Waiting For Love - Bab 55 Kalau Ingin Meninggalkan Seorang Pria, Isilah Perutmu dengan Darah Dagingnya Terlebih Dahulu

Keesokan harinya keduanya bertemu di lobi I-Setan Plaza. Ini mal mewah yang paling sering mereka kunjungi.

Jasmine Man mencoba rok di sebuah butik, sementara Vanessa Bai duduk di kursi ruang tunggu sambil menenggak kopi.

"Yang ini bagaimana? Keluaran baru loh." Jasmine Man mengenakan sebuah rok panjang berwarna merah mawar. Pinggangnya kurus, belahan dadanya sangat memikat.

Tanpa menunggu jawaban Vanessa Bai, seorang pramuniaga pria di sebelah mereka langsung menimpali, "Wah, rok panjang ini seperti didesain khusus untuk Anda, ukurannya sangat pas dan kebetulan orang berkulit putih bersih memang paling cocok dengan pakaian warna mawar merah. Rok panjang ini adalah edisi terbatas tahun ini, di seluruh penjuru kota B hanya ada satu buah, jadi Anda tidak perlu khawatir bertemu orang dengan rok yang sama persis.”

Pramuniaga pria itu berusaha sekuat tenaga mempromosikan rok yang sedang dikenakan Jasmine Man. Harga pakaian di toko ini menembus angka ratusan juta, jadi komisi untuk pramuniaga cukup besar. Pendapat pramuniaga itu jelas sangat subjektif, ia tadi memuji-muji demi mendapat komisi.

Jasmine Man sangat suka dengan rok panjang ini. Ia mengeluarkan kartu kreditnya dan memberikannya pada pramuniaga pria tadi. Selama menunggu transaksi diproses, ia duduk santai di sofa.

“Memang David Luo kasih kamu biaya putus berapa sampai kamu bisa gila belanja seperti ini?” ujar Vanessa Bai sambil menaruh cangkir kopinya. Beberapa waktu lalu Jasmine Man masih menangis tersedu-sedu di hadapannya sambil bilang ingin putus dengan David Luo, tetapi kini wanita itu mengajaknya berbelanja dengan riang gembira. Ini perubahan yang luar biasa drastis.

“Terserah dia ingin menganggap kami putus atau tidak, yang jelas aku tetap istri sah David Luo,” ujar Jasmine Man puas.

Wajah Vanessa Bai kebingungan, ia tidak paham dengan maksud Jasmine Man.

Jasmine Man mendekat, lalu berbisik pelan di samping telinganya, “Masak kamu tidak pernah dengar, kalau kamu seorang wanita dan ingin meninggalkan seorang pria, isilah perutmu dengan darah dagingnya terlebih dahulu.”

Vanessa Bai kaget, tatapannya langsung refleks berpindah ke perut Jasmine Man, “Kamu, kamu hamil?”

Jasmine Man tersenyum. Ia malu sekaligus bangga. Ia meraba perutnya yang datar sambil mengganguk mengiyakan pertanyaan Vanessa Bai. “Tanpa anak, seorang pria akan memandang seorang wanita sebagai pakaian yang bisa diganti kapan saja. Tetapi, sekalinya punya anak, seorang pria akan menjadi layang-layang milik seorang wanita, ia tidak akan bisa kabur ke manapun. Trik ini bisa kamu gunakan juga ke Lewis Tang.”

Vanessa Bai termenung, ia merasa kata-kata Jasmine Man tadi kurang cocok untuk dirinya. Memang benar, kalau ia berhasil membuat Lewis Tang menghamilinya ia akan otomatis jadi Nyonya Tang, tetapi kenyataannya adalah Lewis Tang tidak peduli dengannya!

Cara ini pernah ia coba, namun ketika ia telanjang bulat di hadapan Lewis Tang, pria itu bahkan tidak mau melihatnya sama sekali, jadi ia bisa apa lagi? Gairah seksual Lewis Tang saja tidak bisa ia pancing.

Tepat saat itu pramuniaga toko datang datang mengembalikan kartu bank sekaligus menyerahkan struk transaksi. Mereka keluar dari toko. Jasmine Man berjalan sambil memegang ponselnya dan menelepon nomor David Luo berkali-kali, tetapi teleponnya tidak diangkat sama sekali.

Wajah Jasmine Man cemberut, tetapi di hadapan Vanessa Bai ia harus menahan amarah dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.

Ketika itu David Luo sedang rapat, jadi ponselnya ia setel dalam mode diam.

Di podium Clarice Lu sedang mempresentasikan laporan kerja triwulan lalu dan rencana kerja triwulan ini. Setelah berbicara sekitar setengah jam, sebelum menyelesaikan presentasinya ia bertanya pada CEO Luo apakah ada hal yang ingin ditambahkan.

David Luo menggeleng tanda tidak ada. Ia membubarkan rapat, lalu menyuruh Clarice Lu tetap tinggal.

“Ada urusan apa lagi?“ ujar Clarice Lu datar sambil menunduk merapikan berkas-berkas rapat di atas meja.

“Besok temani saya pergi inspeksi studio syuting.” David Luo berdiri, mengatakan kalimat ini, lalu keluar ruang rapat.

Clarice Lu mendongak bingung. Ia diam menatap bayangan tubuh pria itu berjalan menjauh. Urusan film semuanya tanggung jawabnya dan David Luo tidak pernah bertanya, tetapi kali ini mengapa ia tiba-tiba ingin mengadakan inspeksi? Ia tidak bisa menebak motif David Luo, tetapi David Luo adalah seorang CEO dan ia tidak punya kewenangan untuk menghalanginya.

Karena cuaca esok diprediksi akan kurang bagus, mereka memutuskan berangkat malam ini juga.

Sepanjang perjalanan, meski duduk bersebelahan, Clarice Lu dan David Luo tidak berbicara satu sama lain. David Luo sibuk membaca berkas, sementara Clarice Lu lelap tertidur. Supir dan asisten yang duduk di bangku depan sama sekali tidak merasa aneh. Di mata orang lain, mereka berdua bukan hanya tidak berjodoh dengan kata “cinta”, tetapi juga pasangan suami istri yang hubungannya hambar.

Dengan kata lain, mereka hanya suami istri di atas berkas pernikahan saja.

Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di hotel pukul sembilan malam lebih. Asisten pribadi membawa kartu identitas mereka ke resepsionis untuk registrasi. Clarice Lu duduk di sofa lobi sambil menunggu. Ia baru menunggu sebentar, namun asisten pribadi langsung datang membawakan kartu kamarnya. Ia kemudian menyeret kopernya naik ke kamar.

Ketika Clarice Lu sudah masuk kamar dan ingin menutup pintu, pintu kamar itu tiba-tiba ditahan oleh sebuah tangan. Ternyata itu tangan David Luo. Pria itu, yang kini memakai jaket berwarna coklat tua, berdiri di depan pintu. Satu tangannya lagi ia tumpukan pada gagang penarik koper berukuran sedang.

“Mau apa?” Clarice Lu berdiri di depan pintu, ia ingin menghalangi David Luo masuk.

“Mau apa lagi selain masuk kamar?” David Luo memperlihatkan kartu kamarnya, nomor kamarnya sama persis dengan nomor kamar Clarice Lu.

Clarice Lu refleks mengernyitkan alis, “Mungkin James melakukan kesalahan, kamu ke resepsionis saja minta ganti kamar.”

“Tidak salah kok, aku memang menyuruh James menempatkan kita dalam satu kamar yang sama. Apa yang salah kalau pasangan suami istri sekamar? Lagipula memang kamu pikir kantor kita super kaya sampai kita bisa menghambur-hamburkan uang?”

“Suami istri?” Clarice Lu merasa kata ini lucu, “Kita dari dulu tidak pernah melakukan kewajiban kita sebagai suami istri.”

Kata “kewajiban sebagai suami istri” sangat mudah disamaartikan dengan “melakukan hubungan seksual”. Lewis Tang memasukkan satu tangannya ke dalam kantong, lalu sambil setengah tersenyum bertanya, “Contohnya?”

“Contohnya saling menghargai.” Clarice Lu menjawab dingin. Ia kemudian langsung menutup pintu kamar dan menguncinya.

Clarice Lu berjongkok di lantai kamar sambil membereskan kopernya, pintu kamarnya tidak diketuk siapa-siapa lagi. David Luo bukan sepenuhnya tidak punya sisi baik, ia setidaknya tidak pernah main pukul.

Clarice Lu mandi lalu berbaring di ranjang. Ia belum mengantuk, jadi ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan WeChat ke Elsa Mo.

“Sudah balik hotel?” tanya Clarice Lu. Beberapa lama kemudian ia menerima balasan dari Elsa Mo.

Elsa Mo bilang: Belum, masih di lokasi syuting, nanti malam masih harus syuting.

Clarice Lu: Adegan ranjang?

Elsa Mo: Pergi jauh-jauh kamu! (sambil diikuti stiker marah)

Clarice Lu tertawa. Film ini ia yang kontrol sendiri, ceritanya berkisah tentang hubungan asmara pria dan wanita yang bersifat platonis. Sisi romantika film ini sangat kuat, namun di dalamnya sama sekali tidak ada adegan bersentuhan tubuh. Dengan kata lain, kalau pun Elsa Mo ingin syuting adegan ranjang, ia tidak akan mendapat kesempatan itu. Kata-kata Clarice Lu tadi hanya sekedar bercanda.

“Masih ada urusan lain tidak? Sebentar lagi giliranku nih,” tanya Elsa Mo.

Clarice Lu: Aku di Hotel XX, besok pagi pergi inspeksi studio syuting.

Clarice Lu agak ragu, namun kemudian menambahkan pesannya: David Luo juga ikut.

Elsa Mo sama sekali tidak penasaran dengan rencana David Luo. Lagipula, kalau ia bertanya pada Clarice Lu, teman baiknya itu juga pasti tidak akan tahu jawabannya. Isi hati David Luo tidak ada yang tahu.

Elsa Mo: Lumayan oke sih kalau kamu datang, setidaknya kedatanganmu akan membuat Dalton Fang berperilaku sedikit lebih baik. Si Fang itu tidak takut dengan siapa pun selain kamu, kayaknya ia suka denganmu.

Membaca balasan Elsa Mo, Clarice Lu langsung mengerutkan wajah. Ia buru-buru menjawab: Imajinasimu terlalu hebat!

Elsa Mo tidak menjawab lagi, waktu syutingnya sepertinya telah tiba.

Clarice Lu menaruh ponselnya di kepala ranjang sebelah kiri. Ia merapikan bantal dan selimutnya lalu memejamkan mata.

Karena tidak biasa tidur di kasur yang bukan miliknya, tidur Clarice Lu kurang nyenyak. Matahari bersinar terik ketika ia bangun keesokan harinya.

David Luo meneleponnya dan memberitahukannya untuk berkumpul di lobi bawah pukul sembilan. Ia tidak bisa bermalas-malasan di ranjang, ia harus segera bersiap. Setelah selesai bersiap, Clarice Lu turun ke lobi sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan.

Di luar dugaan, ia melihat Felix Ang, si asisten Lewis Tang, di lobi.

Felix Ang menatapnya, Clarice Lu tersenyum sopan sambil menyapa, “Asisten Ang, sudah lama kita tidak ketemu, kamu ada urusan apa di sini?”

“CEO Tang datang ke kota ini untuk urusan bisnis. Kami di sini sejak semalam, dan hari ini nampaknya beliau akan ikut pergi inspeksi studio syuting,” ujar Felix Ang detil. Pria muda ini selalu menampilkan wajah tanpa ekspresi, ia sepertinya tidak punya urat senyum.

Felix Ang bukan orang yang banyak bicara. Ia bisa memberitakan hal ini pada Clarice Lu pasti karena ada maksud tertentu. Maksud terselubungnya itu adalah CEO Tang hari ini akan berkunjung ke studio syuting, jadi semua bawahannya, termasuk Clarice Lu, harus mempersiapkan yang terbaik.

Clarice Lu mengangguk, ia paham.

Mobil Clarice Lu dan David Luo tiba di studio syuting hampir berbarengan dengan mobil Lewis Tang. Sutradara film tidak mengadakan sambutan yang berlebihan karena takut akan mengganggu kemajuan syuting. Ia hanya membawa beberapa pemeran utama dan beberapa pekerja untuk bertegur sapa.

Elsa Mo berdiri di samping sutradara. Wajahnya agak kebingungan melihat Lewis Tang dan David Luo sama-sama hadir. Ia memberi kode pada Clarice Lu menggunakan tatapan matanya, tetapi teman baiknya itu malah menggeleng-geleng kepala.

Sama seperti Elsa Mo, Clarice Lu juga tidak paham dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Setau dia, kedua pria ini tidak punya perseturuan apa pun, juga tidak punya konflik kepentingan. Tetapi, mengapa, mengapa ketika berjumpa keduanya memperlakukan satu sama lain dengan dingin seperti pernah menyimpan dendam pada kehidupan sebelumnya?

Clarice Lu paham betul daya tariknya tidak cukup kuat sampai bisa membuat dua orang pria memperebutkannya, tetapi ia benar-benar tidak terpikir hal apa lagi yang bisa menghubungkan Lewis Tang dan David Luo.

Novel Terkait

Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
3 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
3 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
4 tahun yang lalu