Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 36 Kebenaran yang Pahit

"Ada masalah apa?" Aku menatap Sarah dengan penasaran.

Raut wajahnya berubah serius, dia bangkit duduk, lalu menggenggam tanganku dan berkata, "Berjanjilah padaku, kamu harus bahagia."

Begitu mendengar perkataannya, aku tidak tahu mau ketawa atau menangis, kupukul dia dengan bercanda, lalu melihatnya masuk ke dalam selimut dan menarik selimutnya tinggi-tinggi.

Aku menyibakkan selimutnya, lalu ikut masuk ke dalam selimut, kami berdua saling menggelitik satu sama lain, saling berusaha melepas baju lawan, sama seperti masa sekolah dulu, juga masa di mana aku masih sanggup mengabaikan perasaanku.

Beberapa hari setelahnya, aku pergi menemani Sarah ke kota F, mengunjungi sekolah lamaku, sampai setelah Sarah pulang, Yoga belum juga menemukan pekerjaan yang sesuai untuk suaminya.

Setelah Sarah pergi, Yoga memberitahuku, dia ingin segera melaksanakan acara tunangan, dia berkata dia sudah lama menunggu, dia khawatir kalau tidak segera dilaksanakan, aku akan direbut lagi oleh orang lain.

Aku tidak secara langsung menolaknya, kemudian Yoga mengatur keluarga kami untuk bertemu.

Mulai dari pertemuan keluarga kami itu, mamaku tidak berhenti memuji-muji Yoga, memuji dia memiliki latar belakang yang jauh lebih baik daripada Ardy, setelah ini nenek dan kakek tidak akan mencemoohku lagi.

Aku tahu apa yang dirasakan mamaku, aku sudah pernah menikah, sudah pernah bercerai, sudah pernah keguguran, sekarang ada Yoga yang bersedia menikahiku, seharusnya aku menjadi wanita yang paling beruntung di dunia.

Sarah khawatir kalau aku tidak segera menggunakan kesempatan ini, aku akan melewatkan kehidupan pernikahan yang indah.

Acara lamaran dengan segera diputuskan, yaitu pada tanggal 10 Desember. Aku berdiri dalam diam di lantai dua rumah Yoga, melihat dekorasi di ruangan itu, melihat Yoga dengan penuh keseriusan mengurus masalah ini, aku paham, seorang wanita harus menikah dengan seseorang yang sungguh mencintainya, baru bisa menikmati indahnya hidup.

Sepasang tangan yang besar tiba-tiba terjulur dari pinggangku, lalu memelukku dengan erat, wajah Yoga menempel ke pelipisku, sikapnya yang seperti ini membuatku melamun beberapa saat, dulu Jonathan suka memeluk aku seperti ini, kemudian mencium aku.

"Kamu sedang memikirkan apa?" Suara Yoga membuatku terhenyak dari alam imajinasiku.

"Tidak ada apa-apa, apa kamu lelah?" Aku bertanya dengan penuh perhatian. Beberapa waktu ini dia terus sibuk dengan persiapan acara pertunangan ini, segala sesuatu harus berjalan dengan lancar, bahkan baju hadiah pertunagan pun dia sendiri yang memilihnya.

Aku datang kesana hanya untuk menampakkan diri, mengenakan gaun yang dia pilihan untukku.

Kalau boleh jujur, aku tidak seperti seseorang yang akan menikah, terhadap hal-hal ini, aku seperti sesosok zombie yang hanya bisa mengangguk, menerima semua apa adanya.

Dalam hidup ini, tidak ada yang benar-benar seutuhnya menikah dengan cinta, yang ada hanya pernikahan karena kompromi.

Yoga melepaskan pelukannya dan meletakkan tangannya di lenganku, memutarku agar bisa melihatnya, melihat alisku, dia dengan lembut menyentuhnya, lalu berkata, "Aku tidak peduli dengan masa lalumu, mulai hari ini, aku akan membuat setiap harimu bahagia."

Aku tersenyum kecut, lalu dengan diam menyandarkan kepalaku ke dada Yoga, "Gendut, selama masa penantianmu itu, pernahkah kamu sedetik saja ingin menyerah dan melepasku pergi?"

Yoga menggelengkan kepala, "Sekalipun tidak pernah, aku yakin dengan pasti kamu adalah milikku."

Aku tidak tahu dari mana Yoga mendapatkan kepercayaan diri seperti itu, tapi kali ini yang aku perlu hanya sebuah pernikahan yang datar, sebuah hidup yang tenang, aku tidak mau merasakan kegelisahan lagi, dan merepotkan keluargaku.

Jonathan, merupakan luka dalam hatiku, laki-laki yang selamanya tidak akan terjamah olehku, orang yang pernah melintas dan meninggalkan sesuatu di hatiku, aku pernah ingin memiliki, tapi bagai punguk merindukan bulan, aku tak berdaya.

Keluarga besar Yoga memberitakan pertunangan kami di media masa. Seluruh warga kota F heboh dibuatnya, semua orang mengagumi pernikahanku kali ini.

Demikian juga mantan suamiku, Ardy beberapa hari sebelum pertunanganku datang mencariku.

Dia mengajakku bertemu di sebuah cafe, awalnya aku tidak ingin pergi, namun dia berkata dia ingin menyampaikan sesuatu, mengenai siapa yang waktu itu membuatnya menikahiku. Aku begitu mendengarnya, tanpa ragu lagi berangkat menemui dia.

Ardy duduk di hadapanku, dengan santai dia mengaduk kopinya, tapi matanya memandangku lekat-lekat, lalu dengan perhatian berkata, "Kamu..kurusan."

Aku tersenyum sinis, "Kamu sudah berubah, dulu ketika kita tinggal bersama, sepertinya kamu tidak pernah menggunakan nada penuh perhatian seperti ini menanyakan keadaanku."

"Christine, kamu masih menyalahkanku atas perbuatanku padamu?" Ardy berhenti mengaduk kopinya, dengan sedikit tersinggung menatapku dan bertanya.

Aku menggeleng, "Tidak menyalahkan, kamu ini juga termasuk pangeran, selama tiga tahun pernikahan, kamu tidak pernah berbuat apa-apa terhadapku, aku..."

"Aku pernah menginginkanmu, itu kenapa setiap hari aku tidak pulang rumah, karena aku takut tidak bisa mengendalikan diri lalu akhirnya jatuh dalam api nafsuku." Ardy akhirnya menyampaikan suara hatinya, "Tapi aku tidak bisa berbuat seperti itu, orang itu terus menghubungiku, kalau aku sudah menidurimu, dia akan meminta segala yang kumiliki."

"Siapa?" Aku dengan tidak sabar memandang Ardy, siapa yang memiliki dendam sedemikian besar sampai tega melakukan hal itu padaku?

"Yoga Sudirman." Dua kata itu melesat keluar dari mulut Ardy bak sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya,, membuatku tercengang, aku menggelengkan kepala, lalu tertawa dingin.

"Kamu ini mau membuat kebohongan seperti apa lagi Ardy? Semisal mau berbohong pun, carilah cerita yang sedikit masuk akal." Aku tidak percaya, lalu meminum kopi panas yang membuat mulutku terbakar.

"Aku bersungguh-sungguh." Ardy memberiku pandangan serius, "Awalnya aku mengira kamu akan bersama dengan Jonathan, benar-benar tidak aku sangka kamu akan menikah dengan Yoga, lelaki itu tidak bisa dipercaya, dia tidak akan bisa memberi kebahagiaan untukmu."

"Jangan bicara lagi." Aku dengan marah bangkit berdiri, dan berteriak keras padanya. Jujur, aku tidak sanggup menerima kenyataan ini. Aku ingin segera pergi meninggalkan cafe itu, tidak ingin meneruskan perbincanganku dengannya.

"Christine, kamu jangan emosi dulu." Ardy juga bangkit berdiri, mencegahku pergi, "Dulu aku mungkin pernah berbuat jahat padamu, tapi kita sudah melewati tiga tahun bersama, Christine, kamu harus percaya kepadaku, Yoga adalah laki-laki yang sudah mengatur pernikahanmu dan mengendalikan kehidupanmu."

Aku memandang Ardy dengan galak, "Kenapa kamu memberitahuku hal ini?"

"Apa yang aku tidak bisa dapatkan, Yoga juga tidak boleh mendapatkannya." Sebuah tawa keluar dengan lepas dari mulutnya, tawa yang penuh dengan kemunafikan, aku belum pernah berada sedekat ini dengan Ardy.

Aku tidak tahu apa yang pernah terjadi di antara Ardy dan Yoga, tapi aku yakin itu pasti ada hubungannya dengan uang.

Aku terduduk kembali, lemas, kutatap cangkir kopi itu dengan tatapan kosong.

"Christine, sejak kita bercerai, hidupku berat." Ardy bicara dengan suara pelan, lalu dengan sungguh-sungguh menatapku, "Setelah Linda melahirkan, aku seperti berubah menjadi orang yang berbeda, setiap hari Linda bak seorang pencuri memeriksa ponselku, datang ke kantor memukul sekretarisku, semua ini kamu belum pernah melakukannya."

Aku tertawa sinis, "Itu sebabnya aku bodoh."

"Bukan, bukan bodoh, aku tidak bisa menghargai saat aku bersama wanita sebaik kamu, demi sepeser uang aku tega menyakitimu, aku tahu, mungkin sekarang sudah terlalu terlambat bagiku untuk mengucapkannya, tapi aku sangat tidak berharap kamu termakan tipu muslihat Yoga." Kata-kata Ardy seakan sebuah tato panas yang menempel dalam hati.

Peringatan Ardy yang penuh perhatian itu menyakitiku lagi, semua niat baiknya, tidak lain hanya karena dirinya tidak ingin melihat Yoga mendapatkan apa yang Yoga inginkan, oleh karena itu dia memilih untuk balas dendam.

Apakah dendamnya membuatku sekali lagi merasakan apa yang disebut sakit?

Aku duduk terdiam di cafe itu, Ardy tidak mempedulikanku, ponselnya terus berdering, seakan dia punya banyak masalah yang perlu dia selesaikan, dia bangkit berdiri, menatapku, lalu berkata, "Hari ini ada masalah di perusahaanku, aku pergi dulu."

Aku tidak menanggapinya, aku terus memandangi jendela.

Di luar sudah mulai hujan, orang-orang mulai menepi, ketika suasana hati sedang tidak baik, bahkan langit pun seakan mengerti, sengaja memberiku latar belakang yang sendu.

Ponselku berdering, Yoga menelpon, setelah aku lihat lagi, aku langsung menutup teleponnya, lalu mematikan ponselku.

Aku tidak tahu aku di cafe itu sudah menghabiskan berapa cangkir kopi, ketika aku melangkah keluar, langit sudah gelap, rintikan air hujan mengepungku, membasahi jaketku dan juga membasahi hatiku yang penuh dengan lubang.

Meskipun aku tidak ingin mempercayai kata-kata Ardy, tapi aku masih mengingat perasaan itu, perasaan yang kurasa saat pertama kali aku berjumpa dengan Yoga.

Saat itu aku mengira dia membantu aku menyelesaikan masalah, sekarang sepertinya dia yang sedang berseteru dengan Ardy, dan karena kebetulan, Sarah mencarinya, dia juga secara tidak sengaja menemukanku.

Lalu dengan gila mulai mengejarku, terus berada di dekatku.

Aku akhirnya dipaksa Cynthia untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya, benar-benar menyedihkan!

Rintik air hujan sudah berhasil membuat rambut dan bajuku basah, hujan di musim dingin benar-benar dingin, aku gemetar dari ujung kaki sampai ujung kepala, aku tahu dengan seperti ini, aku sedang menyiksa diri, hanya untuk membuatku tersadar kembali.

Aku sudah melalui tiga tahun pernikahan yang kacau, sudah menjalin asmara dengan Jonathan sekian lama, sekarang akan bertunangan dengan orang yang ternyata menjadi otak dari pernikahanku yang kacau itu.

Aku merasa diriku ini sungguh kasihan, kenapa aku harus berkutat dengan masalah-masalah itu?

"Ah..." Aku tidak kuat lagi, jantung hatiku terasa seperti sedang di robek dari dalam, air hujan yang sedikit asin itu masuk ke dalam mulutku. Aku memejamkan mata, rintik air hujan yang turun itu bercampur dengan air mata yang mulai berjatuhan.

Tiba-tiba hujan berhenti membasahi kepalaku, ketika aku mendongak ke atas, aku melihat ada sebuah payung hitam yang besar di atas kepalaku, aku tersenyum sendiri. Dia tanpa diduga muncul di sini.

"Kamu belum lama ini keguguran, tidak boleh hujan-hujan." Dia berkata tanpa ekspresi.

Dia sedang memberiku perhatian? Aku memandangnya dengan samar." Aku wanita jalang ini tidak pantas mendapat perhatian dari CEO PT Weiss."

"Siapa yang peduli denganmu?" Jonathan meraih tanganku, menjejalkan gagang payung itu ke tanganku, lalu berlari masuk ke dalam mobil. Aku menyaksikan mobilnya pelan-pelan berjalan menjauh, aku dengan sekuat tenaga meremas payung itu, dan menggertakkan gigi.

Jonathan mungkin kebetulan sedang lewat jalan ini, PT Weiss berada di daerah sini, aku melupakan hal itu.

Aku sudah menjalani hidupku dengan kacau.

Tubuhku basah kuyup ketika sampai ke tempat Christoper. Kakak ipar membuatkan wedang jahe untukku, katanya dengan minum jahe, aku tidak akan mudah masuk angin, lalu memberiku pakaian ganti.

Aku berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke hujan yang semakin lama semakin bertambah deras.

"Kenapa kamu gelisah, kenapa harus hujan-hujanan?" Christoper mengomel dari luar kamar. Dia tidak berani langsung bertatap muka denganku, karena dia tahu aku akan bertunangan dengan Yoga, yang juga merupakan tempatnya bersandar.

Tak selang berapa lama, Yoga datang, dia masuk ke dalam kamar, berdiri di belakangku, lalu dengan sedih berkata, "Christine, kamu ini pergi kemana, kamu tahu tidak semua orang sedang mengawatirkanmu?"

Aku tahu, aku menutup teleponnya, dia pasti menelepon ke rumah. Mamaku pasti menelepon Christoper, menanyakan apakah aku ada disana, kalau ada berita apapun tentangku, dia pasti akan pertama kali memberitahu.

Dengan begitu Yoga mengetahui aku sedang berada di tempat Christoper, lalu dia datang kemari.

Melihatku tidak bersuara, Yoga mendekat, ketika tangannya baru saja menyentuh pinggangku, aku menatapnya dengan tatapan yang dingin.

"Ada apa?" Yoga bertanya dengan bingung.

Novel Terkait

Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu