Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu - Bab 171 Sifat Kejam Manusia

Pertanyaanku membuat mulut Ardy Lu tertutup dalam seketika, mata yang cekung ke dalam itu mulai basah, menatapku cukup lama, lalu tersenyum dengan pasarah,”Karma.”

Aku tidak mengatakan apapun, satu kata sederhana itu telah mengejutkan hatiku. Benar, di zaman seperti ini, aku sangat berharap semua orang jahat di dunia ini bisa mendapatkan karma lebih cepat, tetapi hanya bisa sebatas berharap.

Tidak menutup kemungkinan, orang lain juga berharap aku mendapatkan karma.

“Christine, aku mohon satu hal padamu.” Setelah lama tenggelam dalam suasana menyesal, barulah Ardy berkata.

Aku mengangguk, berpikir jika bukan sesuatu yang berlebihan, seharusnya aku bisa menyetujuinya.

“Bantu aku menjenguk Linda di rumah sakit.” Air mata Ardy tidak terbendung lagi, lanjut berkata dengan suara serak: “Jika boleh, bantu aku jaga Ibuku, dan juga tiga anak kecil.”

“Baik.” Aku mengiyakan.

“Kenapa mudah sekali kamu mengiyakannya?” Ardy melihatku dengan tidak mengerti.

“Kalau begitu coba kamu beritahu aku, kenapa kita sudah menikah, kamu masih saja memberi Christopher uang? Jelas-jelas kamu tahu dia tidak akan mengembalikannya, kenapa kamu masih memberinya?” Pertanyaanku lagi-lagi membuat Ardy terdiam.

Kadang aku sungguh tidak mengerti bagaimana pola pikir laki-laki, dia memberi Christopher uang tanpa sepengetahuanku, kamu kira aku akan terharu? Mungkin saja kamu mengeluarkan uang itu demi aku, tetapi malah membuat Christopher terjebak semakin dalam di dunia judi, hingga pada akhirnya mengambil jalan yang salah.

Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Ardy, masalah ini sudah berlalu, lagipula tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi.

Waktu kunjungan sangat singkat, saat selesai, saat dibawa ke dalam jeruji besi, Ardy menoleh melihatku sambil tersenyum pahit. Apa arti senyuman itu, aku tidak mengerti, tetap aku bisa melihat air mata yang membasahi wajahnya, hati pun terasa sangat berat.

Yoga Yin selalu menungguku di luar, saat melihatku berjalan keluar, dia segera turun dari mobil dan menungguku bagai seorang pahlawan.

“Christine, apakah kamu masih ingat dengan perkataanmu?” Yoga mengingatkan.

Aku tentu tahu, aku pernah berkata, asalkan dia memberiku kesempatan bertemu Ardy, aku harus menraktirnya makan. Sebagai seorang manusia, perkataan yang sudah diucapkan harus ditepati, hal ini tidak pernah aku bantah.

Aku menatap mata Yoga, merasa dia jauh lebih cerdas dari dulu. Jika dulu, dia pasti akan bertanya, maukah pergi makan bersama? Atau akan bersikap lebih rendah hati, tetapi sekarang sudah berbeda, dia seolah menagih apa yang sudah seharusnya dia dapatkan.

Tanpa banyak berkata, aku masuk ke mobilnya, dia pun duduk di samping sambil menoleh melihatku.

Supir menjalankan mobil secara perlahan, rasanya seperti sengaja diperlambat.

Aku melihat pemandangan di luar jendela dengan hati yang berat, setiap pemandangan berlalu bagai waktu yang tidak bisa diputar kembali. Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh tanganku, membuatku sangat terkejut. Dalam seketika aku tersadar dan langsung melihat ke arah Yoga.

“Terkejut?” Yoga Lin tersenyum dengan tidak enak hati, “Tadinya aku ingin bertanya kita makan dimana, tetapi kamu terlihat seperti tidak fokus.”

“Kamu saja yang pilih tempatnya.” Aku menjawab dengan sedikit takut. Saat tanganku tersentuh olehnya tadi, entah kenapa hati terasa tidak tenang.

Meminta mengaturkan jadwal bertemu dengan Ardy membuatku merasa berutang padanya. Melihat tatapan berbeda dan penuh harapan di matanya, akhirnya aku mengerti, waktu bisa mengubah seseorang.

Aku sedang berubah, dia juga sedang berubah.

“Baiklah jika seperti itu, aku yang tentukan saja, kita ke Dorsett Restaurant.” Yoga berkata sambil tersenyum tipis.

Aku hanya mengangguk, tidak berbicara apapun, orang kaya memang suka ke Dorsett, ya sudah kesana saja!

Saat mobil tiba di lantai bawah tanah Dorsett Restaurant, Yoga membukakan pintu untukku. Saat turun dari mobil, aku kebetulan melihat mobil Jonathan tepat berhenti di depan.

Saat dia melihatku, dan melihat Yoga Yin yang berada di sampingku, terlihat jelas raut wajahnya berubah, kedua mata memancarkan cahaya dingin mematikan. Dia berjalan dengan pelan ke arah kami, tatapan mata tidak pernah berpindah dariku.

Aku tidak mengerti, kenapa bisa kebetulan sekali, kenapa Jonathan juga bisa disini?

“Kenapa Jonathan bisa ke Dorsett Restaurant juga hari ini?” Yoga tersenyum kecil: “Kebetulan sekali, hari ini Christine akan menraktirku makan, jika kamu sendiri, aku tidak keberatan untuk duduk bersama kok.”

“Kelihatannya kamu memberi bantuan besar untuk Christine, jika tidak, dengan sifatnya yang irit dan pelit seperti itu, bagaimana mungkin rela mengeluarkan uang menraktirmu makan di restoran semewah ini?” Jonathan menyinggung Yoga sambil tersenyum, bersamaan dengan itu sekaligus memarahiku.

Licik dalam senyum adalah deskripsi yang paling tepat untuk Jonathan Yi.

Aku irit dan pelit, setiap senyumanya selalu memberi kejutan besar bagiku.

“Christine, temani Yoga dengan baik, pahamilah apa yang dia suka, tiba saatnya nanti ketika kita menikah, pesanlah makanan sesuai seleranya, dengan begitu dia bisa makan lebih banyak.” Jonathan selalu berhati kejam, kelihatannya saja penuh sopan santun, tetapi malah memiliki berbagai cara untuk memojokkan lawan.

Dari awal hingga akhir aku tidak berkata apapun, bahkan tidak tahu akan bertemu dengan Jonathan di restoran itu. Untuk apa dia datang, menemani tamu makan, atau??

Melihat Jonathan berjalan memasuki lift, Yoga memanggilku dengan pelan. Setelah tersadar, aku pun berjalan ke lantai atas mengikutinya.

Di dalam lift, aku melihat Yoga sekilas, tersimpan benci dan dendam dalam kedua mata itu. Saat berada di dalam mobil, dia tidak menakutkan seperti itu, tetapi baru saja berubah pesat setelah bertemu Jonathan.

Saat ini, handphonenya tiba-tiba berdering, setelah melihat sekilas langsung ditolaknya.

Saat handphone berdering lagi, dia pun mengangkatnya dengan risih, berkata sedang makan dengan tamu, dan jangan ganggu jika tidak ada urusan penting.

Aku tidak tahu siapa yang menelepon dia, tetapi terlihat jelas orang itu sedang terburu-buru, hanya saja Yoga mengarang sebuah cerita lain. Saat dia mematikan telepon, aku bertanya dengan penasaran: “Apakah itu telepon dari Lucy?”

Yoga tidak menjawab, aku mengerti tebakanku telah benar, dia tidak pernah bersyukur pada perempuan yang selalu menjaganya dari samping. Sebenarnya aku sangat kagum pada Lucy, dia bisa bertahan dengan sangat sabar.

Aku tidak tahu bagaimana ceritanya makan bersama Yoga kali itu terlewati, karena di meja makan, kami hampir tidak berinteraksi sama sekali, makanan di meja pun hanya disentuh sedikit, lalu selesai begitu saja.

Yoga berencana mengantarku pulang, tetapi aku menolaknya.

“Aku sudah menepati kata-kataku.” Aku berkata dengan sangat tegas, aku tidak suka berutang budi dengan orang, meski hanya satu kali makan bersama, tetapi jika sudah aku janjikan, maka pasti akan aku tepati, hanya saja makan bersama kali ini tidak berakhir menyenangkan.

“Christine, haruskah kamu bersikap seperti ini padaku?” Yoga tersenyum dengan wajah murung.

“Yoga, hari ini kamu sengaja mengatur sebuah acara makan di Dorsett Restaurant, hanya ingin Jonathan tahu bahwa aku telah memohon sesuatu darimu.” Sejak di lantai bawah restoran saja aku sudah curiga, bagaimana mungkin bisa kebetulan seperti itu, aku hanya berpikir demikian, tetapi tidak yakin.

Yoga melihatku dengan sangat kaget, langsung bertanya: “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”

“Aku menebaknya, karena waktu dan tempatnya kebetulan sekali, terlihat jelas kamu sudah memperkirakan waktu, meminta supir sengaja memperlambat kecepatan mobil, karena takut kita sampah terlalu awal. Kamu mengatur pertemuan ini hanya demi mendatangkan cekcok antara aku dan Jonathan, tetapi malah tidak menyangka Jonathan sama sekali tidak perduli. Maka di meja makan tadi, suasana hatimu sangat buruk, apakah tebakanku benar?” Semua ini murni perkiraanku sendiri, aku tidak ingin berpikir terlalu rumit.

Baru saja selesai berkata, Yoga Yin bertepuk tangan sambil melihatku.

“Kesimpulan yang kamu buat sungguh menakjubkan.”

Aku melihat Yoga dengan serius, laki-laki di depan sama sekali tidak aku pahami. Sudah lama kami saling mengenal, sejak masih satu sekolah, sekiranya sudah belasan tahun, dia berubah dari seorang anak gemuk menjadi laki-laki dewasa yang tampan, berubah dari hati yang polos menjadi sangat licik.

Mungkin saja aku juga berubah, dari dulu aku tidak pernah menebak isi hati seseorang, tetapi kini malah was-was dengan semua orang di sekitar.

“Seharusnya kamu sudah mengutus bawahanmu ke PT. Weiss, jika tidak, bagaimana mungkin tahu dengan jelas gerak gerik Jonathan?” Aku mencoba bertanya.”

Yoga langsung mengacungkan telunjung dan melambaikannya, berkata: “Tolong jangan memikirkan aku dengan terlalu jahat.”

“Aku tidak memikirkan kamu dengan terlalu jahat, sekalipun jahat, ada juga jahat yang timbul karena terdesak.” Aku hanya tersenyum, setiap manusia terlahir suci dan bersih, dan setiap orang yang berjalan hingga tahap ini sesungguhnya terdesak oleh kenyataan.

Mungkin saja perkataanku telah menyentuh hati terdalam Yoga, bibirnya sedikit bergetar, mengangguk sambil tersenyum pahit, “Memang terdesak…”

“Pergilah, aku bisa pulang sendiri.” Aku meminta Yoga pergi dulu karena melihat mobil Jonathan masih berhenti tidak jauh dari sana, aku berencana menunggunya.

Yoga mengikuti arah pandangan mataku, juga melihat mobil Jonathan disana, sontak memahaminya. Jika memang tidak ada kemungkinan, dia tidak akan memaksakannya.

“Baiklah jika seperti itu, aku pergi dulu.” Selesai berkata, dia masuk ke mobil sendiri, lalu melaju meninggalkan parkiran bawah tanah itu.

Aku menungu Jonathan sambil bersandar di dinding parkiran, setengah jam kemudian, Jonathan keluar bersama seorang perempuan berbaju merah. Mereka bercanda tawa dengan sangat seru, perempuan itu masuk ke dalam mobil Jonathan, tidak lama kemudian mobil itu melaju menghilang dari penglihatanku.

Aku sungguh kagum pada diri sendiri. Saat melihat situasi itu, sudah seharusnya menghampiri dan berkenalan dengan perempuan itu, kenapa malah bersembunyi di sudut dinding, terlihat sungguh menyedihkan.

Aku pun berjalan keluar parkiran, petang hari di Kota F terlihat gelap, sama seperti suasana hatiku saat ini.

Semoga tidak hujan, aku tidak ingin langit ikut bersedih dan membuatku semakin terpuruk. Aku tidak kembali ke rumah Keluarga Yi, melainkan memilih menjenguk Linda ke rumah sakit.

Linda selamat dari musibah besar, berhasil melewati masa kiris, dan sudah dipindahkan ke kamar pasien biasa. Aku sangat terkejut saat melihatnya, karena hampir sekujur tubuhnya penuh dengan perban.

Dia tidak bisa berbicara, biaya pengobatan di rumah sakit selama beberapa hari saja mencapai ratusan juta.

Saat melihatku datang, suasana hatinya pun tidak terkendali. Bagai seorang mumi yang bangkit kembali, dia berusaha bergerak, hanya saja sedikit gerakan saja membuatnya sakit setengah mati.

Air mata berlinang di wajah, dan rasa sedih dalam hati membuat kedua matanya menatap tajam.

Aku mengerti, dia mengira aku datang untuk menertawakannya, makanya begitu heboh. Melihatnya terluka seperti itu, aku selalu merasa Ardy telalu kejam.

Sekalipun dia selingkuh lebih dulu, mempermalukan diri lebih dulu, tidak seharusnya Ardy membacoknya seperti itu, jika ditambahkan beberapa bacokan lagi, mungkin saja nyawanya sudah tidak tertolong.

“Ardy memintaku datang menjengukmu.” Sama sekali tidak memperdulikan reaksinya yang berlebihan, aku menarik sebuah kursi duduk di sampingnya, dia berusaha melirikku dengan ujung mata.

Aku sungguh kagum dengan perempuan seperti itu, bisa-bisanya memiliki semangat untuk terus bertahan hidup. Meski tidak bisa mengatakan apapun, tetapi pikirannya cukup sadar.

“Aku tahu kamu tidak bisa berbicara. Begini saja, aku akan bertanya beberapa hal, jika jawabannya iya, kamu kedipkan mata satu kali, jika tidak, kedipkan mata dua kali, mengerti tidak?” Aku bertanya.

Linda mengedipkan mata sekali, menandakan telah tahu bagaimana cara berbicara denganku.

“Membenci Ardy Lu?”

Linda mengedipkan mata sekali.

Benar, dilukai laki-laki itu hingga seperti sekarang, siapa juga yang tidak benci. Sekejam apapun seseorang, perlakuan ini tetap tidak wajar.

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Get Back To You

Get Back To You

Lexy
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Cold Wedding

My Cold Wedding

Mevita
Menikah
4 tahun yang lalu
Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu