Waiting For Love - Bab 59 Clarice Lu Tidak Berani Bergerak, Jantungnya Tiba-Tiba Berdebar Kencang

"Kakak?" Clarice Lu refleks berdiri ketika melihat bayangan tubuh kakaknya yang sangat familiar. Tetapi, Chris Lu jelas-jelas masih di luar negeri, dan kalau ia pulang ia pasti akan mengajaknya bertemu. Masak iya ia sedang berimajinasi sendiri?

Clarice Lu ingin pergi mengecek bayangan siapa itu sebenarnya, tetapi Elsa Mo menahan bahunya, "Kamu mau kemana? Sebentar lagi kamu sebagai produser film harus naik ke panggung."

Clarice Lu agak ragu, namun sesaat kemudian pembawa acara langsung mengundangnya naik ke atas panggung. Cahaya dan lampu sorot panggung seketika langsung mengarah padanya.

Kini Clarice Lu tidak boleh memecah konsentrasi dan memikirkan hal lain lagi. Ia mengangkat gaunnya, melangkahi karpet merah dengan elegan, lalu naik ke atas panggung.

Sesudah berbicara ia kembali ke tempat duduknya. Sesaat setelah lampu panggung dipadamkan, layar besar langsung mulai memutar video promosi film. Setelah video selesai diputar, sutradara film naik ke atas panggung sambil membawa beberapa pemeran utama untuk mengadakan sesi wawancara dengan media. Sesi wawancara ini adalah acara terakhir, jadi dengan berakhirnya sesi wawancara maka berakhir juga acara peluncuran film tersebut.

Kedepannya masih ada berbagai agenda penting menunggu, termasuk penyutingan dan promosi film. Clarice Lu harus tetap mempertahankan fokus dan komitmennya.

Hadirin, tamu undangan, dan para pemeran film satu per satu pulang. Teater film yang megah itu kini hanya menyisakan Clarice Lu seorang. Ia memijat-mijat dahinya, pelipisnya pening. Belakangan ini ia sangat sibuk, urusan yang dipusingkannya tidak sedikit, jadi ketika ia kelelahan ia akan mudah merasa pusing.

Cahaya dalam teater film remang-remang. Lampu sorot yang tadinya sudah dimatikan tiba-tiba menyala dan kembali menyorot panggung.

Clarice Lu terkejut. Ia mendongakkan kepala dan melihat seorang pria yang entah kapan datangnya duduk di depan piano. Cahaya lampu sorot yang mengarah pada pria itu membuatnya terlihat luar biasa elegan dan berkharisma.

Kesepuluh jari tangannya yang panjang dan kurus ditaruh di atas tuts piano. Suara musik piano kemudian mengalir terdengar bersamaan dengan gerakan jari-jarinya.

Di depan pria itu ada mikrofon. Ia menyanyikan lagu A Dandelion's Promise karya Jay Chou dengan suara rendah dan seksi. Suaranya membahana ke seluruh sudut ruang teater film. Penontonnya hanya Clarice Lu seorang.

"Bunga dandelion yang ada di samping pagar sekolah dasarku,

adalah pemandangan yang paling indah dalam memoriku,

suara serangga di lapangan olahraga yang terdengar saat istirahat siang,

masih terdengar sangat indah beberapa tahun kemudian,

tulis harapan di selembar surat dan kirimkan surat itu,

karena kita tidak bisa menunggu kedatangan meteor,

kita serius mengumpulkan bekal untuk masa depan,

tetapi kita tidak tahu ke mana hidup akan membawa kita nanti,

janji untuk tumbuh dewasa bersama,

kalimat ini saya dulu percaya,

janji untuk menua bersama,

adalah satu-satunya motivasi saya untuk bertahan disampingmu"

Suaranya sangat merdu meski terdengar sedikit pilu dan menyedihkan.

Clarice Lu duduk tenang mendengarkan alunan lagu. Lagu ini jelas-jelas tidak berhubungan sama sekali dengan dirinya, tetapi ia anehnya malah merasa sedih dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata. Berbagai macam hal melintas di pikirannya, tetapi hal-hal itu melintas dengan sangat cepat hingga ia tidak paham betul apa maksudnya. Semakin ia mencoba berpikir, kepalanya semakin sakit.

Clarice Lu merasa dirinya seperti kesurupan.

Ia mencoba sekuat tenaga untuk mengendalikan perasaannya. Ketika musik berhenti, ia sudah mengelap bersih air matanya dan sudah kembali tenang.

Clarice Lu kemudian bertepuk tangan sebagai wujud apresiasi. Ia cukup paham dengan musik. Baginya, suara pria itu cukup baik, namun permainan pianonya kurang mengesankan. Meskipun pria itu berhasil memainkan lagu tanpa kesalahan, tetapi kekuatan jarinya ketika menekan tuts agak lemah.

Sementara itu, di atas panggung, Lewis Tang, yang baru saja menyelesaikan permainan pianonya, menaruh kedua tangannya di atas lutut. Ia menatap dalam-dalam tangan kirinya lalu mengepalkannya dengan perlahan. Sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum putus asa.

Bahkan lagu yang simpel saja ia hanya bisa mainkan dengan pas-pasan, tangannya sungguh tidak berguna.

Saat Lewis Tang mencemooh dirinya sendiri, Clarice Lu, yang duduk di bangku penonton, bangkit berdiri dan bersiap keluar. Wanita itu berpikir, acara dari tadi jelas-jelas sudah selesai, untuk apa dia tetap duduk di ruangan? Memangnya dia ingin mengenang kisah cintanya yang dulu?

Hati Clarice Lu masih menyimpan perasaan tidak enak setiap kali mengenang kejadian di rumah sakit waktu itu.

Clarice Lu melangkahkan sepatu hak tingginya keluar dari gedung teater. Hujan di luar masih turun dengan deras dan tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Mobilnya kebetulan sudah dibawa David Luo, jadi ia sekarang tidak bisa pulang. Ia mengeluarkan ponsel dan mengontak asistennya.

Ketika ia menunggu respon asistennya, Lewis Tang tiba-tiba muncul dari belakang, “Kamu mau ke mana? Ayo aku antar.”

Saat Lewis Tang baru menyelesaikan kalimatnya, sebuah mobil Maybach 62S putih tiba-tiba berhenti di depan mereka. Acara tadi bersifat formal, jadi mobil yang ditumpangi Lewis Tang juga formal.

Clarice Lu ingin menolak, tetapi Lewis Tang sama sekali tidak memberinya kesempatan mengatakan apa pun. Pria itu langsung membuka pintu mobil dan memaksanya masuk. Ia kemudian berkata pada supir, “Kasih saya kuncinya, kamu pulang sana.”

Supir langsung turun dari mobil dan memberi kunci mobil pada Lewis Tang.

Lewis Tang menyalakan mesin mobil. Ia mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi, membuatnya terlihat seperti panah yang menembus hujan. Kini Clarice Lu jelas tidak bisa turun dari mobil.

“Villa Country Bay, terima kasih,” ujar Clarice Lu tanpa ekspresi.

Lewis Tang tidak menyahut.

Derasnya hujan membuat penglihatan mereka terbatas. Clarice Lu orang yang buta jalan, dan cuaca seperti ini membuatnya sama sekali tidak mengerti arah. Ia baru sadar ada sesuatu yang tidak beres ketika Lewis Tang memberhentikan mobil di sebuah tempat yang sepi dan sepenuhnya tidak familiar.

“Ini tempat apa?” tanya Clarice Lu. Tempat ini sangat terpencil dan sepi, ia sangat panik.

“Tidak tahu, saya juga belum pernah pergi,” jawab Lewis Tang dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Pria itu mematikan mesin mobil, lalu menengok menatap Clarice Lu. Ia bisa melihat kepanikan di wajah wanita itu, jadi ia berkata, “Mengapa panik? Kalau saya ingin berhubungan seksual denganmu, saya tidak akan memilih melakukannya di dalam mobil. Ruang mobil yang sangat kecil membuat saya tidak leluasa bergerak.”

Kata-kata Lewis Tang yang vulgar membuat raut wajah Clarice Lu berubah. Ia berusaha mengendalikan kemarahannya, lalu dengan nada yang kurang enak didengar bertanya, “Jadi kamu bawa saya ke sini sebenarnya untuk apa?”

“Tempat ini sepi, cocok untuk berbicara,” jawab Lewis Tang sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.

Hujan yang terlalu deras membuat jendela mobil tidak bisa dibuka. Udara di dalam mobil kini sangat menyesakkan. Takut Clarice Lu sesak nafas, Lewis Tang akhirnya mematikan rokoknya dan menyimpannya kembali ke dalam kotak.

“Ada kesalahpahaman apa di antara kita berdua?” tanya Lewis Tang.

Clarice Lu bingung, ia dalam hati menebak mungkin pertanyaan pria ini berkaitan dengan kejadian di rumah sakit. “Tidak ada,” jawabnya ragu.

Mendengar jawaban ini, Lewis Tang tersenyum kecut. Ia menatap Clarice Lu dalam-dalam seolah bisa mengetahui isi pikirannya. Ia kemudian berkata, “Nampaknya yang kamu dengar di depan pintu waktu itu cukup banyak.”

Clarice Lu mengernyitkan alis, ia tidak membantah. Pria itu sudah menyebutkan isi pikirannya, jadi ia tidak bisa mengelak lagi.

“Pria dan wanita adalah dua hewan berbeda. Wanita dengan wanita, semakin dekat hubungannya maka ada kata-kata yang semakin dianggap pantang untuk dikatakan. Tetapi pria dengan pria tidak sama, apalagi Alex adalah orang yang tidak pernah memikirkan terlebih dahulu kata-katanya. Jadi, tidak peduli apa yang kamu dengar, jangan mengeluarkan tafsiranmu sendiri, melainkan gunakan baik-baik ini,” ujar Lewis Tang sambil menunjuk kepala dengan jari.

Clarice Lu tidak menjawab, ia sibuk memikirkan kebenaran kata-kata Lewis Tang.

Kejadian waktu itu berlangsung tiba-tiba dan sama sekali tidak bisa diperkirakan. Sekarang, kalau ia berpikir dengan cermat, Lewis Tang sebenarnya sama sekali tidak perlu merancang sandiwara bodoh semacam itu.

Kalau Lewis Tang ingin tidur dengannya, pria itu punya banyak kesempatan untuk memaksanya. Jabatan Lewis Tang yang tinggi akan membuat dirinya tidak berani macam-macam. Untuk apa pria itu melakukan sesuatu yang sulit kalau punya jalur mudah?

Mobil itu sunyi.

Clarice Lu tidak ingin ketegangan berlanjut, jadi ia berusaha merendah, “Maaf, aku sudah keterlaluan karena menilaimu dengan tafsiranku sendiri.”

“Tidak apa-apa, yang penting kamu paham. Saat ini kita masih berhubungan sebagai rekan kerja, saya tidak ingin kedepannya nanti terjadi kesalahpahaman dan konflik antara kita berdua. Mengerti?”

“Iya,” angguk Clarice Lu. Ia kemudian bertanya, “Jadi, CEO Tang, bisakah kamu mengantar saya pulang sekarang?”

“Tentu saja.” Lewis Tang menyalakan mesin mobil dan berputar balik.

Sepanjang perjalanan keduanya tidak saling bicara. Maybach 62S milik Lewis Tang akhirnya berhenti di depan lobi Villa Country Bay.

Langit di luar agak berawan. Hujan kini sudah sedikit lebih kecil, tetapi tetesan air hujan yang membasahi lantai marmer tetap berbunyi nyaring.

Clarice Lu ingin membuka pintu mobil dan turun, tetapi Lewis Tang menghalanginya, “Hujan terlalu besar, kamu saya payungi saja.”

Lewis Tang turun dari mobil sambil membuka payung. Ia berjalan memutari mobil ke kursi penumpang depan, lalu membukakan pintu untuk Clarice Lu.

Lobi villa masih berjarak belasan meter dari tempat mobil diparkir. Hujan yang kembali deras membuat payung yang dipegang Lewis Tang jadi tidak terlalu berguna. Tubuh mereka berdua kini tinggal menunggu waktu untuk basah kuyup.

Lewis Tang terus memegangi payung ke arah Clarice Lu. Satu sisi bahunya sudah basah kuyup, namun ia tidak peduli dan tetap bertahan pada posisi itu. Mereka akhirnya tiba di lobi villa. Mereka sudah berhenti berjalan, tetapi tetap berdiri berdekatan. Lewis Tang tidak bergerak, sementara Clarice Lu tidak berani bergerak, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang.

“CEO Tang.” Clarice Lu ingin mengucapkan terima kasih dan segera kabur dari situasi canggung ini. Tetapi, karena jarak keduanya terlalu dekat, ketika Clarice Lu mendongakkan kepala, bibirnya yang lembut malah tanpa sengaja menyentuh bibir Lewis Tang.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu