Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 58 Kelahiran Anak

Aku naik perlahan, kembali ke kamarku, memandangi kamar yang besar itu, aku tahu suasana hatiku saat ini sedang labil, sangat mirip saat aku hamil pertama kali.

Aku duduk di tepi ranjang, perlahan kunaikkan kakiku, untuk berbaring, tidak tahu apa aku menggunakan terlalu banyak tenaga, atau ini pengaruh dari bayi ini.

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu hangat yang mengalir turun dari pahaku, seketika aku merasa bagian bawahku basah.

Aku terkejut, aku melihat ke sekeliling, air ketubanku pecah, bayi ini sepertinya lahir sebelum waktunya.

Aku meraih ponselku, cepat-cepat kutelpon Jonathan, setelah berdering beberapa kali, dia mengangkat.

"Jonathan, aku akan segera melahirkan."

"Bukannya seharusnya belum saatnya?"

"Aku tidak tahu, air ketubanku pecah." Aku ketakutan, aku takut karena kesalahan yang kuperbuat, anak ini akan terluka.

"Aku akan segera kesana." Begitu Jonathan selesai berbicara, dengan cepat kamarku dibuka, dia berjalan, menuju ke tepi ranjang, tangan yang besar itu membelai wajahku, dengan penuh perhatian dia bertanya, "Apa perutmu sakit?"

Aku menggeleng, "Tidak sakit."

Aku mengira setelah air ketuban pecah akan sakit, mungkin karena anak ini akan segera keluar, tapi tidak, selain bagian bawah tubuhku terasa basah, aku tidak merasakan rasa sakit apa pun.

"Mamaku akan segera menyuruh sopir kemari," Jonathan segera menelepon sopir. Ibu Jonathan dari kamar bergegas datang juga.

Saat sopir yang dipanggil tiba di kediaman Chandra, Jonathan sudah menggendongku turun, dengan perlahan dia membaringkan aku di jok belakang mobil.

Kemudian dia bergegas naik dan duduk di jok depan mobil, tapi ibunya malah menghalanginya. Terpisahkan hanya oleh kaca tipis jendela mobil, aku dapat mendengar dengan jelas perkataan ibunya padanya, dia berkata, "Jonathan, kamu jangan pergi, wanita itu mau melahirkan seorang bayi yang tidak jelas, belum lagi kita masih tidak tahu apa bayi itu merupakan keturunan keluarga Chandra, itu semua akan mengundang sebuah tanda tanya besar pada keluarga kita."

Tatapan Jonathan tertuju padaku yang berada di dalam mobil.

Di saat seperti itu, aku sungguh berharap Jonathan dapat menampis semua kata-kata orang dan masuk ke dalam mobil untuk melindungiku. Tapi dia malah menundukkan kepala, berbalik lalu berlari masuk ke dalam rumah lagi, aku benar-benar tidak menyangka.

Ibu Jonathan masuk ke dalam mobil, lalu duduk di bangku penumpang depan, lalu dengan tatapan dingin memandangku, dia berkata, "Melahirkan anak itu bukan sesuatu yang bisa dibesar-besarkan, apa kamu kira dengan melahirkan, Jonathan akan melupakan apa yang sudah kamu lakukan pada nenek? Jangan bermimpi!"

"Bukan aku yang mendorong nenek, aku harus bilang berapa kali?" Aku tak tahan lagi. Kenapa tidak ada orang yang mempercayaiku? Kenapa mereka semua begitu terhadapku?

"Kalian yang menyanding nama Tanjaya semua bukan orang yang baik-baik. Kakakmu sudah menggunakan uang Jonathan berapa miliyar, apa kamu tahu?" Ibu Jonathan memandangku dengan mencibir, "Tipu muslihatmu ini memang kelas kakap, semua anggota keluarga Tanjaya sudah pernah memanfaatkan kekayaan keluarga Chandra. Kalau kalian menginginkan uang, bilang saja di depan, jangan berpura-pura naif, lalu mencuri uang kami!"

Perkataan ibu Jonathan seperti sebilah pisau yang ditikamkan langsung ke dalam dadaku.

Dadaku sesak, sangat sakit, seakan ada sesuatu menyangkut di dalam, menghalangiku untuk bernapas. Hal yang paling aku takutkan terjadi, Christoper akhirnya campur tangan, dan sekali lagi membuatku terlihat seperti sesosok istri matre yang menjijikan.

Mobil perlahan bergerak, aku tidak tahu Jonathan membenciku karena urusannya dengan Christoper atau karena dia masih salah paham mengenai kecelakaan yang terjadi pada nenek.

Saat-saat seperti ini aku sangat membenci diriku sendiri. Sudah tahu Christoper orang yang seperti apa, masih juga menikah dengan Jonathan. Orang seperti aku ini seharusnya tidak menikah seumur hidup, melajang selamanya.

Aku juga tidak menyalahkan Jonathan yang tidak berada di situ menemaniku. Aku seorang yang tidak pantas diberi hati.

Aku diantar menuju ke bagian ginekologi di lantai empat RSUD, karena air ketubanku sudah pecah, aku tidak mungkin seperti ibu-ibu hamil pada umumnya, bisa berjalan kesana kemari sendiri.

Kalau aku berdiri, karena air ketuban sudah hampir mengalir keluar semua, akan menyebabkan bayi kekurangan oksigen. Maka aku diharuskan untuk terus berbaring, dengan bantal di bawah kakiku supaya air ketuban tidak terus keluar.

Ibu Jonathan terus mengawasiku dengan pandangan dingin, dia sedang menunggu, menanti apakah bayi ini memiliki tanda-tanda keturunan Chandra atau tidak.

Sedangkan aku, hatiku seakan mati rasa dalam penantian itu. Setelah aku terbaring kurang lebih 18 jam lamanya, aku baru merasakan kesakitan

Aku menggigit bibir bawahku, jariku membiru karena cengkeraman tanganku di selimut yang begitu kuat. Tidak ada orang di situ untuk menenangkanku, aku merasakan sakit yang luar biasa sampai aku berpikir untuk mati saja. Aku membayangkan mungkin aku tidak cukup kuat untuk melahirkan anak ini dan dengannya bersama meninggalkan dunia yang rumit ini.

Toh Jonathan juga sudah tidak peduli denganku, aku juga sudah tidak ingin pulang ke rumah orang tuaku, di dunia yang begitu besar ini, aku tidak punya tujuan hidup apapun, lebih baik mati saja.

Hidup enggan, mati pun tidak, seperti itulah kira-kira rasa sakit yang sedang aku alami selama 10 jam terakhir ini. Aku seolah benar-benar merasakan berjalan-jalan di neraka jahanam.

Tak lama, terdengar sayup-sayup suara tangisan bayi, seorang dokter berdiri di dekatku sambil menggendong sesosok makhluk kecil. Dia menunjukan padaku jenis kelamin anak yang baru saja aku lahirkan ke dunia ini, dia bertanya, "Laki-laki atau perempuan?"

Seluruh tubuhku tak bertenaga, bulir-bulir keringat membasahi setiap senti tubuhku, pandanganku kabur, dengan napas yang masih memburu aku menjawab, "Perempuan."

"Baiklah, sebentar lagi kami akan memberi bayimu ASI, itu akan membuat bayimu mengingat rasa ibunya untuk pertama kali." Setelah berkata demikian dokter itu menyerahkan bayiku pada perawat di sebelahnya.

Perawat itu menggantungkan papan nama yang masih kosong di bagian kaki bayiku, lalu membelainya dengan lembut.

Aku menutup mata dengan lemah, aku merasa tubuhku dingin.

Ketika ari-arinya sudah keluar, dokter itu terkejut, "Ari-arinya tidak lengkap."

Aku tidak tahu apa maksud perkataannya, aku hanya tahu aku merasa kedinginan, badanku terasa lemas, kelopak mataku terasa berat, aku sangat ingin memandangi wajah bayiku, tapi pandanganku semakin lama semakin kabur, aku akhirnya menutup mataku.

Aku akhirnya bisa beristirahat, aku tertidur lama sekali.

Ketika aku terbangun, aku sudah tidak lagi berada di ruang bersalin. Aku memandang sekeliling dengan lelah, mencari buah hatiku, tapi keranjang bayi di sebelahku kosong.

Aku terkejut, aku berusaha untuk bangkit berdiri, tapi kakiku tidak bertenaga. Badanku gemetar menahan sakit, aku menyibakkan selimut, badanku gemetar dari ujung kepala hingga ujung kaki, nafasku tersengal-sengal karena kesakitan.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kaki menuju ke keranjang bayi, tapi kakiku seakan terbuat dari karet, tak bertenaga, tidak bisa digerakkan, aku terjatuh berulang kali.

Aku ingin memandangi buah hatiku, siapa yang membawa pergi anakku?

Apa ibu Jonathan yang membawanya? Apa dia membawanya untuk tes DNA? Setelah itu baru membawanya kembali kesini.

Aku terduduk di lantai, lemas tak bertenaga, aku tidak sanggup untuk bangkit berdiri.

Kira-kira setelah setengah jam terduduk di situ, pintu ruang rawat terbuka, seorang perawat masuk berpatroli. Begitu dia melihatku, dia terkejut, lalu memanggil dua orang lain untuk memapahku kembali ke ranjang.

Aku menarik tangan salah seorang perawat itu, lalu bertanya, "Di mana anakku?"

"Anakmu dibawa pergi oleh neneknya." Jawaban perawat itu membuatku tersenyum kosong.

Ternyata benar ibu Jonathan yang membawanya pergi, anak yang kudatangkan ke dunia ini dengan susah payah, dia dengan mudahnya membawanya pergi, tanpa meminta ijin dariku.

Air mata mulai menggenangi sudut mata, aku memejamkan mata, butir demi butir air mata itu jatuh perlahan.

"Kamu mengalami pendarahan hebat selama persalinan, kalau bukan karena pertolongan dari suamimu, bisa-bisa kamu tidak terselamatkan." Perkataan perawat itu membuatku yang tadinya bersedih kembali membuka mata.

Jonathan datang?

"Kalian ini benar-benar sepasang suami istri yang serasi, bahkan golongan darahnya pun sama, rhesusnya juga." Setelah berkata demikian, perawat itu beranjak pergi. Tapi aku menarik tangannya.

"Suamiku. Suamiku di mana sekarang?" Hatiku mulai berbahagia, Jonathan datang, dia menyelamatkanku. Dia juga sudah bertemu dengan anaknya, kalau begitu dia sekarang di mana?

Perawat itu menggelengkan kepala, "Tidak tahu, bagaimana kalau hubungi langsung suamimu? Oh iya, mertuamu tadi menyuruh Bi Ema untuk mengurusmu. Dia sekarang sedang pulang, mungkin memasak sesuatu untukmu."

Jonathan datang, tapi kenapa dia tidak berada disini menemaniku?

Beberapa hari di rumah sakit, anakku belum juga di kembalikan ke sisiku, bibi Ema walaupun mengurusku dengan penuh perhatian, tapi aku masih tidak bisa terima. Aku ingin segera keluar dari rumah sakit, aku tidak peduli dengan semuanya, yang aku mau hanya keluar dari rumah sakit ini, Bibi Ema tidak mampu membujukku, akhirnya dia hanya bisa menemaniku pulang ke kediaman Chandra.

Aku mengira aku bisa berjumpa dengan buah hatiku saat aku tiba di kediaman Chandra, tapi ternyata anakku tidak ada di situ.

Aku naik ke atas, menuju ke kamarku, mencari-cari ponselku, baterainya habis.

Aku sambil mengisi ulang daya, menelepon Jonathan, tidak peduli apa bisa membuat ponselku meledak.

Setelah berdering beberapa kali, dia mengangkatnya.

Aku sudah lepas kendali langsung bertanya, "Di mana anakku?"

"Mama sudah sampai di luar negeri." Jonathan berkata tanpa ekspresi.

Emosiku meledak tiba-tiba, "Jonathan! Apa kamu menghendaki aku agar selamanya tidak bisa bertemu dengan anak perempuanku?"

Tidak terdengar suara dari seberang telepon.

"Apa kamu mengira aku yang mencelakai nenek? Katakan sejujurnya. Aku Christine, tidak sanggup menanggung rasa ini, hari ini kita saling terbuka, apa kamu ingin bercerai denganku?"

Di seberang telepon masih hening tidak terdengar suara.

"Apa kamu tuli?" Aku berteriak, "Kamu cepat pulang ke rumah, kalau tidak, aku akan lompat dari lantai dua, aku akan menyusul nenekmu. Aku beri kamu setengah jam, kalau kamu masih tidak pulang, kamu akan melihatku di dalam kantong jenasah!"

Angin sepoi-sepoi perlahan berhembus ke wajahku, mengacak-acak rambutku, membelai-belai mataku, membuatnya memerah.

Bi Ema datang membawakan sup, melihatku sedang diterpa angin, dia berteriak, "Nyonya Chandra, masuklah, Nyonya bisa sakit kalau terus-terus terkena angin."

Dia meletakkan sup, dia akan naik, tapi digagalkan oleh ancamanku. "Kalau bibi maju, aku akan lompat."

"Baiklah baiklah, aku tidak akan kesana, nyonya jangan berpikiran sempit. Banyak ibu-ibu setelah melahirkan, tidak terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya, dan juga tanggung jawab yang lebih besar, tapi ini semua bisa diatasi perlahan...." Perkataan Bi Ema belum selesai, aku sudah memotongnya.

"Aku tidak bisa menerima sakitnya melahirkan seorang anak ke dunia ini." Aku tahu Bi Ema tidak akan mengerti apa yang aku maksudkan. Kewajiban dia hanya merawatku, dia pastinya tidak mengerti apa yang aku rasakan, dia hanya berasumsi yang aku sedang alami ini seperti yang dialami ibu-ibu muda lainnya.

Semua itu tidak ada gunanya, aku hanya menginginkan anakku, apa dia mampu memberikanku itu?

Dia tidak mampu, hanya Jonathan yang mampu.

Aku dengan sebisaku memaksanya, kalau tidak dia tidak akan mengabulkan permintaanku.

Mobil Jonathan memasuki kediaman Chandra, dia dengan cepat naik ke lantai dua dan menuju ke kamar, lalu berdiri di belakangku, memanggil namaku, "Christine...."

Aku menoleh, memandangnya dalam kepedihan, terukir sebuah senyum di bibirku, "Jonathan, apa kamu akhirnya bersedia pulang untuk menjumpaiku?"

"Kamu baru saja melahirkan, tidak boleh terkena angin."

Begitu mendengarnya, aku tertawa sinis, "Aku tidak tahu ternyata kamu masih bisa juga peduli denganku."

Novel Terkait

You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu

Summer
Romantis
5 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
4 tahun yang lalu