Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 29 Tidak Bisa Memilikinya

Jonathan berjalan mendekat dan menghentikan langkahku.

"Kenapa kamu bisa disini?" tanyanya sambil menatapku dengan dingin. Aku menundukkan kepalaku, aku tidak memiliki keberanian untuk memandangnya, aku ingin dia cepat-cepat melepaskan tangannya dariku. Aku tidak ingin terlihat seperti orang menyedihkan yang muncul di hadapannya.

"Jonathan, siapa disana?" Nenek Jonathan muncul, berjalan kemari dengan bantuan seorang wanita paruh baya. Ketika dia melihatku, ada perubahan drastis di raut wajahnya.

"Siapa perempuan ini?" Nenek Jonathan berpura-pura tidak mengenalku, sudut matanya memicing, menatapku dengan tajam selama beberapa saat sampai dia memalingkan wajahnya dariku, mungkin dia takut terlihat orang lain.

"Tidak kenal, salah orang." ujar Jonathan sembari melepaskan pegangannya dariku. Kata-katanya terasa begitu menyakitkan di hati, sampai-sampai aku tidak bisa bernafas. Tiba-tiba, aku merasakan sakit di pelipisku, aku berjalan menjauh dari Jonathan.

Jonathan membawa neneknya kembali masuk ke rumah sakit, Melihat bayangan tubuhnya dari belakang, aku tak kuasa menahan air mataku, aku hanya bisa menangis dalam kesepian ini, perasaanku seperti mati rasa.

Aku akhirnya mengerti mengapa anak itu meninggalkanku, karena perasaan cinta Jonathan padaku sudah berakhir.

Aku berusaha menghibur diriku sendiri, aku sampai dibuat tersenyum pahit olehnya. Pikirku, tidak ada yang perlu ditangisi, bukankah seperti ini lebih baik? Mulai seterusnya, kami akan menjalani kehidupan kami masing-masing, tidak akan ada lagi pertengkaran diantara kita.

Meskipun aku berpikir seperti ini, hatiku terasa sakit bukan main.

Sekembalinya aku ke kamar, aku melihat pesan yang dikirim oleh Jonathan. Dia memintaku untuk pergi ke atap untuk menemuinya, sekarang juga.

Aku melirik waktu yang tertera di layar ponselku, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam.

Lampu-lampu di kamar sudah dimatikan, lampu-lampu di koridor yang membimbingku berjalan, aku perlahan menaiki tangga dan sampai di atap,

Suasana di atap terasa suram dan gelap, hanya terlihat cahaya dari lampu-lampu jalanan nun jauh disana.

Aku dengan hati-hati berjalan mengelilingi atap, menertawakan kebodohanku sendiri. Untuk apa aku mendengarkannya? Pergi ke atap tengah malam begini, kalau tidak hati-hati pasti jatuh. Bisa-bisa besok ada berita tentang seorang model yang bunuh diri karena tidak tahan dengan segala kepahitan hidupnya dan tidak kuat menghadapi perceraian.

Aku melihat sekelilingku, angin malam terasa menusuk di tulang. Aku menyilangkan lengan di tubuhku agar terasa hangat.

Tiba-tiba, seseorang memelukku dari belakang. Aku merasa hangat, aku tahu siapa orang itu, Jonathan...... Wangi parfumnya yang begitu khas terasa familiar di hidungku.

Wajahnya begitu dekat dengan telingaku. Aku mendengarnya berbisik : "Kembalilah ke sisiku."

Aku tidak dapat berkata apa-apa, perasaanku campur aduk tidak karuan. Bagaimana dengan kata-kata menyakitkan tadi? Aku tidak berusaha melepaskan pelukannya, aku membiarkannya memelukku dengan tenang. Aku ingin kehangatan ini bertahan sebentar lagi...

Aku merasa, Tuhan sepertinya sedang mengujiku. Untuk apa dia mempertemukanku kembali dengan Jonathan di rumah sakit ini?

"Kenapa diam saja?" ujar Jonathan dengan dingin, dia melepaskan pelukannya. Dia menunduk dan menatapku.

Rambutku terlihat acak-acakan tertiup angin, Jonathan membantu merapikan rambutku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajahnya, dia tersenyum tipis, lalu berkata : "Kebetulan sekali. Aku tanya, kenapa kamu berada di sini? Sakit?"

"Tidak." jawabku sembari menggelengkan kepala.

"Kamu selalu saja menyembunyikan masalah dariku." ujar Jonathan. Dia melepaskanku dan dengan marah membalikkan badannya. Aku berdiri mematung, menatap punggungnya yang lebar.

"Kamu sendiri kenapa disini? Nenekmu sakit?" mendengar pertanyaanku, Jonathan berbalik dan menatapku dengan pandangan keheranan.

"Bagaimana kamu bisa mengetahui nenekku? Sepertinya aku belum pernah mengenalkannya padamu. Kamu sudah pernah bertemu dengan nenekku?"

Kata-kata Jonathan membuatku tidak habis pikir. Aku memang bodoh. Aku selalu berhati-hati di hadapannya, tetapi selalu ada celah. Rasanya aku ingin mengubur diriku saja.

"Tidak, tidak. Orang tua dibawah itu tadi nenekmu kah? Aku hanya menebak-nebak." jawabku.

"Oh ya? Kalau begitu, coba tebak apa isi hatiku sekarang?"

Aku diam-diam menatapnya, dia berjalan perlahan mendekatiku, aku pun mundur perlahan, kemudian aku terjatuh karena lantai semen yang tidak rata. Jonathan dengan sigap menangkapku.

Aku memang menginginkan pelukannya, aku ingin menangis di pelukannya mengingat betapa sakitnya luka yang ditinggalkan setelah kehilangan bayi itu, tetapi semua kata-kata itu cukup kusimpan di hati.

"Aku mau turun." kataku sembari berusaha melepaskan tangannya di pergelangan tanganku, Jonathan menatapku lekat-lekat.

"Apa yang sedang kamu sembunyikan?" tanya Jonathan dengan curiga, tatapannya tajam.

"Tidak ada yang kusembunyikan. Aku tidak menyukaimu, puas?"

"Lalu kenapa masih mau menemuiku disini?" Jonathan semakin keras mencengkeram pergelangan tanganku.

"Itu......" Jawabanku yang sebenarnya adalah: aku ingin menemuinya. Tetapi aku tidak bisa mengatakannya.

"Karena aku takut ada yang mau lompat ke bawah, Malam ini anginnya kencang sekali, bisa-bisa ada yang tertiup angin lalu dicurigai bunuh diri. Kamu ini presiden PT. Weiss, jangan datang ke tempat seperti ini lagi." lanjutku mencari-cari alasan.

"Sepertinya aku belum cukup mengerti perempuan, apalagi perempuan sepertimu." ujar Jonathan sembari tersenyum dingin.

Mulutku terkunci rapat, aku tidak dapat berkata-kata lagi. Melihat senyumannya, melihat bayangan tubuhnya, air mataku mengalir, namun angin sudah menghapusnya sebelum air mataku jatuh.

Aku turun dan kembali ke kamar. Malam itu, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku terus mengingat Jonathan......Wajahnya, senyumannya, kata-kata terakhirnya......

Keesokan harinya, pagi hari.

Aku mengangkat telepon dari mama, dia menanyakan keberadaanku. Aku tahu aku tidak bisa membohonginya, aku langsung memberitahunya kalau aku sedang di rumah sakit.

Mendengar aku di rumah sakit, mama langsung naik motor menuju kesini. Dia membawakanku bubur dan beberapa sayur-sayuran untukku. Tetapi, begitu dia mendengar kata dokter kalau aku hamil anggur, emosi mama langsung tidak terkendali.

Mama menunjuk-nunjuk kepalaku, aku dimaki habis-habisan olehnya. Dia bilang ingin menuntut pertanggung jawaban Ardy, serta menuntut biaya rumah sakit. Setelah kuberi tahu kalau anak ini bukan anak Ardy, baru dia tenang.

"Anak siapa ini? Tidak mungkin tiba-tiba jatuh dari langit kan?" tanya mama sambil menatapku tajam.

"Ini bukan anak selingkuhanmu kan? Apa ketahuan oleh Ardy makanya dia menceraikanmu?"

"Ma, sudahlah. Anak ini sudah tidak ada, dia anak siapa sudah tidak penting lagi." kataku sambil menyandarkan tubuhku yang lelah di ranjang rumah sakit, mataku terasa berat.

"Ini anak pertamamu. Mama harus tanya dokter, apa akan ada efek untuk ke depannya." Sebelum aku bisa menghentikannya, mama sudah pergi keluar ruangan.

Yah, begitulah sifat mamaku. Dia tidak akan tenang sampai semuanya jelas. Tidak lama kemudian, dia kembali dan memberitahuku:

"Mama sudah tanya dokter, nanti kamu akan dikasih obat. Makannya cuma boleh 1 tablet, kalau makan 2, kamu tidak akan bisa hamil lagi."

"Iya, tahu." Jawabku tanpa ekspresi.

Sekitar jam 10, suster mulai membagikan obat, dokter memberikanku tiga tablet obat untuk mengeluarkan janin di perutku. Sehabis makan siang 1 tablet, kalau janin tidak keluar, 1 tablet lagi besok, kalau janin masih tidak keluar, lusa 1 tablet lagi, dan kalau janin masih belum keluar juga, harus dilakukan operasi.

Aku mengangguk mendengar penjelasan dari suster. Ketika aku menerima obat itu, ada pikiran yang berkecamuk di dalam kepalaku. Haruskah aku minum obat ini? Bagaimana kalau ternyata dokter salah? Bagaimana kalau ternyata anakku masih hidup?

Aku masih memiliki sedikit harapan, aku berharap kalau itu kesalahan diagnosis rumah sakit, tetapi kalau itu bukan kesalahan diagnosis, semakin lama anak ini berada di perutku, semakin besar bahaya bagiku.

"Sedang mikir apa kamu?" tanya mama. Mama mengernyitkan dahinya sembari memasukkan obat itu ke mulutku.

Efek obat itu baru terasa pada sore harinya, perutku mulai terasa sedikit sakit. Aku disarankan untuk banyak jalan, supaya janinnya keluar dengan mudah.

Keluar dengan mudah? Siapa yang tega membuang anak sendiri seperti itu? Pikiran demi pikiran berkecamuk di dalam pikiranku, aku tersenyum kecut.

Aku berjalan keluar dari kamar, aku tidak menggunakan lift, aku naik tangga demi tangga sampai tiba di atap.

Aku menyaksikan cahaya matahari yang perlahan terbenam, digantikan oleh langit malam. Rasa sakit di perutku juga terasa semakin intens, seperti ada yang bergerak di dalamnya. Aku terus berjalan mengelilingi atap, air mata jatuh membasahi pipiku, aku tahu, anak di perutku akan segera meninggalkan tubuhku.

Rasa sakit yang kurasakan, pasti dirasakan juga oleh anakku. Tetapi aku tidak berdaya, aku tidak bisa memilikinya.

Sepertinya anak ini sudah tidak sabar untuk keluar dari tubuhku, aku merasakan sesuatu yang basah keluar dari tubuh bagian bawahku, darah segar mengalir ke pahaku, aku tidak berani melihatnya. Aku berusaha fokus melihat ke depan saja.

Pandanganku menjadi sedikit buyar, tetapi kemudian aku melihat bayangan Jonathan.

Kenapa dia disini?

Aku berusaha melontarkan senyum kepadanya, dia sedang berjalan ke arahku. Setelah itu, aku jatuh di pelukannya yang hangat. Samar-samar, aku bisa mendengar suaranya yang memanggil-manggil namaku.

Aku tidak mengerti apa yang baru saja kualami. Ketika aku siuman, aku sudah kembali ke kamar dan melihat mama yang menatapku dengan sedih.

"Aku kenapa?" tanyaku masih setengah sadar, bibirku terasa kering sekali.

'Kamu pingsan di atap. Kalau saja bukan karena orang baik itu yang sudah membawamu turun, pasti kamu sudah mati kehabisan darah!" Mama terdengar marah dan khawatir pada saat yang bersamaan, dia sedikit memukul lenganku.

Orang baik? Jangan-jangan...... Jonathan? Apa dia tahu kalau aku keguguran?

Novel Terkait

The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
That Night

That Night

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu