Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 54 Air Mata yang Terlalu Banyak

Frederik menatapku, senyumannya yang ramah mulai merekah, dia menunjuk aku dan berkata, "Aku mengingatmu, namamu Christine, mantan istri Ardy."

Perkataan dia diikuti dengan tawa, aku menatapnya dengan canggung, sambil memaksakan senyum. Aku ingat saat Jonathan mengenalkanku, dia mengenalkan aku sebagai pacarnya, dia mengingatnya samar-samar.

Jonathan tidak menyangka aku akan datang, dia menemani Frederik turun menggunakan lift, lalu dengan cepat kembali.

Dia menarik aku masuk ke ruangannya, lalu menutup pintu, bertanya dengan tidak senang, "Kenapa kamu datang kesini?"

Aku mengernyitkan dahi, kenapa aku tidak boleh datang, tidak boleh bertemu dengan orang-orang, atau karena aku datang tanpa memberitahu terlebih dulu, menyusahkannya?

"Kamu tidak senang aku datang?" Aku bertanya.

"Kamu sekarang sedang hamil, sebaiknya berada di rumah, tidak boleh keluar-keluar." Jawaban Jonathan itu tidak berhasil membuatku melunak.

"Kamu ini betul-betul perhatian denganku, atau khawatir kehadiranku di sini membuatmu malu?" Aku tertawa sinis, "Dalam hati kamu mencari alasan agar bisa melakukan tes DNA kan?"

Sinar mata Jonathan meredup, "Christine, bisakah kamu tidak berburuk sangka terhadap semua orang? Aku tidak pernah memiliki pikiran seperti itu."

"Ada." Aku berteriak, "Aku mendengar semua percakapanmu dengan nenekmu, kamu tidak menyangkal nenek, itu berarti dalam hati kamu juga memiliki pikiran itu. Jonathan, apa kamu bahkan tidak punya keberanian untuk berbicara jujur?"

Aku sudah lepas kendali, suasana hatiku sudah tidak lagi mampu untuk menahan semua emosi terpendamku, mataku yang sudah basah dengan air mata menatap Jonathan.

"Mencuri dengar percakapan orang lain itu bukan kebiasaan yang baik, apa kamu paham?" Jonathan mengingatkanku dengan suara lembut.

"Aku tidak mencuri dengar, tapi tidak sengaja mendengarnya." Aku membantah pernyataannya, ketika dia dan neneknya sedang berbincang, kenapa tidak menutup pintu rapat-rapat.

"Baiklah, Christine, jangan membahas soal tes DNA lagi, aku hari ini sangat sibuk, kamu sebaiknya pulang ke rumah dulu, nanti malam kita bicarakan lagi." Setelah berkata demikian, dia membalikan badan dan duduk di kursi kerjanya lagi, meraih sebuah dokumen lalu kembali bekerja.

Aku seperti seseorang yang tak terlihat berdiri di situ, kenapa perasaan diacuhkan seorang Jonathan begitu sakit?

Apa dia membenciku? Atau hatinya sudah menyerah denganku?

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya, dia menggunakan alasan sedang sibuk untuk mengusirku.

Aku tetap berdiri di situ dalam diam, sedikitpun tak bergeming, mengawasi gerak-geriknya. Aku benar-benar ingin mendengarkan jawaban dia yang jujur, bahkan kalau dia berkata dia membenciku, setidaknya itu jujur.

Beberapa saat kemudian, Jonathan baru mengangkat kepala, melihatku, lalu bangkit berdiri, mendekat, menatapku dalam-dalam, tangannya yang besar itu membelai wajahku yang kecil, dia berkata, "Christine, dua hari ini aku benar-benar sangat sibuk, perusahaan akan mengadakan sebuah acara yang besar, banyak sekali yang harus dilakukan untuk persiapannya, kalau kamu merasa bosan di rumah, kamu bisa membaca buku atau menonton TV."

"Yang aku mau hanya perhatianmu!" Bibirku bergetar pelan, kutatap Jonathan dengan kedua mataku yang basah itu, aku tidak mengerti kenapa suasana hatiku bisa begitu kacau, mungkin juga karena kehamilanku.

Aku berusaha mencari-cari alasan yang masuk akal atas semua tindakanku.

"Begini saja, kamu berbaring di sofa itu, setelah aku menyelesaikan ini, aku akan membawamu bertemu dengan seorang teman." Suara Jonathan sangat lembut, khawatir akan membuat suasana hatiku makin parah.

Aku mengangguk.

Aku duduk di sofa itu, berbaring disana, tidak terasa kemudian tertidur. Ketika aku terbangun, jas Jonathan menyelimutiku, di sebelahku ada sebuah cangkir, aku membuka tutupnya perlahan, di dalamnya ada sup baikut yang masih panas.

"Kamu sudah bangun?" Jonathan meletakkan penanya, bangkit berdiri dan membelai kepalaku, "Tadi kamu terus menggigau, terus berteriak minta tolong."

"Minta tolong?" Aku dengan bingung bertanya pada diriku sendiri, aku bermimpi apa, aku sendiri tidak ingat.

"Makan dulu, setelah itu aku akan membawamu pergi ke temanku." Jonathan menunggu di sampingku. Aku menghabiskan sup secepat yang aku bisa, aku sudah tidak sabar menemui teman penting yang sudah Jonathan katakan berulang kali itu.

Setelah mengendarai mobil beberapa saat, kami tiba di depan sebuah rumah putih bertingkat.

Setelah mobil berhenti, Jonathan membukakan pintu, lalu menggandeng tanganku, perlahan berjalan masuk, aku akan segera bertemu dengan teman Jonathan, seorang lelaki paruh baya, yang mengenakan kacamata hitam, di wajahnya terukir senyuman.

Jonathan melangkah maju, setelah bersalaman dengannya, dia menyuruhku maju.

Aku maju perlahan, mengangguk, lelaki paruh baya itu menyuruhku masuk ke dalam. Ornamen ruangan itu sangat sederhana, sebuah ranjang kecil, meja, di sebelahnya ada sebuah rak buku, di atasnya ada banyak buku yang tebal.

Aku masuk, melihat ke sekeliling, lalu bertanya, "Apa ini ruang baca?"

Begitu pintu ditutup, Jonathan seakan berada di luar, dikucilkan, hanya ada aku dan lelaki paruh baya itu. Aku menatapnya dengan bingung. Dia sebaliknya tertawa dan berkata, "Nyonya jangan takut, aku teman Bapak Jonathan."

Aku mengangguk, "Aku tahu."

"Nyonya belakangan ini tidurnya tidak nyenyak, ada sebuah ketegangan, atau dengan kata lain, Nyonya merasa hidup Nyonya sedang dalam masa transisi besar-besaran."

Aku menatapnya dengan bingung, lalu bertanya, "Apa anda ini seorang psikiater?"

Orang itu menaikkan kacamatanya, lalu menjawab, "Bisa dikatakan demikian."

"Apa maksudmu berkata demikian? Kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak, apa kamu merasa aku sakit jiwa, mau mengobatiku?" Suasana hatiku mulai berkecamuk lagi, segala sesuatu mulai kacau.

"Bukan bukan bukan, bukan sakit jiwa, ini fenomena ibu hamil. Ini semua disebabkan oleh kehamilanmu. Tubuhmu jadi peka terhadap segala macam stimulasi, mungkin juga karena ketakutan akan bayangan sakitnya melahirkan, atau...."

Aku tidak menunggu psikiater itu menyelesaikan kata-katanya, aku melangkah maju untuk membuka pintu, lalu berlari keluar, kebetulan Jonathan juga masih menungguku disana.

Ketika dia melihatku keluar, dia bengong, dengan segera menghalangiku, lalu bertanya, "Ada apa?"

Aku menghentikan langkahku, menatapnya dengan penuh kebencian, lalu berkata, "Kamu kira aku sakit jiwa, iya!?"

Aku dipeluknya dengan erat, aku meronta, tapi perjuanganku sia-sia, dia akhirnya berhasil menenangkanku.

Aku tidak bisa memahami Jonathan, kenapa dia membawaku bertemu dengan seorang psikiater?

Aku berhenti meronta di dalam pelukannya, menatapnya dengan putus asa, "Jonathan, apa kamu sudah mulai membenciku?"

"Christine, yang kamu perlukan sekarang adalah mendengarkan semua arahan dari dokter, berusaha meringankan tekanan-tekanan dalam hidupmu." Jonathan dengan tenang menjawabku, tapi aku tidak mendengarkannya.

Aku sangat normal, aku sendiri tahu dengan jelas mengenai keadaanku, kenapa aku harus bertemu dengan psikiater?

"Dalam hatimu, aku tahu kamu masih merasa ada yang salah denganku." Aku menggunakan kesempatan Jonathan tidak memperhatikanku itu untuk mendorongnya dan kabur darinya.

Jonathan mengejarku, aku tidak tahu dapat kekuatan dari mana, dengan bayi di perutku yang sudah berusia lima bulan itu. Aku merasa sangat sedih.

Sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahku, ketika aku menyadarinya, aku hanya berdiri tercengang di situ, kakiku seakan kehilangan kekuatannya untuk melangkah, ketika mobil itu berhasil berhenti, aku hanya berjarak kira-kira 20cm dengannya. Kalau pengendara mobil itu terlambat sedetik untuk mengerem, tentu aku sudah tertabrak.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau mobil itu tidak berhasil berhenti.

Sopir mobil itu mengeluarkan kepala dan memaki, "Tidak punya mata ya? Kalau sudah bosan hidup jangan merepotkan orang lain!!"

Aku memandang Jonathan dengan lemas, tubuhku masih gemetar, aku memeluk bayi dalam perutku dengan erat, lalu menangis sejadi-jadinya, "Jonathan, aku tidak gila, aku tidak gila...."

Aku terus mengulang kata-kataku itu, aku takut dia tidak mendengarnya.

"Aku tahu." Jonathan mendekapku, "Tadi kalau kamu sampai tertabrak mobil, apa yang akan terjadi denganku?"

Setelah keramaian dari kejadian barusan selesai, di dalam mobil yang dikendarai oleh Jonathan, dia dengan kesal meletakkan sikunya di jendela, sembari memegang dahinya.

Aku duduk dalam diam, segala sesuatu yang baru saja terjadi, aku sadar aku terlalu berlebihan, kalau saja mobil itu melaju lebih kencang lagi, mungkin aku dan bayi ini sudah pergi meninggalkan dunia fana ini.

"Maafkan aku." Aku akhirnya meminta maaf kepada Joanthan.

Aku seperti ini sebenarnya juga termasuk normal. Di luar sana banyak sekali wanita hamil, juga yang sudah melahirkan, stres karena terlalu banyak pikiran.

Aku tahu aku seperti ini, semua karena persoalan tes DNA, kalau Jonathan sudah tidak menginginkanku, dia boleh langsung berterus terang, tidak perlu mencari psikiater untukku.

Jonathan menengok, lalu menjulurkan tangannya yang besar itu untuk membelai rambutku, dia berkata, "Christine, lain kali jangan lakukan sesuatu yang membuatku khawatir."

Aku mengangguk dengan patuh, "Aku berjanji."

Jonathan mengantarku pulang ke kediaman Chandra, lalu mengantarku kembali ke kamar, melihatku naik ke ranjang, aku seperti seorang anak kecil menarik tangannya dan menaruhnya di atas wajahku, dan berkata, "Jonathan, yang aku mau hanya seorang suami yang mencintaiku dan peduli denganku."

"Aku tahu." Dia menjawab dengan lugas.

"Aku tidak peduli kaya atau miskin, aku tidak akan menyerah." Aku berkata dengan penuh kepedihan, aku bisa merasakan tangan Jonathan membelai-belai dengan lembut.

Dia berbalik, mengecupku di kening, "Jangan banyak pikiran, tidurlah, aku akan menyuruh Bi Inem memasakan sesuatu untukmu."

Aku mengangguk, lalu memejamkan mata, ada Jonathan di sampingku, aku merasa sangat aman, dengan cepat aku terlelap.

Ketika aku terbangun, hari sudah gelap, aku mengira Jonathan akan pergi lagi ke kantor setelah aku tertidur, tapi tak kusangka dia ternyata terus menggenggam tanganku, menemaniku tidur.

Suasana di kamar gelap, remang-remang, tapi aku bisa dengan jelas melihat bayangannya.

Aku dengan lembut membelai wajahnya, tapi malah membangunkannya, dia memberiku senyum, lalu bertanya, "Sudah bangun?"

"Kamu tidak pergi ke kantor?" Aku menatapnya dan bertanya.

"Bagiku urusan kantor tidak sepenting kamu." Mendengarnya berkata demikian, air mataku kembali jatuh. Dia menggunakan tangan besarnya untuk menghapus air mataku, lalu bertanya dengan bingung, "Ada apa lagi?"

Aku menggeleng, "Aku bahagia."

Wanita memang seperti itu, sedih menangis, bahagia pun juga menangis. Aku akhirnya percaya peribahasa kuno mengenai wanita yang terbuat dari air, aku ini pasti terbuat dari air, air mataku terlalu banyak.

Novel Terkait

Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
5 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
4 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu