Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 30 Bagaimana Caranya Agar Kamu Bisa Menerima Cintaku

"Oh iya, tadi Yoga menelponmu, mama beri tahu dia kamu sedang berada di rumah sakit." Mama sambil mengupas apel berkata dengan lembut.

Setelah menjawab "Oh", aku memejamkan mata, hatiku kacau, apa Jonathan yang mengantarku kembali ke kamar pasien? Apa dia sudah tahu semuanya, termasuk berita keguguranku.

Dia pasti mengira aku ini seorang wanita yang plin-plan, aku yang memberi tahu dia mengenai kehamilanku, aku juga yang memberitahu dia kalau aku tidak hamil, akhirnya bayi yang dibicarakan lepas dari rahimku juga.

Seharusnya dia senang, akhirnya terbebas dari tanggung jawab yang melelahkan, tapi aku, mungkin akan merasa sakit hati cukup lama, baru bisa memulai kehidupan yang baru.

"Sini, makan apelnya." Mama menyuapkan apel yang sudah dikupasnya, segera memasukkan ke dalam mulutku, apel yang dingin dan manis itu bersentuhan dengan bibirku yang kering, seketika lembab, aku pelan-pelan membuka mata, melihat mama, lalu menggelengkan kepala.

"Aku tidak mau makan apelnya, bantu aku ambilkan air hangat saja!" Aku merasa perut bagian bawah sedikit sakit, dengan sekuat tenaga menahan sakit dan bangkit duduk, melihat ke arah mama, dan bertanya: "Ma, kalau mama disini mengurusku, siapa yang mengurus papa di rumah?"

"Yoga sudah bilang akan datang mengurusmu, begitu dia datang mama akan pulang." Mama tidak menyangka berkata seperti ini malah membuatku susah.

Aku tidak punya hubungan apapun dengan Yoga, aku keguguran bayi orang lain, lalu dia datang merawatku, kalau dipikir ini sebuah cerita lucu.

Aku tidak tahu sebenarnya apa yang dia mau, kalau aku seorang laki-laki, aku pasti tidak akan menerima perempuan seperti aku ini, dengan apa yang dia miliki sekarang, latar belakang keluarga, mau mencari perempuan yang baik, sempurna bukan hal yang susah, tapi dia malah memilihku.

Mama tak henti-hentinya memuji Yoga, tapi kata-katanya cuma masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri saja, hal ini berlangsung sampai Yoga tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu, dengan tatapannya yang penuh martabat.

Mama begitu melihat Yoga, seperti melihat anaknya sendiri, langsung menghampiri dan menariknya, lalu mendorongnya duduk ke atas kursi, mama dengan penuh arti meninggalkan kami berdua.

Aku menatapnya dalam diam, berkata dengan pelan: "Sebenarnya kamu tidak perlu datang."

"Masih sakit?" Suaranya yang serak mendayu bertanya, sinar matanya yang tajam tertuju padaku, aku memalingkan wajah, menatapnya dan menggelengkan kepala.

Rambutku berantakan, terurai kemana-mana, raut wajahku juga kacau, aku menggigit bibir bawahku, merasa tidak nyaman, "Kalau kamu ada urusan, pergi saja, aku sendirian tidak apa-apa......."

"Aku baru saja duduk, kamu sudah mengusirku pergi?" Yoga memotong kata-kataku, hatiku mendadak kacau, aku menundukkan kepala, teman pun tidak seharusnya memperlakukannya seperti itu.

Kita berdua tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, dalam keheningan tidak kutemukan topik pembicaraan yang pas dengannya.

Aku bersandar di kasur, menarik selimutku menutup wajahku, memunggunginya, dengan suara lirih berkata: "Aku mengantuk, mau tidur."

"Baiklah." Dia menjawabnya dengan satu kata, lalu menyelimuti punggungku.

Aku berusaha berpura-pura tidur, sebenarnya karena canggung tidak ada topik pembicaraan, jadi aku berpura-pura tidur dan bersembunyi dalam selimut.

Tidak berselang lama, Yoga berbincang dengan orang yang ada di sebelahku, mungkin orang itu salah sangka mengira Yoga suamiku, berbincang dengan Yoga mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh wanita yang baru saja keguguran, bagaimana perawatannya.

Yoga juga tidak menanggapi salah paham itu, diam mendengarkan dengan seksama.

Tiba-tiba, di telingaku terasa ada hembusan nafas, ketika aku membuka mata, aku tercengang melihat wajah Yoga begitu dekat dengan telingaku, sangat dekat, dia dengan lembut berkata: "Sebentar lagi jam 11, lapar tidak, mau makan apa, mau aku suruh orang kirim masakan ke sini?"

Aku menggelengkan kepala, "Tidak lapar."

"Mana mungkin tidak lapar, begini saja, aku pulang sebentar, nanti aku minta kakak ipar memasak sesuatu untukmu?"

Begitu mendengar dia akan pulang, aku segera mengangguk, "Oke."

"Tunggu ya." Dia tersenyum dengan ramah, lalu pergi.

Melihat dia pergi, aku dengan segera bangkit duduk, wanita di sebelahku melihatku dengan kagum, berkata: "Suamimu tampan, baik pula, baik sekali tehadapmu."

Aku tidak menanggapinya, hatiku berkecamuk.

Yang aku mau di dunia ini hanya Jonathan seorang, hanya perhatiannya yang berarti bagiku, bayi dalam perutku yang baru saja meninggal ini juga bayi dia, yang seharusnya menjaga dan merawatku itu dia.

Kenapa keadaan jadi kacau balau begini?

Aku memandang ke luar jendela kamar pasien dalam kesendirian. Tak lama muncul dua bayangan laki-laki datang mendekat, ternyata itu bayangan Yoga yang sedang menarik masuk Jonathan.

Pandanganku menyapu wajah tampan Jonathan, ketika pandangan kami bertemu, aku seperti seorang anak kecil yang tertangkap sedang berbuat salah, menundukkan kepala.

"Christine, menurutmu apa ini suatu kebetulan, begitu turun bertemu dengan kawan lama, kebetulan ada lebih satu porsi makanan." Selesai berkata demikian, Yoga segera mengambil thermos dari tangan Jonathan, lalu menaruhnya di meja sebelahku.

Yoga sibuk membantuku menuang, tapi aku jelas-jelas merasakan pandangan Jonathan yang dingin menatapku, dia sudah salah paham, aku benar-benar tidak tahu dia mengenal Yoga.

"Christine, kamu tahu? Aku dan Jonathan itu teman dari kecil, jadi aku tidak sungkan-sungkan dengan dia." Yoga menuang makanan sup sehat itu, awalnya dia mau menyuapiku, tapi aku menolaknya, dan dengan segera mengambil makanan itu darinya.

"Aku makan sendiri." Suaraku terdengar pelan, aku tertunduk sangat rendah, kalau menunduk lebih rendah lagi kepalaku akan terbentur mangkok.

"Jo, aku kenalkan, ini pacarku, Christine." Kata-kata Yoga membuatku tersedak, dan terbatuk-batuk.

Yoga dengan segera bangkit berdiri, dan dengan lembut menepuk-nepuk punggungku.

Aku mengernyitkan dahi, memelototinya, dan dengan geram bertanya, "Siapa yang menyuruhmu memperkenalkan seperti ini?"

Aku mengangkat wajahku ingin menjelaskan ke Jonathan, tapi begitu melihat pandangan dinginnya, aku kembali menundukkan kepala, dia sekarang sudah benar-benar tidak mempedulikan penjelasanku, semakin kujelaskan, segala sesuatunya akan menjadi semakin tidak jelas.

"Pacarmu?" Jonathan mengangkat alis, sambil mencibir.

"Dulu aku pernah memberitahumu, aku diam-diam menyukai perempuan di kelas kita, dia itu Christine." Kata-kata Yoga semakin lama membuat segala sesuatu menjadi tidak nyaman, aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.

Sepertinya ini lelucon yang diberikan semesta untukku, kenapa aku bisa sebodoh ini, keluarga kaya di kota F hanya ada beberapa keluarga saja, kalau mereka saling mengenal satu sama lain bukankah itu merupakan hal yang wajar?

"Christine, dia ini CEO PT. Weiss, Jonathan, tapi tidak lama lagi dia akan menjadi menantu keluarga Wijaya." Perkataan Yoga terdengar seperti petir di siang bolong, membuat hatiku seakan jatuh keluar.

Cynthia ternyata tidak bercanda.

Jelas-jelas dari awal sudah tahu, tapi kenapa setiap kali mendengar berita itu hati ini rasanya seperti tertusuk duri? Aku mengembalikan mangkok ke Yoga, dengan suara yang pelan berkata, "Aku tidak bisa menghabiskannya, buang saja sisanya!"

"Tidak boleh, harus kamu habiskan, ini... ini nenekku yang menyiapkannya." Suara Jonathan terdengar tertahan, Yoga meliriknya, lalu menatapku, dengan lembut berkata, "Makan sedikit lagi, kamu kurus seperti ini, kalau tidak mau makan makanan bergizi, nanti bisa terbang ditiup angin."

Aku menatap Yoga dengan samar, dengan hati-hati aku melihat ke wajah tenangnya, lalu berpaling menatap Jonathan, melihat sorot tajam matanya, aku dengan patuh menghabiskan sup itu.

Yoga mengira dia berhasil membujukku untuk menghabiskan supnya, dengan riang tertawa, lalu menyerahkan thermos sup itu ke Jonathan dan berkata, "Nanti kapan kalau ada waktu kita minum-minum, sejak aku pulang, aku belum bertemu dengan Cynthia, sepertinya tunggu kalian menikah baru bisa bertemu dengan wanita kuat itu."

"Aku pergi dulu." Jonathan membalas, lalu berbalik dan pergi meninggalkan.

Aku diam-diam memandang ke bayangannya yang perlahan menghilang, hati ini terasa berat melihatnya pergi.

"Kenapa?" Yoga merasa ada yang tidak beres, dengan penuh perhatian bertanya.

"Tidak apa-apa kok." Aku menjawabnya, Cynthia yang tadi disebutkan Yoga itu apa benar Cynthia, mau aku menghindar bagaimanapun kenapa masih saja bertemu dengan orang-orang ini.

"Nenek Jonathan lambungnya ada sedikit masalah, dia sedang di rawat di lantai empat rumah sakit ini, nanti aku akan pergi menjenguknya, kamu mau menemaniku.....? Yoga belum selesai bertanya, aku sudah menjawab.

"Tidak mau."

Yoga terkejut dengan reaksiku, lalu mendekat dan menyentuh dahiku, memastikan aku tidak apa-apa, lalu bertanya dengan lembut, "Kenapa?"

"Lebih baik kamu pulang, ndut, aku disini benar-benar tidak memerlukanmu." Aku berbohong sambil memandangnya, "Aku sudah menyakitimu dengan kata-kata seperti itu, kamu kenapa masih saja tidak berpaling dariku?"

"Ya karena aku suka denganmu, mau bagaimana lagi?" Jawaban Yoga membuatku semakin tenggelam dalam kesedihan, kenapa kata-kata seperti itu tidak datang dari Jonathan.

Aku menundukan kepala, "Kita tidak cocok."

"Kenapa tidak cocok?" Yoga duduk di tepi ranjangku, tangannya yang besar menyentuh lembut daguku, dengan ringan dia mengangkat wajahku, menatapku dan berkata, "Christine, segala siksaan yang pernah terlintas dalam benakmu maupun yang belum, tidak akan mampu merubah perasaanku padamu, aku ini bermuka tebal, mau kamu caci maki aku seperti apapun, aku akan selalu kembali padamu."

"Aku pernah menjadi model, sudah pernah menikah, sudah pernah cerai, dan sekarang sudah pernah keguguran, hal-hal ini tidak memberatkanmu?" Aku menatapnya dengan bingung, kalau dia ini lelaki, harusnya dia akan merasa terganggu dengan itu semua, mana mungkin seorang lelaki bisa berhati sebesar itu?

Dia terbenam dalam kesunyian mendengar pertanyaanku itu.

Aku tertawa kecil dalam hati, ini baru reaksi orang yang benar, harga diri seorang lelaki.

"Tidak keberatan." Jawaban Yoga itu membuatku terhenyak, lalu dengan mantap dia berkata sekali lagi, "Tidak, aku tidak keberatan, asal kamu bersedia memberiku satu kesempatan."

Kemurahan hatinya membuatku bingung, aku menundukkan kepala, aku tidak mampu memahami ini semua.

Aku terdiam, Yoga mendadak meraih tanganku, lalu dengan mantap berkata, "Christine, beri aku satu kesempatan untuk merawatmu, menemanimu."

Aku tertegun, aku mengangkat wajahku, menatap matanya yang penuh kesungguhan itu, dengan sekuat tenaga aku menarik kembali tanganku, "Kamu mungkin saja tidak keberatan, tapi keluargamu akan keberatan."

"Mereka tidak akan keberatan." Yoga dengan lugas menjawab.

"Ndut, aku benar-benar tidak sanggup merasakan sorotan mata itu lagi, di luar sana masih banyak perempuan baik-baik, jangan curahkan kasih sayangmu ke orang yang salah, jangan berikan itu padaku, aku orang yang paling tidak pantas mendapatkannya." Aku memohon padanya.

"Christine, apa yang harus aku lakukan untuk bisa meruntuhkan kerasnya hatimu agar kamu bisa menerima cintaku?"

Novel Terkait

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
5 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu