Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 28 Menolak Tanpa Perasaan

Aku menarik tanganku, melepaskannya dari genggaman Si Gendut.

"Ndut......" Aku baru saja memanggil namanya, dan dia memotong perkataanku.

"Christine, aku sudah tidak gendut lagi, aku sudah berubah menjadi seperti apa yang kamu ingini, menjadi seorang yang sukses seperti yang kamu mau, kenapa aku masih tidak bisa terlihat baik di matamu?" Kata-kata Yoga benar-benar membuatku tidak paham, aku tidak pernah memintanya untuk berubah.

Aku akui, sekarang Yoga sudah mengalami banyak sekali perubahan, tapi apa gunanya, anak di dalam perutku ini anak Jonathan, secara keseluruhan aku miliknya juga.

Aku meninggalkan Jonathan, hanya karena aku tidak ingin dia sekedar menjadi mesin ATM Christopher, juga tidak ingin Cynthia melecehkan keluargaku karenaku, tapi aku benar-benar tidak pernah berpikir untuk menerima pria lain selain Jonathan, bahkan bila teman sekolahku yang mengejarku.

"Yoga, aku sedang hamil." Aku menatap lurus ke arah Yoga, dan berkata dengan suara pelan. Seusai bicara, aku jelas-jelas merasakan cahaya keterkejutan dan ketidakpercayaan yang tersorot di kedua matanya, tapi itu tidak berlangsung lama.

"Ini kah sebab kenapa kamu menolak aku?" Yoga mengerutkan kening dan menatapku dengan serius.

"Aku tidak mencintaimu, mengerti? Kalau aku mencintaimu, meskipun kamu masih gendut, aku juga akan tetap mencintaimu. Kita teman sekelas, aku tidak ingin mengatakannya dengan keji, kamu bisa memiliki kesuksesanmu saat ini, dengan penampilan seperti ini, aku benar-benar bahagia untukmu, tapi kita selamanya hanya sebatas teman sekelas." Setelah aku mengatakan hal yang cukup kejam itu, aku segera turun dari mobil.

Sesampainya di kamar, aku menutup pintu di belakangku, aku hanya ingin melewati kepedihan berpisah dengan Jonathan ini sendiri dengan tenang, kenapa Yoga harus muncul juga di kehidupanku?

Aku merasa jengkel, aku tidak ingin pergi dan menyalahkan keusilan Sarah, lagipula kehidupan dia juga tidak cukup baik, anaknya juga terluka di tempatku, satu per satu masalah yang menjengkelkan datang menghampiriku.

Beberapa hari setelah itu, Yoga tidak datang menemuiku, mungkin karena kata-kataku hari itu agak kasar, tapi saat aku datang menjenguk anak Sarah, kami berpapasan beberapa kali.

Sorot matanya membuatku cukup merasa tertekan.

Di hari anak Sarah keluar dari rumah sakit, Yoga datang menjemputnya, dan sekalian mengantarkanku pulang, saat aku turun dari mobil, dia memanggilku.

"Christine, besok aku akan kembali ke Kota F, apa kamu mau pulang bersama denganku?"

Aku yang sedang bersiap untuk menutup pintu mobil, terdiam terpaku, kalau aku menolaknya, dia mungkin akan berpikir kalau aku sedang menghindarinya, setelah beberapa detik, aku menyahutnya: "Baiklah."

Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tetapi dua hari yang lalu mama meneleponku dan berkata, penyakit papa semakin parah, sekarang dia sudah tidak bisa bangun dari kasur, dan memintaku untuk menjenguknya.

Mungkin masih ada perasaan prihatin kepada orang lain di dalam hatiku, membuatku tak bisa menolak untuk menganggukan kepala.

Keesokan harinya, Yoga datang menjemputku, sepanjang jalan dia menceritakan pengalaman yang dialaminya selama ini, dan untuk tidak membuatku merasa bosan, dia sengaja memutar beberapa lagu pop, tapi aku melamun di sepanjang perjalanan, hanya menatap kosong ke pemandangan jalan, aku benar-benar tidak tertarik untuk mendengarkan cerita Yoga.

Setelah duduk selama beberapa jam di dalam mobil, aku tertidur pulas, saat aku terbangun, tubuhku diselimuti oleh jas Yoga, dia menghentikan mobilnya di rest area, aku melirik dari jendela mobi yang terbuka, dan melihatnya sedang merokok dan bermain dengan asapnya, lalu dia menyapukan pandangannya, saat melihat ke arahku, dia segera membuang putung rokoknya dan menginjaknya.

Dia menghampiriku, lalu membukakan pintu mobil untukku, aku melepaskan sabuk pengaman, dan mengembalikan jas kepadanya, saat ini sudah hampir memasuki musim dingin, cuaca mulai terasa dingin, dia berdiri di depan mobil dengan hanya mengenakan sebuah kemeja, warna wajahnya mulai menjadi agak pucat karena hawa dingin yang merasuk.

"Pakai saja." Yoga berkata, kemudian dengan cepat mengatupkan mulutnya, dan bertanya dengan penuh perhatian: "Aroma rokoknya terlalu pekat ya?"

Aku menggelengkan kepala, "Tidak."

"Menyetir itu agak melelahkan, jadi aku merokok untuk beristrahat sejenak, sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan." Tatapan matanya mendarat di ekspresi wajahku, melihat apakah aku senang atau marah. Dia sangat memperhatikan perubahan emosiku, seakan takut aku akan membencinya.

Meskipun perawakannya sudah berubah, tapi di mataku, dia seperti tidak bisa melepaskan diri dari bayangan gendut dirinya sendiri, membuatnya menjadi gugup, takut dia akan menghancurkan gambaran yang sekarang dia miliki.

"Ndut, beberapa tahun ini, apa kamu pernah berpacaran?" Pertanyaanku yang tiba-tiba ini membuatnya cukup terkejut.

Yoga tertawa ringan, lalu mengusap rambutnya, "Ada lah yang mengejarku, tapi belum ada yang serius."

"Selama tiga tahun pernikahanku dengan Ardy, dia tidak pernah menyentuhku sama sekali, dia bilang aku ini kotor, sebagai seorang model aku pasti pernah tidur dengan banyak orang. Dia juga bertaruh dengan orang lain, bertaruh dia tidak akan menyentuhku selama lima tahun menikah denganku."

Aku tertawa, merasa seperti kehidupanku ini sedang dipermainkan orang lain. Aku tidak tahu kenapa aku bisa mengatakan hal ini kepadanya, mungkin karena kami adalah teman sekelas, mungkin itu hanya sebuah curahan hati, tapi berujung pada cerita tentang kehidupan tiga tahun pernikahanku kepada Yoga.

Aku menengok ke arah Yoga, dia seperti tenggelam dalam pikirannya, kalau aku tidak mencoleknya, mungkin dia akan tetap terpaku.

"Kenapa?" Aku bertanya.

Dia menggelengkan kepala, "Ardy tidak pernah menyentuhmu, lalu bagaimana bisa kamu hamil?"

Aku tersenyum simpul, "Aku sudah bercerai dengannya, apa mungkin aku harus setia kepadanya?"

"Maksudmu setelah bercerai lalu kamu dengan orang lain?" Ekspresi Yoga mendadak menjadi panik, dia meletakkan tangannya di kedua bahuku, lalu menekannya dengan keras, aku menjadi agak pusing, kemudian aku memegang pelipisku.

"Yoga!" Aku memanggilnya dengan nyaring, dan dia segera melepaskan tangannya.

"Maafkan aku." Yoga tampak merasa sangat bersalah, menarik kembali tangannya, ekspresinya perlahan kembali normal, lalu menggertakan gigi dan berkata: "Aku tidak rela kamu diperlakukan seperti itu, Christine, di hatiku kamu seorang dewi, seorang yang amat suci dan sangat tinggi kedudukannya."

"Dewi?" Mendengar kata-kata Yoga aku merasa senang, "Terima kasih sudah menganggapku sebagai seorang dewi, apa kamu pernah melihat seorang dewi yang kehilangan martabatnya sepertiku?"

"Tidak peduli kamu menjadi seperti apa, di dalam hatiku kamu selamanya adalah seorang dewi dengan martabat tinggi." Tatapan Yoga masih belum beralih.

Aku menatap ke arahnya, seperti ada suatu perasaan yang tidak mampu aku ungkapkan.

Setelah beristirahat dengan cukup, dia membukakan pintu dengan lembut untukku, setelah itu di sepanjang perjalanan, kami kembali menghabiskannya dalam diam.

Sesampainya di kota F, aku segera pergi ke rumah orang tuaku, sepertinya Christopher sudah memberitahu mereka tentang perceraianku, begitu aku melangkah memasuki rumah, mama langsung menyambutku dalam pelukannya. Tapi saat dia melihat Yoga di belakangku, dia tidak lagi berani memarahiku di hadapan orang asing.

Sesampainya di dapur, dia segera menarikku, lalu berkata: "Begitu seorang wanita bercerai, nilai harga dirinya sudah menurun."

"Ma, sudahlah, mungkin penyakit papa mejadi semakin parah karena mendengar omelanmu." Aku menyahut mama dengan tidak sabar, mamaku baik di semua hal, kecuali mulutnya sangat pedas.

"Siapa anak muda di luar itu, dia menyukaimu?" Mama bertanya dengan antusias.

"Yoga itu teman sekelasku, aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya, hubungan kami sangat jelas." Aku memperingati mama, aku takut dia akan salah bicara, mungkin tidak ada maksud apa-apa, tapi itu bisa kembali menumbuhkan harapan kosong di hati Yoga.

Yang mama takuti pasti setelah aku bercerai, tidak akan ada orang yang mau lagi denganku, dia berjalan secepat mungkin keluar dari dapur, lalu mengobrol dengan riang dengan Yoga di teras depan, saat aku berjalan keluar dari dapur, aku melihat senyum yang sangat lebar di wajah mama yang sedang memegang tangan Yoga dan berkata: "Christine ini selalu saja malu-malu, bilang tidak suka itu berarti suka."

"Yosie....." Aku memanggil nama mama dengan tegas, berjalan dengan kesal ke arahnya, "Kamu bicara apa lagi di depan orang lain?"

"Orang lain?" Mama berpura-pura melihat sekelilingnya, "Tidak ada orang lain kok, Yoga kan orang kita sendiri."

"Yoga, sebenarnya aku ingin mengajakmu makan, tapi sepertinya kamu pasti sudah kehilangan selera makan kan, cepat pulang, terima kasih sudah repot-repot mengantarku pulang hari ini." Setelah berbicara, tanpa melihat wajahnya, aku segera mendorong Yoga keluar dari rumah.

Saat berusaha mendorongnya keluar dari rumah, Yoga memegang tanganku dan meletakannya di dadanya, lalu berkata dengan gembira: "Mamamu lucu sekali, dia bilang dia menyukaiku, sepertinya kesanku cukup bagus di depannya."

Aku tertawa garing, "Papaku sudah lama terbaring sakit, mungkin keputusan mamaku jadi agak terganggu, kalau kamu tertarik dengan mamaku, tunggu sampai papaku sudah tiada, kamu baru boleh mengejarnya,"

Kata-kataku sepertinya menggoresnya hatinya dengan sangat dalam dan membuatnya marah, dia mengerutkan dahi dan berkata dengan marah: "Christine, perasaanku ini tulus kepadamu, kenapa kamu terus memutarbalikkan fakta?"

"Yoga, aku benar-benar tidak ingin melukaimu lebih lagi, kamu tahu kenapa aku hamil anak dari pria itu?" Mataku menatap tajam ke arahnya, "Karena aku mencintai pria itu, meskipun pria itu tidak menginginkanku sekalipun, aku tetap ingin melahirkan anaknya."

"Aku paham." Yoga melepaskan tanganku, senyumnya sirna seperti abu tertiup angin, "Kamu masih tidak punya perasaan seperti dulu."

Aku menatap Yoga dengan penuh pertanyaan, lalu menjelaskan dengan suara pelan: "Yoga, kalau aku pernah mengatakan hal yang tidak enak didengar, aku minta maaf sama kamu sekarang, terima kasih kamu sudah mau mengantarku pulang hari ini."

Menghadapi orang yang tidak aku suka, aku selalu seperti ini, menebas dari awal untuk menghindari sakit yang berkepanjangan, tidak membiarkan diriku sendiri terseret dalamnya.

Dan begitulah, aku mengantar Yoga keluar dari rumah, lalu berbalik masuk, setelah masuk mama segera mengomeliku, terus mengatakan kenapa aku tidak berdiskusi dengan mereka soal perceraianku.

Karena duduk terlalu lama di dalam mobil, kepalaku sedikit pusing, aku tidak ingin berdebat dengannya, aku segera menuju ke kamar yang aku tempati sebelum aku menikah, sangat sempit, penuh dengan barang-barang yang berserakan.

Aku berbaring di atas kasur, berusaha menutup mataku untuk tidur, seluruh tubuhku terasa penat. Sakit kepala, dada sesak, bahkan perutku pun terasa sakit seperti saat masa datang bulan.

Berbagai macam hal terbesit di benakku, saat aku terbangun, seluruh tubuhku penuh dengan keringat, aku merasa agak mual seperti ingin muntah. Aku perlahan turun dari kasur dan menuju kamar mandi, karena aku tidak makan apa-apa, jadi tidak ada yang bisa dimuntahkan.

Tiba-tiba aku merasakan sakit yang menusuk di perut bagian bawahku, setelah dari toilet, aku baru menyadari ada darah di celana dalamku, aku sungguh terkejut dan segera kembali ke kamar, lalu melihat ke arah jam dinding, sudah pukul sembilan malam.

Aku berjalan tertatih ke ruang tamu, melihat pintu kamar mama papa sudah tertutup, mereka sudah tidur sejak tadi. Aku tidak ingin membangunkan mereka, dan segera keluar lalu berjalan ke arah jalan raya, memberhentikan sebuah taksi dan segera menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, dokter segera menyuruhku untuk melakukan USG, setelah mendapatkan hasilnya, aku segera bertanya kepada suster yang melakukan USG itu tentang keadaan kehamilanku.

Dia menyuruhku untuk bertanya dengan lebih jelas kepada dokter.

Saat dokter melihat hasil pemeriksaanku, dia bertanya kapan waktu terakhir aku datang bulan, kemudian segera menulis kalau aku mengalami hamil anggur.

Aku menatap dokter dengan penuh tanya: "Apa itu hamil anggur?"

"Menurut jadwal menstruasimu, seharusnya janin ini sudah mempunyai detak jantung dan plasenta, lihatlah, kamu sekarang tidak punya apa-apa, mungkin karena keadaan rahim tidak baik, jadi dia berhenti tumbuh." Aku tidak begitu mengerti apa yang dijelaskan oleh dokter.

"Bisakah dipertahankan?" Aku menatap dokter dengan pandangan memelas, aku sungguh tidak ingin kehilangan anak ini, dia satu-satunya memori hubunganku dengan Jonathan, sedangkan aku tidak sanggup melindunginya.

"Mempertahankannya juga tidak ada gunanya, Nyonya, negara kita menganjurkan eugenika, aku sarankan anda dan suami anda bisa menjaga kesehatan tubuh baik-baik, dengan begitu pasti bisa melahirkan seorang anak yang sehat." Dokter berkata, sambil menutup buku riwayat kesehatanku.

Aku duduk diam, kepedihan memenuhi hatiku, dan air mataku mengalir turun di pipi.

Aku menyalahkan diriku sendiri, dari awal kehamilan hingga sekarang, aku tidak pernah melewati hari dengan bahagia, setiap hari diisi dengan tangisan dan duka, anak ini juga mungkin meninggalkanku karena perasasan-perasaan negatif itu.

"Urus administrasi untuk rawat inap!" Dokter mengembalikan buku riwayat kesehatanku.

Aku menerimanya, dan melangkah dengan gontai, aku mengurus administrasi, dan rumah sakit menyediakan sebuah ranjang untukku. Mereka berkata akan memberikan resep obat keesokan harinya, untuk membersihkan saluran rahim, mereka bilang harus membersihkannya terlebih dahulu, setelah bersih kemudian baru bisa melakukan kuret.

Aku hanya mengangguk datar, dan tanpa sadar mengelus perutku yang datar, air mataku tak berhenti mengalir, di kasur sebelahku, juga ada seorang pasien yang mengalami hal yang sama denganku, pagi ini dia baru di kuret, suaminya saat ini sedang membelikan camilan malam untuknya.

Aku turun dari kasur perlahan, lalu berjalan menuju ke elevator dan pergi ke lanati dasar, tempat parkir rumah sakit sangat luas, aku yang merasa agak kedinginan segera memeluk diriku sendiri untuk mencari kehangatan, aku mendongak menatap bulan bulat yang menggantung di langit hitam, sudah tanggal 15 kah, kalau tidak kenapa bulan sudah sangat bulat?

Saat aku kembali melihat ke depan, dan berencana untuk berputar balik, bayangan Jonathan tiba-tiba muncul di depanku.

Aku memandang ke arahnya sesaat, menaikkan sudut bibirku, dan memalingkan wajah, kemudian dengan cepat berusaha untuk keluar dari pandangannya.

Novel Terkait

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Eternal Love

Eternal Love

Regina Wang
CEO
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu