Cinta Seorang CEO Arogan - Bab 99 Bagaimana caranya

Saat Yuliana masuk ke dalam kolam sauna, dia segera meringkuk ke salah satu pojok. Ketika Wirianto turun ke kolam, Yuliana baru pelan-pelan bergeser ke samping Wirianto. Wirianto menoleh dan melihat Yuliana, dengan senyum berkata : “Mendekat sedikit lagi.”

Yuliana segera bergeser ke arah Wirianto, sambil mengerjapkan mata melihat Wirianto, dan berkata : “Aku sudah datang.”

Yuliana mengangguk, mengangkat tangan dan memijat lengan Wirianto, dengan sekuat tenaga mencekak beberapa kali, dengan wajah merah berkata : “Bagaimana? Pijatannya lumayan?”

Wirianto membungkuk dan mencium bibir Yuliana : “Masih perlu tenaga yang lebih kuat lagi.”

Yuliana mengangkat tangan dan mengalungi leher Wirianto, lalu berkata : “Tidak bisa, aku tidak ada tenaga lagi, jari juga sakit, tidak mampu pijat lagi. Tiba-tiba saja merasa tidak mau memijatmu lagi……”

Wirianto dengan mata menyipit melihat Yuliana : “Kamu tidak menepati kata-kata, kata yang sudah diucapkan tidak dilakukan, tidak takut aku marah?”

“Tidak takut……” Yuliana mendongak, mendekat pada telinga Wirianto dan berbisik : “Aku sudah pikir dengan baik, aku tidak akan memijat kamu. Namun aku bisa membiarkan kamu mencicipi daging.”

Wirianto tidak tahan dan tertawa keluar suara, memeluk erat Yuliana dan penuh senyum berkata : “Mencicipi daging? Bagaimana caranya?”

Yuliana angkat kepalanya, mencium sudut bibir Wirianto, dan berkata : “Caranya……”

Kemudian Yuliana menjulurkan kakinya, melingkar ke pinggang Wirianto, menekan suaranya, sengaja bersikap genit sambil mengedipkan mata pada Wirianto : “Begini caranya……

Dengan tatapan mata yang teduh, Wirianto membungkuk dan berkata pada Yuliana : “Kali ini jangan menjerit kesakitan.”

Yuliana dengan gugup menyesap bibirnya, mengangguk perlahan dan berkata, lalu menjawab kecil : “Iya……”

Ketika sudah selesai, Yuliana meringkuk dalam pelukan Wirianto, menangis dengan penuh kasihan. Wirianto dengan tanpa daya menyeka air mata Yuliana, tersenyum lalu berkata : “Kali ini kamu yang sengaja ingin melakukannya, mengapa masih menangis?”

Yuliana mengisut hidungnya, bersandar pada dada Wirianto, dengan suara masih menangis berkata : “Aku hanya ingin menangis saja.”

“Karena sakit?” tanya Wirianto.

Yuliana menyesap bibir, lalu menggeleng. Meskipun kali ini dia masih mengerang kesakitan, tapi yang lebih banyak karena malu, bersama dengan Wirianto, Wirianto sangat memperhatikan dirinya, dan telah membawakan kegembiraan untuknya.

Yuliana memeluk Wirianto, dan berkata : “Karena perasaan sangat nyaman, dulu tidak begitu mengerti masalah hubungan pria dan wanita. Saat aku mendengar ada seorang nyonya, dan merasa demi hal ini orang-orang berselingkuh, ikut lari dengan pria jalang tersebut, mencampakkan keluarga dan kedudukan, sungguh merasa sangat berlebihan. Sekarang sudah mengalaminya, sudah mengerti sedikit.”

“Apakah aku adalah pria jalangmu?” tanya Wirianto dengan senyum.

Yuliana melipat bibirnya, lalu berkata : “Ehm, pria jalangku.”

Wirianto merangkul Yuliana, dan bertanya : “Kamu akan ikut lari bersamaku?”

Dengan senyum Yuliana menjawab : “Bukannya aku sudah lari bersamamu?”

Mendengar ini Wirianto menunduk dan mencium bibir Yuliana : “Apakah ini termasuk pujian?”

Yuliana mengangguk, melingkari leher Wirianto : “Ini adalah pujian paling tinggi dari Yuliana.”

Wirianto mendekap Yuliana, membalikkan badan dan menekan Yuliana : “Aku sangat senang, jadi apakah aku harus memberikan kamu hadiah?”

Mata Yuliana bersinar, melihat Wirianto : “Hadiah apa?”

Wirianto mengecup bibir Yuliana dan berkata : “Sekali lagi.”

Yuliana menjadi mundur, agak gugup dan menggeleng : “Ini……ini rasanya tidak seperti hadiah.”

“Iya……” ujar Wirianto sambil mencium bibir Yuliana.

Yuliana perlahan turun dari ranjang, melihat Wirianto sedang berdiri di balkon melihat ke arah jendela, dia berjalan ke arah Wirianto dan memeluk Wirianto. Wirianto menoleh dan melihat Yuliana, dan berkata : “Kamu tidak lelah? Begitu cepat sudah terbangun?”

Yuliana melipat bibirnya, mengangguk, dengan senyum berkata : “Iya ada sedikit lelah, namun aku ingin melihatmu.”

Wirianto membalikkan badan, mendekap Yuliana, menunduk lalu mencium Yuliana. Yuliana membalas ciuman Wirianto, namun saat Wirianto menambah ciuman yang lebih dalam lagi, Yuliana mendorong Wirianto : “Ada apa denganmu?”

Dengan suara lirih Wirianto berkata : “Biarkan aku memelukmu lagi.”

Sesudah itu, Wirianto mengecup bibir Yuliana, Yuliana merasakan ciuman Wirianto ada sedikit gemetar, Yuliana tidak tega lagi untuk mendorong Wirianto, meskipun dia sedikit tidak terbiasa, namun tetap memeluk Wirianto dengan mata terpejam.

Apakah terjadi sesuatu pada keluarga Leng? Yang membuat Wirianto gelisah dan tidak tenang? Atau tidak ingin ada anak di antara mereka?

Beberapa kali mencoba untuk mencari tahu, namun Wirianto selalu menutupinya. Kemudian Yuliana tidak bertanya lagi.

Beberapa hari liburan ini, Yuliana tidak merasa lelah, malah merasa lega karena benar-benar keluar dari kesedihannya, dan berubah menjadi lebih rileks. Saat naik ke pesawat dan ingin meninggalkan pulau kecil ini, Yuliana sedikit tidak rela dan menoleh untuk melihat pulau itu. Ketika Wirianto memegang tangannya, dia baru berpaling dan naik ke pesawat, meninggalkan pulau tersebut.

“Harusnya aku mengambil sedikit pasir sebagai kenangan.” Pesawat yang ditumpangi Yuliana sudah mendarat lagi, dia masih bergumam dengan hati yang tidak rela.

Wirianto melirik Yuliana, tersenyum dan berkata : “Kalau memang mau, aku akan meminta orang untuk mengirim lewat pos.”

“Itu tidak sama.” Senyum Yuliana sambil menggeleng : “Bukan kita yang ambil, maknanya beda sama sekali, harusnya kita yang ambil sendiri, kemudian disimpan dalam botol kaca, bawa pulang, begitu baru ada maknanya. Namun tidak apa-apa, kita masih ada lain kali.”

Wirianto menarik senyumnya, menatap Yuliana dan mengangguk : “Benar, kita masih ada lain kali.”

Yuliana melihat nada bicara Wirianto yang serius, tidak tahan untuk bertanya : “Mengapa kamu……”

Pertanyaannya masih belum sempat diucapkan, mendadak terdengar suara seorang pria : “CEO Leng, nyonya tua Leng meminta aku menjemput kalian pulang ke kediaman keluarga Leng.”

Mendengar kata “kediaman keluarga Leng”, seketika ekspresi Wirianto semakin muram, dahi Yuliana mengernyit. Seiring kata “kediaman keluarga Leng” membawa semua kenangan sedih dan masa lalu yang menyedihkan ke dalam ingatan Yuliana. Liburan beberapa hari di pulau bagaikan sebuah mimpi, dalam sekejap pecah berkeping-keping.

Yuliana menggigit bibirnya, memegang erat tangan Wirianto, melihat Wirianto mengangguk dan terdengar nada yang dingin menjawab : “Baik, kita pulang sekarang.”

Ketika melangkah masuk ke dalam pintu utama kediaman Leng, nyonya tua Leng dan Tania telah berdiri di depan pintu, ketika melihat Yuliana, nyonya tua Leng dengan penuh perhatian segera berjalan ke depan, sambil menangis dan menarik Yuliana : “Benar-benar anak yang kasihan, mengapa bisa bertemu dengan masalah yang begitu tragis? Saat aku mendengarnya, memang terkejut setengah mati, tidak berani percaya, di luar dugaan ada pria yang begitu jahat.”

Tania juga berlinang air mata dan menambahkan : “Iya benar, mengapa bisa begitu jahat? Bukankah papamu sudah tidak ada daya ingat lagi? Cuma diam saja dan bodoh……seperti orang cacat, bagaimana bisa bertindak kejam terhadap papamu. Karena itu, wanita harus memperhatikan dalam berhubungan dengan pria, sekarang Michael begitu jahat, jika bukan kamu dan dia pernah berhubungan, bukankah tidak akan terjadi hal ini?”

Nyonya tua Leng segera menoleh dan menyalahkan Tania : “Menantu kedua, mengapa bicara seperti itu?”

Tania menjadi panik, dengan sikap seakan-akan baru sadar dirinya sendiri melakukan kesalahan : “Aduh benar-benar deh, aku sudah salah bicara. Aku juga sangat sedih, dan terkejut, tidak menyangka keluarga Jian akan mengalami masalah yang begitu menyedihan. Yuli, kamu tidak keberatan dengan kata-kataku kan.”

Yuliana menyipitkan mata menatap nyonya tua Leng dan Tania, jika mereka adalah nyonya keluarga biasa, Yuliana mungkin akan sedikit percaya itu adalah air mata mereka sebenarnya. Namun mereka adalah orang keluarga Leng, masalah ini sedikit banyak mereka pernah melihatnya, masalah ini juga sedikit banyak mereka melakukannya, bagaimana mungkin menangis begitu sedih?

Tetapi Yuliana tetap tersenyum kecil dan berkata : “Aku tidak keberatan, aku tahu bibi kedua demi kebaikan diriku.”

Nyonya tua Leng segera tersenyum dan menepuk punggung tangan Yuliana, dengan ramah dan suara rendah berkata : “Benar-benar anak baik yang pintar, kamu juga sudah lelah, baik-baiklah istirahat ke atas.”

Yuliana mengangguk : “Baiklah, terima kasih nenek.”

Setelah Yuliana pergi, nyonya tua Leng segera dengan nada dingin berkata pada Wirianto : “Wirianto, ikut denganku! Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu.”

Novel Terkait

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
5 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Cinta Di Balik Awan

Cinta Di Balik Awan

Kelly
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
5 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
4 tahun yang lalu