Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 44 Sulit Membaca Hati Manusia

Setelah selesai menjawab telepon, Sean kembali ke kantor, dia tersenyum kepadaku dan Kak Dewi.

"Maaf, maaf. Kerjaan kantor terlalu sibuk, saya harus melakukan semuanya sendirian. Sebenarnya, capek juga. Tadi sampai mana ya?"

"Tidak apa Pak Sean. Tadi kami berbicara tentang endorse untuk Christine, untuk biayanya bagaimana ya?" ujar Kak Dewi, dia tersenyum ramah.

Kak Dewi memang sangat hebat dalam berbisnis, tentu saja dia membicarakan uang, kalau tidak, bagaimana karyawan-karyawan di Rainbow Entertainment bisa hidup?

"Tenang saja, untuk cek pembayaran, Bu Dewi sebutkan saja nominalnya." Ujar Sean mantap. Dia melirik Kak Dewi dan kemudian kepadaku.

"Christine, sepertinya ada yang ingin dibicarakan?" Lanjutnya. Sepertinya, dia dapat merasakan ada sesuatu di pikiranku.

Setelah mendengarkan percakapan mereka di telepon, aku bertanya-tanya, apa hubungan Sean dengan Cynthia? Bagaimana dia bisa mengancam Cynthia?

Semuanya adalah misteri bagiku.

"Christine, kamu kenapa?" Kak Dewi membuyarkan lamunanku, aku terperanjat.

"Maaf, hari ini saya kurang enak badan. Maafkan kalau perilaku saya kurang baik." Jawabku.

"Bagaimana kalau saya antar ke rumah sakit?" Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut Sean.

"Tidak perlu, saya hanya kurang tidur saja. Saya cukup beristirahat di rumah." Jawabku.

"Oh begitu!" Ujar Sean sembari tersenyum dan mengangguk.

Sorot mata Sean benar-benar membuatku tidak nyaman. Sebenarnya, aku tidak ingin menolak pekerjaan ini. Tetapi, setelah mendengar bahwa Sean mengenal Cynthia...... aku tidak lagi menginginkan pekerjaan ini. Aku tidak ingin berhubungan apapun dengannya.

Sayangnya, Kak Dewi benar-benar tertarik dengan endorse ini, apalagi setelah mengetahui pembayarannya, senyumnya mengembang lebar di wajahnya.

Sean dan Kak Dewi selesai mendiskusikan biaya endorse, mereka setuju pada angka sepuluh milyar. Uang sebanyak itu bisa kugunakan untuk melunasi hutangku kepada Kak Dewi!

Untuk merayakan kerja sama ini, Sean mengundangku untuk makan malam.

Aku baru saja ingin menolak undangan tersebut, tetapi Kak Dewi membujukku. Baiklah, hanya makan malam saja, kan.

"Oke, saya tunggu kehadiran Nona Christine malam ini di Imperial Hotel.“ Ujar Sean sembari tersenyum puas. Lalu dia berbalik meninggalkan ruangan.

Kak Dewi tersenyum penuh kemenangan, tetapi aku merasa tidak tenang, seperti ada yang salah.

"Kenapa kamu? Kok tidak senang?" Tanya Kak Dewi.

"Kak Dewi, nanti malam temani aku dong..." Ujarku penuh harap.

"Aduh, Christine. Pak Sean menyukaimu, lho! Kalau aku ikut dan dia tidak senang, bagaimana? Ini untuk kelancaran bisnis kita, tahu. Bodoh sekali kamu ini." Kata-kata Kak Dewi membuatku semakin bingung, apakah dia tidak melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan Sean?

"Lantas kenapa tadi Kak Dewi mengiyakan ajakan makan malam ini?" Aku menjadi sedikit marah, merasa dipermainkan.

Melihat Kak Dewi yang begitu gembira, senyumnya mengembang lebar, aku merasa sedikit kecewa terhadapnya.

"Pak Sean belum menikah, kamu juga belum menikah lagi, anggap saja sebagai teman, tidak masalah, kan?" Ujar Kak Dewi.

Mendengar Kak Dewi, aku menjadi sangat marah. Aku sedikit berteriak kepadanya.

"Apa maksudnya, Kak? Ada maksud tersembunyi apa?!"

"Maksud tersembunyi apa lagi? Hanya urusan makan malam saja, kenapa jadi ribut seperti ini?! Aku tidak menyuruhmu melakukan apapun kecuali makan malam! Apa sulit sekali?" Kak Dewi juga menjadi marah, dia menunjuk-nunjuk kepalaku.

"Christine, dunia sudah berubah. Kamu perlu melakukan lebih untuk mendapatkan yang kamu inginkan, tidak bisa hanya mengandalkan diri sendiri saja." Lanjut Kak Dewi.

Aku tidak dapat berkata-kata lagi, saat itu, Kak Dewi sendiri yang mengatakan jangan mengandalkan laki-laki. Apakah Kak Dewi yang waktu itu sama dengan yang sekarang?

Aku sudah mengabaikan sesuatu yang sangat penting, yang terpenting dalam berbisnis adalah keuntungan, bukan emosi atau perasaan. Benar saja, hati manusia terhalang oleh lapisan perut, hati manusia tidak pernah bisa dibaca.

Rupanya, ada maksud tersembunyi di balik kebaikan Kak Dewi. Di matanya, aku masih memiliki nilai, aku masih bisa digunakan olehnya. Makanya ia mengizinkanku kembali ke agensi.

Kak Dewi telah membohongiku, bahkan sampai akhir, dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dan sekarang...... masalah makan malam ini?

Aku diam-diam memandangi Kak Dewi, wajahnya terlihat bersemangat sekali, ini bukanlah Kak Dewi yang kukenal tiga tahun lalu, yang membantuku dengan tulus. Kak Dewi yang sekarang... aku tidak mengenalnya sama sekali. Seperti, Kak Dewi yang dulu sudah hilang.

Dari awal, akulah yang terlalu naif.

Aku hanya bisa tersenyum pahit, pikiranku dipenuhi oleh rasa kecewa. Ketika aku berbalik, Kak Dewi masih saja menanyaiku:

"Hey, kamu tinggal dimana? Nanti malam aku panggilkan sopir supaya jemput kamu ya!"

"Tidak usah, aku pergi sendiri saja.” Jawabku ketus tanpa melihat Kak Dewi.

"Okelah, jangan sampai terlambat ya. Nomor teleponmu sudah aku berikan ke Pak Sean. Nanti malam dia akan menghubungimu.“ Ujar Kak Dewi dengan riang gembira.

Aku melangkah keluar dari gedung Rainbow Entertainment. Melihat keatas, gedung ini begitu tinggi dan megah, seperti diluar jangkauanku.

Setelah pekerjaan endorse ini selesai, aku akan melunasi hutangku kepada Kak Dewi, dan tidak akan berurusan dengannya lagi.

Aku tidak kembali ke rumah, aku langsung menuju ke rumah ibuku.

Masuk ke rumah, di dalam sepi sekali, seperti tidak ada seorang pun di sana. Aku sedikit berteriak memanggil-manggil mama.

"Maaa..."

Tidak ada jawaban.

Aku membuka pintu kamar mereka, melihat papa terduduk sendirian di tempat tidur, dia sedang makan. Karena tangan dan kakinya yang tidak dapat bergerak normal, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh makanan yang berjatuhan.

Dengan sigap, aku menghampiri papa dan membantunya makan, sembari bertanya:

"Mama dimana? Kok tidak kelihatan?"

"Oh.. Dia sedang pergi ke rumah Christopher, kakak iparmu sedang hamil. Dia pergi bantu-bantu disana.” Suara papa terdengar bergetar.

Aku diam-diam menatap papa. Waktu dia muda, suaranya terdengar mantap dan tegas, siapa yang mengira kalau di usianya yang baru menginjak 50-an dia menjadi seperti ini. Memikirkan hal ini, ada kesedihan yang menghampiri hatiku. Aku bersandar di punggungnya, aku tidak kuasa menahan tangis.

"Ada apa?" tanya papa kepadaku, dia terlihat khawatir.

"Pa, kenapa hidup ini sulit sekali? Aku hanya ingin menjalani hari-hariku dengan baik, itu saja. Kenapa semuanya sulit sekali?"

"Anak bodoh...... Namanya juga manusia, harus belajar dewasa. Kamu harus belajar dewasa, berkembang dan jaga diri baik-baik. Carilah laki-laki yang benar-benar mencintaimu, supaya dia menggantikan papa untuk menjagamu." Jawab papa lembut sembari mengelus rambutku.

"Mama sih enak, ada papa yang jaga. Seumur hidup bahagia." Candaku.

"Ampun deh, mulut mama kamu itu, pedas sekali. Selama ini papa sudah kenyang dimaki olehnya." Ujar papa sembari tersenyum.

"Mulutnya... bisa membangkitkan orang mati, tapi bisa membunuh orang hidup juga. Hahaha!" Lanjut papa. Aku yang sedari kecil sudah menyaksikan langsung bagaimana mulut mama, merasa heran karena baru menyadarinya sekarang.

"Betul juga. Mama itu... Putih bisa jadi hitam, suka bergosip. Sehari tidak menggosip, tidak akan bisa tahan." Papa tertawa mendengar kata-kataku.

"Jadi, kenapa kamu pulang hari ini?" tanya papa. Dia menatapku tajam.

"Bosan, jadi aku pulang." Jawabku. Aku tidak sanggup menatap papa di matanya.

"Sudah, cari pacar sana! Cepat-cepat menikah."

Mendengar kata-kata ”menikah", aku perlahan menunduk.

"Pa, ada yang ingin aku bicarakan. Tapi jangan kasih tahu siapapun, terutama mama."

Papa mengangguk pelan.

"Pa, sebenarnya aku sudah menikah. Tolong jangan panik dulu Pa! Nanti darah tingginya kambuh."

"Si... siapa?" Tanya papa, penasaran.

"Papa tidak kenal dengan orang ini. Christine tahu, diam-diam menikah seperti ini salah.. Tapi aku sangat mencintai laki-laki ini, dia pun begitu." Aku mencoba menjelaskan dengan tenang, papa juga dengan tenang mendengarku.

"Christine, selama kamu bahagia, papa tidak akan mempermasalahkan apapun. Tenang saja. Kecuali kamu yang bilang sendiri, papa tidak akan beri tahu mama.“ Ujar papa sembari menggenggam punggung tanganku.

Aku kembali membenamkan wajahku di punggung papa.

”Pa, sekarang aku bahagia sekali."

Sudah setengah jam berlalu sejak aku mengobrol dengan papa. Aku mendengar suara pintu depan dibuka, terdengar suara mama yang menggelegar. Mama belum masuk ke rumah, namun aku sudah bisa mendengar suaranya.

"Duh, sekarang harga sayur naik terus! Lama-lama bisa tidak mampu beli, nih!" Terdengar ocehan ibuku. Dia masuk kamar dan melihatku duduk di pinggir tempat tidur bersama papa.

"Wah, anak perempuanku yang paling keras kepala pulang." Ejeknya kepadaku.

Aku menepuk-nepuk pundak papa dan mengisyaratkan kepadanya agar tidak lupa menjaga rahasia.

"Tujuanku pulang adalah menengok papa, bukan mama. Jangan terlalu percaya diri deh." Balasku tak kalah mengejek.

"Mama juga tidak berharap ditengok olehmu. Kamu ini ya, tidak bilang apa-apa lalu sembarangan saja pindah keluar. Aku tidak perlu ditengok olehmu." Kata-kata mama menyadarkanku, rupanya dia masih marah karena kejadian itu.

Aku tidak menjawab.

Tiba-tiba mama berbalik dan bertanya:

"Malam ini mau makan malam di rumah?"

“Tidak perlu, aku mau temani client makan di luar." Kataku ketus.

Aku menatap punggung mama yang mulai bungkuk, meskipun sifatnya keras dan mulutnya kejam, tetapi dia masih mengingatku sebagai putrinya yang durhaka dan kurang ajar.

"Ya sudah." Terdengar nada kecewa dari suara mama, dia keluar ruangan dan membawa sayur-sayurannya ke dapur.

Setelah berpamitan dengan papa, aku menuju dapur.

"Ma, aku pergi ya."

Hening.

Disaat aku bersiap meninggalkan dapur, mama menoleh ke arahku.

"Di luar harus baik-baik jaga diri ya."

Mendengar kata-kata mama, aku merasa terharu, sudut-sudut mataku memerah. Aku mengangguk dan berkata pelan:

"Iya Ma."

Meskipun kadang bertengkar dengan orang tua, aku mengerti bahwa tujuan mereka baik. Mereka peduli terhadapku.

Saat aku menginjakkan kakiku di luar rumah, air mata menetes dari sudut mataku. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia dan rasa bersyukur.

Aku mengeluarkan ponsel dan menelpon Jonathan. Selang beberapa saat, terdengar suaranya dari seberang sana.

"Ada apa?"

"Jonathan, aku mau tanya. Kamu kenal dengan Sean?"

"Sean? Oh, sepertinya itu teman sekolah Cynthia, saat mereka sekolah di luar negeri. Memangnya kenapa? Kamu kenal?"

"Oh!" Aku tidak menjawab pertanyaan Jonathan, aku teringat akan kecerobohanku sendiri.

"Hey, kamu dimana?"

"Baru saja pulang dari rumah mama, sekarang mau pulang. Kamu lanjut kerja deh, kumatikan ya teleponnya."

Sean?

Rupanya benar, dia ada hubungannya dengan Cynthia. Apa yang sebenarnya direncanakan Cynthia? Kelihatannya, aku harus menemuinya, apa yang ingin dia lakukan kepadaku?

Novel Terkait

Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
Adieu

Adieu

Shi Qi
Kejam
5 tahun yang lalu