Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 122 Dengan Mudah Berkata Cerai (1)

Pak Michael hendak pergi ketika Jonathan tanpa kejelasan menonjoknya. Pak Michael yang tampak elegan pun dipukul sampai hidungnya berdarah.

Kalau bukan karena kutarik, ia pasti akan masuk rumah sakit.

Aku menahan tangan Jonathan dan menyuruh Pak Michael segera pergi.

Setelah melihat Pak Michael masuk ke mobilnya dan pergi dengan aman, aku melepaskan tanganku. Dengan amarah meluap-luap aku memakinya, "Apa sudah cukup gilamu?" Saat itu, Beatrice dalam pelukanku telah ketakutan sampai menangis keras-keras.

"Marga Mo, kau masih mengotot untuk berkata dusta?" sindir Jonathan sambil melotot menahan amarah, "Apa kau berani bilang si melambai itu bukan laki-laki normal?"

Aku mendongak menatap matanya dan berkata setelah menenangkan emosiku, "Pak Michael memang laki-laki normal, dia laki-laki yang baik, yang berperasaan, yang hanya mencintai seorang wanita seumur hidupnya."

Aku sudah marah sampai tak bisa berbicara dengan logis. Aku jelas tahu kalau Vivian ada di dalam kantornya, sampai harus menahan seluruh amarahku dan pergi. Pak Michael hanya sedang menenangkan aku dengan menepuk-nepuk punggungku. Dan Jonathan menonjoknya sampai hampir membuatnya harus operasi plastik.

"Laki-laki baik? Kamu sudah jatuh hati pada laki-laki tua itu?" Jonathan mengangkat alisnya, tertawa mengejek. Ia mengamatiku dari atas sampai bawah dengan pandangan merendahkan.

"Kenapa kalau suka? Kamu mau ribut denganku, aku temani," Aku sudah tak takut lagi, "Kau pindah ke kantor karena ingin berpisah denganku, 'kan? Baiklah, sesuai keinginanmu. Kau punya Vivian, aku punya Pak Michael. Kita semua melewatinya dengan sangat baik, semuanya punya hubungan dekat."

"Apa kau berkata sungguh-sungguh?" Jonathan memelototiku.

"Ya, sungguhan sampai tak bisa lebih sungguh lagi. Apa kau puas?" Kepalaku memanas. Mengingat-ingat segala kelonggaranku dulu, aku sudah tak bisa tenang lagi

Kenapa setiap kali dia marah, aku harus menunduk duluan?

Aku adalah seorang wanita. Aku butuh Jonathan untuk memerhatikan dan mencintaiku, serta setia pada pernikahan ini, apa aku salah?

Aku rela berkorban 100% untuk cinta kami, rumah tangga dan anak kami, tapi Jonathan, dalam kedalaman hatinya mungkin tak menganggapku sebanding dengan Vivian.

"Marga Mo, kau cukup kejam," kata Jonathan dingin.

"Marga Yi, matamu sudah tertutup tahi anjing," aku menggunakan kata-kata yang tidak elegan itu seperti wanita tak berpendidikan. Aku sudah memutus urat maluku. Persetan dengan kata-kata sopan atau wanita elegan.

"Katakan sekali lagi," Jonathan marah karena perkataanku barusan.

"Aku tidak mengatakannya. Wanita yang baik tidak berdebat dengan pria kejam. Kau mau mendengarnya untuk kali kedua, tapi aku tidak mau," kataku lalu masuk ke kantor sambil menggendong Beatrice. Jonathan mengikutiku dari belakang.

"Christine, apa kau mau bercerai denganku?" Begitu Jonathan mengucapkan kata ini, aku langsung berhenti. Dia hampir saja bersandar padaku.

Aku terpaku lama sekali, lalu membalik badan. Mata merahku menyambut sorot mata Jonathan, "Kau sudah lama menahannya, ya? Kata ini pasti sudah ingin kau ucapkan sejak lama, 'kan?"

Jonathan terhenyak. Ia mundur beberapa langkah untuk membuat jarak denganku.

"Kalau kamu ingin menyerah, silakan, aku mengabulkan keinginanmu." Aku menoleh dengan sakit hati. Aku tak pernah membayangkan kata cerai akan keluar dari mulut Jonathan.

Ternyata kata-kata ini sangat menyakitkan. Kami tak pernah bertengkar hebat, bahkan aku bisa melewati hari-hari dengan membuka satu mata sambil menutup yang lain, menunduk mengakui kesalahanku, tapi dia dengan mudahnya mengucapkan kata ini.

"Ternyata benar..." Jonathan tersenyum tipis.

"Jonathan Yi, aku, Christine, di hatimu sekarang, apakah sudah kau jatuhi hukuman mati?" Aku menenangkan Beatrice dalam dekapanku, tidak ingin melanjutkan pertengkaran ini dengan Jonathan. Aku takut tak bisa menahan diri dan menyumpah-serapahinya.

Aku melihatnya mendesah, "Aku sudah lelah," katanya.

"Benar, kita berdua sudah lelah. Jauh lebih santai saat kita sendiri," kataku pura-pura tak peduli, "Kapan saja kau mau aku tanda tangan, beritahu aku."

"Kau sudah tak sabar," katanya tertawa dingin.

Aku mengangguk, "Kita."

Aku berbalik dan memeluk erat Beatrice. Aku menyesali kata-kataku barusan. Kenapa aku harus mengatakannya? Semuanya mungkin akan baik-baik saja kalau aku mengakui kesalahan dan menjelaskan kesalahpahaman ini.

Otakku berpikir demikian, tapi tubuhku tak mampu bergerak. Aku terus berjalan ke arah kantor.

Begitu pintu ditutup, aku langsung berbalik badan. Aku bicara dengan diriku sendiri, kalau Jonathan masih berdiri di belakangku dan menungguku, maka aku akan berinisiatif mengakui kesalahan dan menarik semua kata-kataku barusan.

Saat aku menoleh, aku kecewa. Dia sudah pergi. Aku hanya melihat bayangannya saja.

Di mata Jonathan, satu demi satu keganjilanku, satu demi satu keributanku yang tanpa sebab, perlahan telah membuatnya melihatku sebagai wanita yang menakutkan.

Setelah membuka kantor, karier dan keluarga kadang memang tak sempat terurus. Terlebih ketidakpatuhanku, pulang membawa anak, satu demi satu masalah kecil terkumpul menjadi satu demi satu pertengkaran. Sekalipun suatu masalah yang amat kecil, tapi kami bisa marah satu sama lain, berdebat, bahkan dibuat perang dingin karenanya.

Novel Terkait

Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
5 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu