Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 42 Pertunjukan Pertama

Melihatku sedikit curiga, Cynthia menjulurkan tangan, menutupi cek tunai itu, lalu menjauhkannya dan berkata: "2 MIlyar ini aku terima."

"Baiklah, kata sandi kartu ATMku 110402." Setelah memberitahukan kata sandiku, aku bangkit berdiri, masih menatap Cynthia dengan curiga, aku berkata, "Nona Cynthia, kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pergi dulu."

"Baiklah." Cynthia tampak dengan jelas menjadi gelisah, tidak peduli dengan kepergianku.

Dia yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba menegang, setelah menerima telepon itu, aku penasaran siapa yang ada di seberang telepon, siapa yang bisa membuat seorang Cynthia Wijaya ketakutan, jangan-jangan ada orang lain yang menarik benang dari atasnya?

Atau jangan-jangan belakangan ini api emosinya sedang padam? Aku tertawa dingin sejenak, lalu menyadari ternyata aku juga berada di sisi kehidupan yang lain.

Betul juga, aku memang orang yang seperti itu, dia pernah menyakitiku, jadi ketika aku melihatnya tersakiti, aku merasa senang tanpa sebab, bukannya dia kaya raya dan penuh pengharapan? Apa di dunia ini ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan dengan harta?

Aku tidak menyelidiki sesungguhnya apa yang membuat Cynthia ketakutan, aku juga tidak peduli dengannya.

Sekarang ini satu-satunya yang ingin segera kulakukan adalah melunasi hutang 1 Milyar ke Kak Dewi.

Pertunjukan pertamaku adalah pertunjukan mutiara, Kak Dewi memberiku peran sebagai yang tampil di puncak acara dengan membawa sebuah mutiara dari Afrika Selatan.

Di belakang panggung, para make-up artist mendandani para model dengan penuh ketegangan, Kak Dewi berdiri di belakangku, menepuk bahuku, lalu menatapku dengan serius di cermin, "Christine, tunjukan padaku kepercayaan dirimu, tak peduli tiga tahun, atau lima tahun, kamu adalah yang terbaik."

Aku memberi Kak Dewi anggukan penuh kepercayaan diri.

Aku memandangi bayanganku di cermin, aku yang terbalut dalam gaun putih, dan bermahkotakan batu permata. Aku menggigit-gigit bibir bawahku dengan gugup. Kak Dewi meminta seorang asisten untuk membantu aku memakai hiasan kepala.

Dalam sekejap, permata itu membuatku cantik tak terkira. Membuat aku semakin berkharisma, sebuah daya tarik yang akan membuat wanita mana saja menjadi penuh kepercayaan diri.

Iringan musik dari luar mulai terdengar, gegap gempita terbawa masuk sampai ke belakang panggung, atmosfir tiba-tiba menjadi tegang. Satu demi satu model melangkah keluar, aku perlahan bangkit berdiri, sambil mengangkat gaun yang terjuntai jatuh ke lantai, aku melangkah keluar dengan genderang di dalam dadaku.

Mungkin karena sudah lama tidak tampil di atas panggung, ketika model yang paling terakhir turun dari panggung, aku membeku di atas kakiku, sampai-sampai Kak Dewi mendorongku, aku baru bisa melangkah maju, perlahan naik ke atas panggung.

Tiga tahun sudah berlalu sejak aku menjadi pusat sorotan begitu banyak lampu, tapi saat aku mulai melangkah perlahan, rasa keakraban, rasa hangat yang dihadirkan oleh begitu banyak lampu membuatku menemukan kembali rasa percaya diriku.

Aku tidak mempedulikan sorot mata para penonton dari bawah panggung, penuh percaya diri aku berjalan perlahan, kurasakan setiap langkah kakiku mewakilkan kemantapan hatiku.

Kemunculanku kembali di dunia model tergolong sukses, ini semua Kak Dewi yang mengatur. Aku sangat berterima kasih padanya karena sudah sangat baik padaku.

Kak Dewi sangat puas dengan penampilanku, dia berkata aku masih merupakan wanita yang memancarkan kharisma ke segala arah seperti tiga tahun yang lalu, dia yakin aku hanya akan bertambah menjadi lebih baik.

Setelah menghapus riasan, Kak Dewi sebenarnya ingin mengajakku merayakan kesuksesan malam itu. Aku melihat waktu dari ponselku sudah menunjukan pukul sembilan, kalau aku belum juga pulang, aku khawatir Jonathan akan marah.

Kak Dewi tidak mau memaksaku, dia bertanya dengan curiga, "Kamu kan sudah bercerai, kenapa harus pulang awal, jomblo harus berkelakuan seperti jomblo, bersenang-senanglah."

Aku menggelengkan kepala, "Tidak, terima kasih."

Tiba-tiba matanya tertuju pada pintu, raut wajahnya berubah seketika.

Melihatnya, aku bertanya dengan bingung, "Ada apa?"

Kak Dewi mengangkat alis dan bahunya, "Ada yang sedang mencarimu."

Aku melihat ke arah pintu dengan bingung, di situ aku melihat Yoga.

Kenapa dia datang kemari?

Wajahku tenggelam, melihatnya perlahan menghampiriku, dengan akrab dia melambai kepada orang-orang. Sesampainya di hadapanku, dia bertanya, "Sudah selesai? Ayo aku traktir kamu makan."

"Aku sedang diet, tidak boleh makan terlalu larut makan." Aku menjawabnya dengan santai.

"Bukan hanya kita berdua, aku juga mengajak Jonathan dan Cynthia, kami bertiga akan datang." Aku melongo mendengarnya. Sepertinya aku tidak akan bisa menolaknya. Aku hanya bisa menemaninya makan malam penuh siksaan itu.

"Kamu keluar dulu, tunggu aku di luar." Aku menyuruh Yoga keluar dulu, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Kak Dewi.

Begitu Yoga melangkah keluar, aku menarik Kak Dewi yang tadinya sedang berusaha diam-diam pergi, lalu bertanya, "Kak Dewi, apa yang sebenarnya terjadi di pertunjukan hari ini?"

Kenapa Yoga terlihat sangat akrab dengan kru yang berada di belakang panggung ini?

Kak Dewi membalikkan badan, lalu tertawa, "Ya seperti itu lah."

"Seperti itu, seperti apa, kenapa dia bisa datang kesini?" Aku bertanya dengan bingung.

"Pertunjukan mutiara ini diselenggarakan oleh Yi's Enterprises, kenapa Yoga tidak boleh disini?" Jawaban Kak Dewi membuatku merasa bodoh.

Dari awal aku sudah mengatakan padanya kalau aku tidak ingin bergantung dari keluarga Yoga, tapi aku malah bisa kembali berkarya karena orang-orang itu.

"Christine, Yoga benar-benar menyukaimu, semisal kamu tidak menjadi bintang di pertunjukan ini, akan selalu ada model lain yang menggantikan, tapi kenapa cuma kamu yang diajak makan bersamanya?" Kak Dewi tertawa dari sudut bibirnya, "Baiklah, kita pergi dulu."

Aku bengong menatap lantai, memejamkan mata, menggigit gigiku, lalu mundur beberapa langkah dan kembali duduk di kursi rias.

Apa yang ingin Yoga lakukan? Apa dia mau menebus semuanya? Apa dia ingin mengembalikan martabatku?

Aku tertawa sinis, dia benar-benar mengira dia bisa memutar balik waktu, benar-benar mengira aku akan memberinya maaf.

Apa aku sebenarnya punya sebuah moral baik yang aku sendiri tidak menyadari keberadaannya? Orang yang berbuat baik padaku, akan kubalas dengan kebaikan berlipat. Tapi terhadap mereka yang jahat padaku, mereka selamanya akan berada di daftar hitamku.

Aku menatap bayanganku di cermin, dan setelah menarik nafas dalam-dalam, aku bangkit berdiri. Acara makan malam ini harus kuhadiri, karena Jonathan juga akan menghadirinya.

Ketika aku melangkah keluar dari belakang panggung, orang-orang yang menghadiri pertunjukan itu sudah bubar, di sana hanya ada Yoga, Jonathan dan Cynthia.

Yoga maju ke depan, dan bertanya dengan perhatian, "Sudah selesai? Apa kita bisa jalan sekarang?"

Aku mengangguk pelan, mataku tertuju pada tangan Cynthia yang mendekap erat lengan Jonathan. Dia juga menyandarkan kepalanya di bahu Jonathan, seakan sengaja mempertontonkan sebuah kemesraan mereka.

Aku menatap Jonathan dengan dingin, dia membalasku dengan memberikan sebuah ekspresi tak berdaya.

Aku ikut mobil Yoga, Jonathan dan Cynthia naik mobil lain, mobil mereka mengikuti mobil Yoga. Aku bertanya, "Kita akan pergi makan di mana?"

"Hotel Imperial." Setelah Yoga menjawab tanpa berpikir, aku langsung menolaknya, "Aku tidak jadi pergi."

Yoga menoleh, menatapku sejenak, lalu bertanya, "Kamu ingin pergi makan kemana?"

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk, dengan demikian, Yoga mengendarai mobil menuju ke sebuah tempat makan yang berada dekat dengan tempat tinggalku. Begitu turun dari mobil, aku langsung memesan menu andalan tempat makan itu.

Begitu Yoga, Jonathan selesai memarkirkan mobil mereka dan melihat kondisi tempat makan yang kacau balau itu, mereka semua mengernyitkan alis lalu bertanya, "Apa tempat ini lolos cek kebersihan?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak bersih baru sehat."

Yoga menanggapinya dengan tertawa kecil, lalu duduk dengan terpaksa.

Jonathan melihat sorotan dingin mataku, akhirnya juga duduk dengan terpaksa. Cynthia selesai menerima telepon, berjalan ke tempat duduk kami, setelah melihat sekelilingnya, dia menolak untuk duduk, "Ini keterlaluan kotornya, ini tidak pantas diduduki orang."

Aku dari awal sudah bisa menebak reaksi Cynthia, dia orang kaya, pasti tidak pernah makan di tempat kotor seperti ini.

"Nona Cynthia yang agung, yang belum pernah datang berkunjung ke dunia manusia biasa. Silahkan memilih mau duduk di mana." Aku berkata dengan nada ringan.

Cynthia maju dan menarik lengan Jonathan, lalu dengan manja berkata, "Jonathan, kita pergi ke Hotel Imperial saja. Aku tidak terbiasa disini, nanti bisa sakit perut."

Melihat mereka terlihat mesra, aku merasa marah, tapi harus teteap berpura-pura acuh tak acuh, menyahut, "Benar juga, Tuan Jonathan juga tidak boleh berada di lingkungan seperti ini, segera pergi dengan putri Cynthia menuju ke istana (Hotel Imperial), yang merupakan surga kalian."

"Jonathan, kamu pergi saja dengan Cynthia, aku akan menemani Christine." Yoga juga ikut membantu.

Jonathan berkali-kali memelototiku, seakan tidak rela untuk pergi.

Cynthia terus menarik Jonathan untuk pergi, tapi setelah yang di tarik enggan bangkit berdiri, dia bertanya dengan lantang, "Jonathan, apa kamu masih cinta padanya?"

Dia sengaja tidak menyebutkan namaku, karena dia tidak ingin mereka berdua bertikai memperebutkanku, walau demikian, Yoga juga mengetahui maksud Cynthia.

Jonathan tak tahu harus bagaimana menghadapi tatapan penuh kesalahpahaman Yoga kepadanya, akhirnya dia menemani Cynthia pergi ke Hotel Imperial.

Begitu mereka melangkah pergi, Yoga langsung bertanya padaku, "Apa kamu dulu sudah pernah mengenal Jonathan?"

Kali ini menu yang kupesan sudah datang semua, aku mengambil sumpit sekali pakai, dan langsung makan tanpa mempedulikan pertanyaannya.

Yoga memandang meja yang penuh dengan makanan itu, tanpa berani untuk mengambil sumpit dan memakannya.

Aku tahu, dia belum pernah makan di tempat seperti ini. Dia hanya demi menemaniku, dengan sangat terpaksa duduk di situ.

"Kalau kamu tidak sanggup memakannya, jangan dipaksakan, kamu juga boleh menyusul mereka ke Hotel Imperial." Aku memandangnya dengan dingin, dan berkata sinis.

"Aku sanggup." Yoga mengambil sumpit lalu mulai memakan siput, setelah mengendus-endus sekian lama, dia memandangku dengan kikuk.

Aku tidak mempedulikan apa dia mau makan atau tidak, setelah aku selesai makan, aku bangkit berdiri akan membayar. Toh dia juga tidak ikut makan.

Yoga maju dan menarikku, "Tidak usah, aku saja."

Aku menatapnya, lalu mengangguk, "Baiklah."

Yoga dengan senang hati mengeluarkan kartu ATMnya dan berkata pada bos tempat makan itu, "Bos, bayar dengan kartu."

Dia berkata demikian, membuat bos itu diam melongo, lalu menggelengkan kepalanya, berkata, "Rumah makan kami kecil, orang-orang yang biasa makan disini biasanya membayar tunai."

Begitu mendengar, Yoga merasa canggung, "Pakai OVO bisa kan?"

Bos itu menggelengkan kepalanya lagi, "Kami disini hanya menerima uang tunai."

Aku menggelengkan kepala, tidak paham dengan orang-orang kaya ini, aku mendorong Yoga menjauh, lalu memberi bos rumah makan itu empat ratus ribu, bos itu menerima uangku, memeriksanya, lalu membawanya masuk.

"Maafkan aku, aku tidak tahu tempat ini ternyata hanya menenerima uang tunai." Yoga menjelaskan dengan canggung.

Aku tidak menjawabnya, hanya berdiam berdiri disana.

"Christine, ayo kita pergi dari sini!" Yoga dengan lembut memintaku pergi dari sana.

"Sebentar, bosnya belum memberiku kembalian."

"Tidak perlu ditunggu, anggap saja memberinya uang tip." Kata-kata Yoga membuat emosiku meluap.

"Tuan Yoga yang terhormat, bagi kami rakyat jelata ini menghasilkan uang bukan hal yang mudah, aku tidak tahu apapun soal uang tip, yang aku tahu hanya aku tidak akan semudah itu menghamburkan uang hasil jerih payahku." Aku tahu perkataanku itu terlalu frontal, setiap kata yang aku gunakan ditujukan untuk Yoga.

Tapi aku tidak bisa tidak marah.

"Oh...." Yoga menjawab dengan lirih.

Seorang tua berjalan keluar memberiku kembalianku. Aku memasukkannya ke dalam dompetku, lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh. Yoga masih menemaniku, bersiap mempersilahkanku masuk ke dalam mobilnya, tapi aku menolak.

"Hari ini aku sangat berterimakasih karena kamu sudah berjuang sekuat tenaga untuk menemaniku makan di tempat seperti itu, sekarang aku mau pulang." Setelah berkata demikian, kebetulan sebuah taksi lewat di depanku, aku melambaikan tangan, memanggil taksi itu.

"Christine, biarkan aku mengantarmu pulang." Yoga memohon.

Tapi aku tidak mempedulikannya, begitu taksi itu berhenti di depanku, aku langsung naik ke dalam.

Taksi itu perlahan bergerak menjauh, aku bisa menyaksikan Yoga tertunduk lesu dalam kegelapan malam dari kaca belakang taksi itu.

Apakah aku sudah keterlaluan?

Kalau dibandingkan dengan apa yang dia lakukan padaku selama tiga tahun, itu bukan apa-apa.

Ketika aku sampai di rumah, jam sudah menunjukan pukul 10:27, Jonathan belum juga nampak, dia bersama dengan Cynthia pergi ke Hotel Imperial, pastinya sedang bersenang-senang! Aku juga tidak meneleponnya, perubahan menjadi baik itu harus disadari dengan sendirinya, aku ingin melihat jam berapa dia baru akan pulang.

Novel Terkait

Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu