kepalanya dan berbisik pada asisten di sebelahnya, beberapa saat kemudian, orang itu pun datang kembali dengan membawa segelas air hangat kemari, lalu ia berikan ke tangan Lucy.

"Terima kasih." katanya sambil bangkit berdiri dan membuka pintu ruang rias itu.

Di luar, Tessa dan Carol sedang duduk berjejeran di sebuah kursi kayu panjang di dalam gereja, mereka berdua menundukkan kepala entah apa yang sedang mereka bicarakan, begitu melihat Lucy berjalan keluar, kedua orang itu pun mengangkat kepala mereka, lalu wajah mereka berubah sangat terkejut.

Pada akhirnya, Carol pun membuka mulutnya dengan ekspresi yang sangat iri, "Ya Tuhan, cantik sekali."

Lucy menjadi merasa salah tingkah karena kedua orang ini, ia berjalan keluar dengan membawa gelasnya dan berpura-pura tidak mendengar kedua orang itu.

Ia berjalan sampai ke pintu keluar gereja itu, ia menyandarkan tubuhnya pada pintu gereja, lalu mengeluarkan handphone dari dalam kantongnya, setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Dean.

Telepon itu tersambung, namun tidak ada yang mengangkat.

Setelah layar handphonenya mati, ia pun melihat bayangan wajahnya yang sedikit buram itu dari layar handphonenya, sebuah perasaan yang rumit dan sulit dijelaskan pun merasuki hatinya.

Tiba-tiba, ia membuka layar handphonenya lagi, setelah mengetik dan menghapus, lalu mengetik dan menghapus lagi, akhirnya ia pun mengirimkan pesan ini, "Apa kau sedang rapat?"

Belum sampai Dean membalas pesannya, sang perias bermata biru itu menemukannya lagi, dengan tersenyum ia berkata, "Ayo kita lanjutkan lagi, mungkin masih perlu sekitar satu jam."

Satu jam kemudian, ia pun dibawa ke ruang ganti.

Lalu mengganti pakaiannya dengan dua set gaun pengantin berwarna putih yang di gantung di dalam ruang ganti.

Lucy sangat terkejut, acara marketing perusahaan saja ternyata sampai sedetail ini, apalagi saat ia melihat dua set gaun pengantin itu, ia pun mengulurkan jari telunjuknya dan berkata, "Kedua gaun ini......"

Ia tak tahu harus berkata apa untuk mengekspresikan perasaannya namun tak tampak begitu tidak sopan, pada akhirnya ia hanya tersenyum dan berkata, "Kedua gaun ini mencolok sekali."

Di dalam ruang ganti, ada seorang wanita berwajah Asia berambut putih pendek, yang mengenakan jas casual dengan dandanan yang sedikit seperti pria, Lucy mengungkapkan perasaannya terhadap kedua gaun itu dengan Bahasa Inggris, namun wanita itu malah tersenyum dan menjawab dengan Bahasa Mandarin, "Tentu saja, kedua gaun ini adalah desain khusus kami, ini pertama kalinya mereka kami luncurkan di hadapan publik, kuharap kau menyukainya."

Seluruh perhatian Lucy pun tertuju pada suaranya yang sangat menarik itu, namun sang desainer malah menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, lalu tersenyum sombong ke arah Lucy.

Lucy pun mengerutkan keningnya sejenak, lalu tersenyum ramah, "Tentu saja, aku sangat menyukainya."

Tiba-tiba, Carol pun mengetuk pintu dari luar, lalu tak lama, Tessa juga masuk ke dalam, begitu melihat kedua set gaun pengantin di depan mereka itu, kedua orang itu pun terbelenggu.

Tessa menatap Lucy dengan matanya yang bersinar terang itu, lalu menatap desainer yang tampak sangat sombong di sebelahnya, "Pakai yang mana?"

Desainer itu mengangkat dagunya ke arah Lucy, dengan tampang yang seolah tak peduli itu ia berkata, "Kau putuskan saja sendiri."

"Yang ini saja." Lucy menunjuk ke arah salah satu gaun pengantin yang tidak begitu panjang dan kelihatannya lebih sederhana dari yang satunya, saat ia mengambil gaun itu dari tangan sang asisten yang membawakan gaun itu kemari, ia melirik ke arah desainer itu sejenak, lalu berkata, "Aku sekarang lebih gemuk, mungkin aku tidak bisa memakainya."

"Tidak akan, tenang saja." Desainer itu tersenyum ramah, "Kemarin aku sudah......"

Karena menyadari ada yang tidak beres, Carol pun segera batuk-batuk dan memotong ucapan desainer itu, dengan sedikit kesal ia pun menarik pintu gorden di ruang ganti itu dan berkata, "Ganti saja dulu, setelah itu baru kita putuskan cocok atau tidak."

Lucy pun tercengang sambil memegangi gaun putih yang sederhana itu.

Wajah Carol yang berdiri di luar ruang ganti itu pun langsung memerah, ia menepuk-nepuk dadanya ketakutan sambil menatap ke arah desainer yang ceroboh itu.

Tak lama kemudian, pintu gorden ruang ganti pun terbuka lagi, Lucy sudah mengganti pakaiannya dengan gaunt tadi, lalu tersenyum kepada ketiga orang itu, "Kebetulan sekali, sangat pas."

"Uhuk uhuk......" Desainer itu batuk-batuk lagi, lalu mengambil sebuah kerudung pengantin putih dan memasangkannya ke kepala Lucy.

Setelah semua selesai, ia pun berkata, "Sudah selesai."

Lucy Lu sekarang telah berubah menjadi seorang pengantin wanita sungguhan.

Begitu ia berjalan keluar dari ruang ganti, para pegawai yang dari tadi menunggu di luar pun terbelalak kaget, semua orang menatapnya dengan tercengang, sang perias bermata biru pun tak sabar dan segera berlari kemari untuk memeluk Lucy, ia memuji Lucy, "Kau adalah pengantin wanita tercantik yang pernah kutemui."

Lucy pun tersenyum gembira, ia didorong-dorong oleh orang-orang yang berkumpul di dalam gereja itu keluar, lalu dibawa ke sebuah gereja yang lebih besar di dekat sana, namun Lucy masih tetap memeriksa apa ada pesan dari Dean di handphonenya.

Setelah dua jam berlalu, Dean pun membalas pesannya itu hanya dengan satu kata saja, "Iya."

Di depan pintu gereja itu dipasangi dengan sebuah karpet putih yang sangat besar, setelah Lucy naik ke atas karpet itu, tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya pun segera minggir ke samping, saat Lucy mengangkat kepalanya dengan penuh kebingungan, tiba-tiba ia pun menyadari, "Spertinya ini......"

Ia ingin mencari Carol untuk memastikannya, apa ini pemandangan yang ia lihat di dalam foto kemarin malam, gereja yang dipesan oleh Tuan Muda Mao, tapi begitu ia membalikkan kepalanya, ia menyadari bahwa ternyata Carol sudah berjalan duluan ke arah pintu gereja yang tertutup rapat.

Suara flash kamera pun terdengar keras, suara alunan lagu pernikahan dicampur dengan suara-suara flash kamera yang sangat gemuruh pun masuk ke dalam telinga Lucy. Lucy berusaha untuk bernafas tenang, saat ia mengangkat kakinya menyusuri karpet putih itu ke arah pintu gereja, ia merasa sangat bingung dan canggung, ia tak tahu apa yang sedang terjadi ini nyata atau hanya khayalan saja.

Pada akhirnya, ia pun berhenti di depan pintu gereja, lalu menunduk dan menatap ke arah kakinya yang hendak mengambil langkah terakhirnya itu, dengan sorotan mata yang dalam ia berkata, "Maaf, kurasa aku tidak bisa melakukannya."

Ia membalikkan kepalanya, lalu melihat ke arah pendeta dan pembawa acara yang ikut di belakangnya itu dengan penuh rasa bersalah, "Aku sungguh ingin minta maaf, aku tidak bisa melaksanakan pernikahan sendiri di belakang suamiku, aku tidak ingin dirinya tidak hadir di dalam pernikahanku."

Awalnya ia mengira kalau dirinya bisa melakukannya sendiri, tapi sesaat sebelum ia melangkah masuk kedalam, barulah ia menyadari bahwa di tengah suasana yang sangat indah ini, hatinya malah merasa sangat sedih.

Ia rindu pada Dean, di saat seperti ini, ia sungguh sangat rindu padanya.

Mendengar perkataan Lucy, wajah sang pembawa acara di sebelahnya pun langsung memerah, ia terpaksa membuka mulutnya dan berkata, "Masuk saja dulu......"

Lucy menggeleng-gelengkan kepalanya, "Maaf, aku tidak bisa masuk."

Ia membungkukkan punggungnya untuk memohon maaf dengan sungguh-sungguh, lalu pergi dari sana.

Namun pria yang gesit itu langsung menarik tangan Lucy seperti hendak menjelaskan sesautu, namun karena ia bingung harus berkata apa, akhirnya ia malah melirik dan meminta pertolongan kepada Carol dan Tessa yang berdiri di sebelah sana.

Lalu, Carol pun mematikan teleponnya dan berjalan kemari, "Lucy, masuk saja dulu, sudah sampai sejauh ini, kalau kau pergi begitu saja, bukankah terlalu tidak adil untuk penyelenggara acara ini?"

Lucy terdiam, seperti sedang memikirkannya, sebelum ia membuka mulutnya untuk memberi jawaban, handphone di genggaman tangannya pun tiba-tiba berbunyi.

Ia membuka layar handphonenya, begitu melihat nama Dean, ia segera menenangkan perasaannya dan mengangkat telepon itu, "Dean......"

"Lucy, ayo kita menikah."

Suara pria itu terdengar sangat dingin, namun suara dingin itu tetap saja membuat air mata Lucy menetes ke bawah.

Tiba-tiba, pintu di hadapannya itu pun terbuka lebar, sosok seorang pria yang tinggi sedang berdiri di belakang pintu itu.

Tangan kirinya memegang handphonenya di telinga, dan tangan kanannya membawa sebuah rangkaian bunga, ia tersenyum manis menatap ke arah Lucy.

Setelah air mata Lucy menetes ke bawah, ia mengulangi perkataannya lagi, "Ayo kita menikah."

Kali ini, Lucy tak ragu lagi, ia segera mengangkat gaunnya itu dan berlari ke arah sang pria, lalu memeluknya dengan erat, dan merengek seperti seorang anak kecil, "Sudah kuduga, aku sudah menduganya......"

Novel Terkait