Waiting For Love - Bab 46 Aroma Asap

Lewis Tang mengerutkan kening, tidak mengatakan apa-apa, ia berbalik dan berjalan ke area bangsal.

Carol Lin memandang punggungnya yang perlahan-lahan menjauh, mata dan alisnya tidak dapat menghindar untuk mengungkapkan kesedihan, senyum di bibirnya, bahkan penuh dengan rasa kesepian dan penghinaan diri.

Dia seharusnya menerima kenyataan ini. Entah itu lima tahun lalu atau lima tahun kemudian, pada kenyataannya, tidak pernah ada yang berubah.

Clarice Lu koma sepanjang malam, rasanya seakan dia baru kembali dari kuil dewa neraka, untungnya dewa neraka tidak menerimanya, membungkus dan mengembalikan paket itu, atau tidak, dia mungkin tidak akan kembali

Clarice membuka kelopak matanya yang berat, dalam mimpipun tak pernah terbayangkan bahwa orang pertama yang dilihatnya setelah siuman adalah Lewis Tang

Dia membuka kembali matanya setelah setengah hembusan napas berlalu, refleksi Lewis Tang terlihat jelas di pupilnya yang berwarna coklat, kesadaran Clarice akhirnya terjaga.

Di sisi lain, Lewis Tang berdiri tegak di belakang ranjang rumah sakit, dalam kegelapan dan dingin seperti es. Dua jari dingin dan kuat menempel pada pembuluh darah di bagian dalam pergelangan tangannya, suasana tenang, acuh tak acuh yang sangat ekstrim.

“Jika kamu ingin mati, cari pisau yang tajam dan potong arteri di dalam pergelangan tangan. Kamu akan kaget dan mati dalam waktu satu jam, terkecuali rasa dingin karena banyak kehilangan darah, tidak banyak rasa sakit yang akan kamu rasakan. Kenapa harus repot-repot, rasa pendarahan di lambung sangat tidak enak kan!”

Clarice sedikit memurung, hanya rasa lemas yang dirasakannya, menggunakan sedikit tenaga terakhirnya untuk membuka tangannya. Tidak marah menjawab, “ aku tidak ingin mati.”

“Kalau begitu jangan mati. Siapa yang akan sakit hati bila kamu seperti ini? Apakah David Luo?” suara tenang Lewis penuh dengan ironi.

Clarice sangat ingin menyumpahnya: peduli pantatmu, sebenarnya, mau hidup ataupun mati juga tidak ada urusannya dengan dia.

Namun masih ada infus di punggung tangan kiri Clarice, seluruh tangannya dingin dan mati rasa. Benar-benar tidak ada tenaga untuk berdebat dengannya, hanya bisa menatapnya dengan mata terbuka lebar, diam yang penuh penolakan.

Tiba-tiba jalan menjadi buntu antara satu sama lain, tatapan terfokus pada Clarice, pandangan yang dalam dan sulit dimengerti.

Clarice sakit dan lemah, wajah kecil yang pucat bagai tidak ada lagi warna darah, penampilan lemah yang berlebihan itu masih membuat Lewis menjadi luluh.

Lewis duduk di sebelah ranjang rumah sakit, kakinya yang Panjang tumpah tindih secara acak, dan nada bicaranya sedikit hangat, “tidak usah mencari marga Li lagi, beberapa papan iklan yang kamu inginkan, ada di tanganku.”

Semua baliho iklan di sepanjang bandara isinya adalah tentang pergantian pemimpin perusahaan besar, kebetulan, kuartal kali ini isinya adalah tentang pergantian di perusahaan group Tang. Si Dane Li yang biasa merendahkan yang tinggi, pekan lalu memindahkan kontrak keatas meja Lewis Tang.

Clarice masih memiliki sepasang mata dengan pandangan yang jernih, matanya tidak dapat menyembunyikan tampilan bersalah.

Tetapi bila di pikir-pikir, tidak ada yang terlihat aneh. Direktur Tang cukup licik, satu malam adalah waktu yang cukup lama baginya untuk mengetahui apa yang ingin dia ketahui.

Langit di luar jendela berangsur-angsur cerah, Lewis mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Alex, memintanya untuk mengirimkan pakaian bersih ke rumah sakit. Dia terjaga semalaman di rumah sakit, kemeja di tubuhnya kusut tak beraturan, dan masih terdapat sedikit bercak darah, tidak boleh di gunakan lagi.

Untungnya di bangsal VIP sangat canggih dan lengkap, sehingga dia dapat mandi di kamar mandi dalam bangsal.

Alex datang kepadanya dengan cepat, ketika dia mengetuk pintu dan memasuki bangsal, Lewis masih berada di kamar mandi.

Alex memegang tas kertas kecil di tangannya, dan tidak melihat Lewis di kamar bangsal, dia bertanya pada anak di ranjang rumah sakit itu, “dia dimana?”

Claire dengan lemah menunjuk ke arah kamar mandi, pada saat itu, suara percikan air di kamar mandi berhenti, pintu kayu putih solid itu membuka celah, dan lengan basah terulur keluar.

Alex memberikan tas itu, kemudian, pintu kembali di tutup. Alex berdiri di depan pintu, pandangannya menghadap kea rah Clarice, dan bibirnya menunjukan sedikit rasa jenaka, “apakah saya harus menghindar?”

Clarice memahami dari cemoohan Alex, wajahnya canggung memerah. Tetapi dia tidak memiliki tenaga untuk membela dirinya, sehingga dirinya hanya berbalik, tidak menghiraukan alex.

Kemudian, Lewis keluar dari kamar mandi setelah dia selesai mengganti pakaiannya, celana panjang, kemeja birunya sangat cocok dengan fitur wajahnya, menambah sentuhan kedewasaan dan wibawa.

Dia berjalan ke samping tempat tidur, melihat bahwa botol infus sudah habis, dia mengulurkan jari-jarinya yang bersih, dengan terampil mematikan regulator infus. Menekan tombol bel pada bagian atas kepala ranjang.

Dengan cepat, perawat datang untuk memberikan Clarice obat, Lewis berbalik, berjalan keluar dari bangsal, Alex mengikutinya keluar.

“Ikut keluar untuk apa? Kamu tinggal dulu disini, aku keluar untuk membeli makan untuk Clarice.” Jelas Lewis.

“Aku saja yang pergi” Kata Alex sambil berjalan keluar, dia tidak ingin menjadi perawat untuk Clarice.

“Memangnya kamu tahu makanan yang dia suka?” Lewis dengan dingin mengangkat alisnya.

Lewis mengelilingi lebih dari setengah kota dengan mobilnya, hanya untuk membeli sekotak bubur telur. Lambung Clarice masih belum bisa menerima makanan cair, sehingga dia meminta penjual bubur itu agar dimasak lebih matang.

Ketika dia kembali ke rumah sakit, dia menemukan Alex sedang berdiri bosan di depan pintu rumah sakit dengan sebatang rokok yang tidak dinyalakan diantara dua jarinya, memainkannya.

“Kenapa kamu di luar?” tanya Lewis dengan alis mengkerut.

Alex tidak menjawabnya, mengulurkan tangannya ke pintu kamar, menunjukan bahwa dirinya akan masuk dan melihat.

Lewis mendorong pintu dan masuk ke bangsal. Di dalam ruangan, David Luo sedang bersandar di tempat tidur dan memegang tangan Clarice. Kedua lelaki itu saling berseberangan, hampir seketika, suasana yang tadinya hening, tiba-tiba dipenuhi dengan aroma asap.

Novel Terkait

Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Tak Biasa

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
4 tahun yang lalu
My Japanese Girlfriend

My Japanese Girlfriend

Keira
Percintaan
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
4 tahun yang lalu