Waiting For Love - Bab 265 Mana Mungkin Aku Meninggalkanmu Sendirian

Ia mengulurkan tangannya, memberi tanda pada Lewis bahwa ia bisa pergi ke samping Clarice.

"Berikan remote itu padaku." kata Lewis, tentu saja ia tak akan mengabaikan hal itu.

Namun, David tampaknya sama sekali tidak mau menyerahkan remote itu. "Setelah aku menerima uangnya, aku pasti akan mematikan bom itu. Sekarang, aku ingin menunggu kedatangan helikopterku."

"Apa aku bisa percaya padamu?" Lewis mengulurkan tangannya dan menghadang jalan David.

David mengangkat alisnya, "Apa kau pikir kau punya pilihan lain!" Kemudian, ia pun mendorong tangan Lewis dan langsung berjalan keluar dari pabrik tua itu.

Memang benar, Lewis sama sekali tidak punya pilihan lain.

Lewis tak pernah menundukkan kepala, sifatnya tak pernah mau kalah, bahkan saat merawat dan membesarkan Dyson di luar negeri dengan sesulit apapun, ia tak pernah pasrah dan mengaku kalah pada takdirnya. Namun, selalu ada pengecualian saat dirinya menghadapi Clarice.

Saat ini, Clarice yang terikat di pilar sedang menundukkan kepalanya, sepertinya ia pingsan, sama sekali tidak bergerak.

Lewis tidak ingin menghiraukan David lagi, ia langsung berjalan ke arah Clarice, "Clarice, Clarice, bagaimana keadaanmu?"

Setelah mendengar suara itu, Clarice pun terbangun, namun ia masih setengah sadar, pandangannya sangat gelap, tubuhnya yang terikat membuatnya sulit untuk bernafas, wajahnya terlihat sangat putih dan pucat.

Suara bom waktu yang terikat di tubuhnya terus berbunyi sedetik demi sedetik, suaranya terdengar sangat menusuk telinga dan menakutkan. Seperti suara dewa kematian yang berjalan mendekat selangkah demi selangkah.

"Clarice, jangan takut, aku datang, aku datang untuk membawamu pulang......" Suara serak-serak basah Lewis terngiang di telinga Clarice, setelah itu Clarice pun mulai tersadar, ia membuka matanya sekuat tenaga untuk melihatnya, bibirnya yang kering itu bergerak perlahan, mengeluarkan sepatah demi sepatah kata.

"Le, wis, cepat pergi, David sama, sekali, tidak berencana, untuk melepaskanku, bom ini akan segera meledak......"

Saat itu, David sudah meninggalkan pabrik itu, batang hidungnya sama sekali tak terlihat lagi. Tiba-tiba penghitung waktu yang terpasang pada bom itu berjalan dengan cepatnya, tak terasa waktu hanya tersisa sepuluh menit.

Di waktu yang bersamaan, Lewis juga tersadar bahwa bom yang terikat di tubuh Clarice ini sama sekali tidak bisa dilepas. Bom ini dilengkapi dengan perlengkapan anti getaran, kalau sampai miring sedikit, bom ini bisa segera meledak.

Ia mengeluarkan handphonenya, lalu berteriak dengan keras dan panik, "Mana para ahli penjinak bomnya? Kenapa masih belum sampai juga!"

Karena sebelum mereka sampai ke sini, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa David akan bertindak segila ini dan memasangkan bom pada tubuh Clarice, oleh karena itu, orang-orang yang ikut datang bersama mereka bukan ahli penjinak bom, setelah melihat ada bom, barulah Alex menyuruh orang untuk segera membawa ahli penjinak bom kemari, saat ini para penjinak bom itu masih dalam perjalanan, mereka tak bisa langsung segera sampai di sana.

Waktu di penghitung waktu itu terus bergulir sedetik demi sedetik, Clarice tahu waktunya sudah tak banyak lagi.

Jelas-jelas kehidupannya dengan Lewis baru saja akan mulai, ia mengira mereka bisa hidup dengan tenang seperti ini selamanya. Seperti pasangan suami istri biasa yang lainnya, setiap hari berangkat dan pulang kerja, setelah bangun tidur duduk dan sarapan bersama, sebelum tidur bisa saling berciuman dan mengucapkan selamat tidur, ia juga ingin melahirkan seorang anak untuknya, lalu di akhir pekan mereka bisa mengajak kedua anak mereka pergi bermain di taman hiburan...... Ia masih ingin terus menggandeng tangannya, berjalan bersama, berjalan bersama sampai rambut mereka memutih.

Namun, seiring dengan berjalannya bom waktu ini, nyawa Clarice juga hanya tertinggal sepuluh menit ini saja.

Pandangan matanya mulai kabur, air matanya bercucuran tak terkendali. Ia memandangi Lewis, memandanginya dengan seksama, ia ingin mengingat wajah ini dalam-dalam.

Kalau memang ada kehidupan berikutnya, ia pasti akan pergi mencarinya.

Kalau boleh, di kehidupan berikutnya, tolong beri mereka waktu lebih banyak lagi. Ia benar-benar ingin hidup sampai tua bersamanya, melihatnya berubah menjadi kakek tua, saat itu, dirinya sendiri juga sudah berubah menjadi seorang nenek tua.

"Lewis, aku benar-benar takut mati...... Aku dulu pernah berpikir, kalau suatu hari nanti, aku sudah menua, aku ingin mati di dalam pelukanmu, dengan begitu, aku pasti tak akan takut......"

"Bodoh, jangan berbicara hal-hal bodoh, aku tak akan membiarkanmu mati. Para ahli penjinak bom akan segera datang." Lewis menghiburnya dengan lembut, jari-jarinya yang panjang menghapuskan air mata di wajahnya yang terus menerus mengalir keluar.

Clarice tak ingin menangis, ia hanya ingin memeluk Lewis erat-erat untuk yang terakhir kalinya. Namun, tubuhnya terikat, Lewis sama sekali tidak bisa melepaskannya, lagipula, satu gerakan saja mungkin bisa membuat perlengkapan anti getaran yang ada di bom terangsang, bom itu bisa meledak sewaktu-waktu.

"Lewis, kalau aku mati, jangan sedih terlalu lama, hidupmu masih panjang, kau harus hidup dengan baik...... Jangan beritahu Dyson kalau aku ini adalah ibunya, cari seorang wanita yang baik untuk menjadi ibunya, aku tak bisa menjadi seorang istri ataupun ibu yang baik...... Lewis, maafkan aku......"

"Jangan bicara seperti itu, aku tak ingin mendengarnya!" Lewis memotong perkataan Clarice, matanya pun memerah. Kalau ia tak menahannya dengan sekuat tenaga, air matanya mungkin sudah bercucuran dari tadi.

Tapi ia tak boleh menangis, setidaknya, ia tak boleh menampakkan sisi lemahnya di hadapan Clarice. Dirinya adalah penopang Clarice satu-satunya.

Tiba-tiba, Alex dan orang-orangnya masuk ke dalam, Alex memegang remote David itu di tangannya.

David sudah ditangkap oleh mereka, helikopter apanya, semua itu hanya tipuannya saja, dari awal ia sudah menyiapkan mobil di belakang pabrik dan berencana untuk pergi. Begitu uangnya sampai, ia bisa langsung kabur. Namun ia sama sekali tak berencana untuk melepaskan Clarice, oleh karena itu, remote itu sebenarnya hanyalah properti mainan saja, begitu bom waktu itu diaktifkan, tak akan bisas berhenti lagi.

David tahu jelas, membuat Clarice mati itu sama artinya dengan menghancurkan Lewis.

"Lewis, remote ini hanya tipuan saja, bom itu akan segera meledak, cepat pergi." Alex dan dua orang lainnya maju dan menarik Lewis, hendak membawanya pergi dari sana.

Waktu yang tersisa tak lebih dari lima menit, Clarice sama sekali tak tertolong lagi, tak mungkin mereka membiarkan Lewis juga ikut bersamanya.

"Clarice, maaf, kita sudah berusaha keras." Alex melihat Clarice dengan tatapan mata penuh rasa bersalah.

Wajah Clarice beruraikan air mata, wajahnya yang cantik sudah tak tampak begitu jelas lagi. Ia menatap Lewis dalam-dalam, menggigit bibirnya dengan erat, namun di dalam hatinya, ia terus memanggil-manggil nama Lewis.

Ia sangat takut, benar-benar sangat takut. Mungkin karena Lewis sudah memberinya terlalu banyak harapan dan kehangatan yang membuatnya menjadi seorang yang penakut dan pengecut, ia tak memiliki keberanian saat ia pasrah dan langsung melompat ke arus lalu lintas seperti dulu lagi.

Mungkin kalau sudah benar-benar pasrah, barulah seseorang akan merasa tak takut lagi. Namun sekarang, dirinya masih hidup, juga masih mencintainya.

Alex dan seorang pria yang tinggi dan besar berjalan kemari, mereka berdua masing-masin memegangi lengan Lewis, menyeret tubuh Lewis menjauh dari Clarice dengan paksa.

"Lepaskan aku!" teriak Lewis dengan marah, namun Alex dan orang itu tetap tak melepaskan tangannya. Lewis pun naik pitam dan langsung menghajar Alex, lalu melepaskan genggaman kedua orang itu.

Alex tak menyangka akan mendapat pukulan itu, ia langsung terlempar dan terjatuh ke belakang.

"Lewis, kau ini cari mati ya!" teriaknya panik.

Lalu, Lewis pun kembali berjalan ke samping Clarice, ia melihat sisa waktu yang tertera pada bom waktu itu, lalu berbalik melihat ke arah Alex dan kawan-kawannya, ia pun berkata dengan tenang dan dingin, "Bawa semua orang pergi dari sini, untuk menjamin keselamatan kalian, pergilah setidaknya sepuluh meter lebih dari sini."

Karena sampai saat ini mereka masih belum bisa memastikan kekuatan ledakan ini sebesar apa, menyuruh semua orang menjauh dari sana adalah pilihan yang terbaik.

"Pergi, Lewis, cepat pergi......" teriak Clarice yang terikat di pilar itu dengan suara seraknya. Ia mengerahkan semua tenaga yang tersisa di tubuhnya, saat ini ia hanya menginginkan Lewis untuk pergi dari tempat itu, ia tak akan membiarkannya mati bersamanya.

Tidak ada artinya berbuat seperti itu.

"Aku tidak akan pergi, mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian." kata Lewis padanya.

Clarice menggeleng-gelengkan kepalanya sekuat tenaga, air matanya terus bercucuran keluar. Clarice sudah kelaparan selama dua hari, ia dehidrasi total, ia mengira bahwa dirinya sudah tidak punya tenaga yang tersisa untuk menangis. Namun, saat Lewis berkata tak akan meninggalkannya sendirian, air matanya pun kembali mengalir lagi.

Cukup, begini saja sudah cukup. Ada seorang pria yang menggunakan nyawanya untuk mencintainya sudah cukup baginya, ia merasa ia akan mati tanpa penyesalan. Mana mungkin ia rela mengajak pria itu mati bersamanya.

"Lewis, pergi, cepat pergi! Dyson sudah tak punya ibu lagi, apa kau ingin melihatnya tak mempunyai ayah juga?"

"Lewis, cepat pergi bersamaku, kau tidak bisa mati di sini begini saja, sama sekali tidak ada artinya." Tiba-tiba, Alex maju dan menariknya lagi.

Setiap orang pasti akan mati, tapi cara mati setiap orang juga berbeda-beda, kalau dia memilih utnuk membuang nyawanya begitu saja di sini, itu berarti dia sama sekali tidak menghargai dan tak bertanggungjawab pada nyawanya.

Lewis melepaskan tangan Alex lagi, ia bersikeras untuk tinggal di sana.

"Daripada Dyson, yang lebih kucintai adalah dirimu." katanya sambil melihat mata Clarice dengan pandangan yang penuh dengan kepahitan.

Lalu, ia pun berbalik dan melihat ke arah Alex, sorot matanya begitu dalam. Lewis Tang yang selalu berada di atas dan terbiasa mengendalikan semua dengan tangannya sendiri ternyata juga bisa pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa.

Situasi di hadapannya sekarang ini mirip sekali dengan kejadian saat Clarice kecelakaan waktu itu, Lewis yang waktu itu masih hidup, namun rasanya jauh lebih menderita daripada mati.

Alex tahu ia tak bisa membujuknya lagi, tak ada orang yang bisa mengganggu gugat keputusan Lewis itu.

"Alex, bantu aku jaga ibuku dan Dyson, kalau dia sudah besar nanti, katakan padanya aku minta maaf, maafkan aku yang egois ini...... Terima kasih, kawan."

Ia tidak bisa meninggalkan Clarice dan hidup sendiri di dunia ini, oleh karena itu, ia hanya bisa menjadi seorang ayah yang tak bertanggungjawab, ia bisa meninggalkan harta yang berlimpah pada Dyson, namun ia hanya bisa membuatnya hidup di kehidupan yang bergelimang harta itu.

Mata Alex juga mulai basah, perkataan Lewis itu terdengar seperti pesan-pesan terakhirnya.

Mereka berdua sudah kenal sejak di sekolah, tak terasa belasan tahun pun berlalu, dan detik-detik ini mungkin adalah detik-detik terakhir mereka bersama.

Ia memandangi Lewis, sambil mundur selangkah demi selangkah, dan akhirnya ia keluar dari pabrik tua itu dengan membawa orang-orang lainnya ke jarak yang lebih aman.

Ketika itu, di dalam pabrik tua yang gelap, kosong, dan kotor itu, hanya tersisa Clarice dan Lewis.

Mati bersama di tempat seperti ini, mereka benar-benar tak berdaya.

Saat penghitung waktu di bom itu mulai memasuki detik-detik terakhir, Clarice tahu, Lewis tak akan pergi.

Selama ini, ia selalu menghinanya bodoh, sebenarnya, dialah orang terbodoh yang ada di dunia ini.

Saat bom itu hampir meledak, Lewis memeluknya erat-erat, menciumi keningnya, suaranya terdengar sangat pelan dan lembut, seperti saat ia mengucapkan selamat tidur biasanya.

Katanya, "Clarice jangan takut, aku menemanimu."

Dia tahu, Claricenya itu takut gelap dan takut kesepian, mana mungkin ia tega membiarkannya pergi sendirian.

Dulu pada waktu hujan turun, Clarice selalu takut dan bersembunyi dalam pelukannya, kalau dia ada operasi dan tidak ada di sampingnya, Clarice akan menyalakan semua lampu di rumah, membawa gulingnya duduk di sofa ruang tamu, menunggunya pulang ke rumah dengan bodohnya, ia harus berada dalam pelukannya baru bisa tertidur nyenyak.

Lewis berpikir, saat bom itu meledak, pasti sakit rasanya, Clarice paling takut sakit. Apa dengan memeluknya seperti ini mungkin tidak akan terasa sesakit itu?

Tak peduli hidup atau mati, ke surga atau ke neraka, ia akan terus dan terus berada di sampingnya.

10, 9, 8...... 3, 2, 1...... Setelah penghitung waktu itu menunjukkan angka yang terakhir, penghitung waktu itu terus mengeluarkan bunyi keras yang menusuk telinga. Lewis memeluk Clarice erat-erat, di saat kematian datang menghadang, ia malah berubah sangat amat tenang, yang terbesit dalam pikirannya hanyalah wanita yang ada dalam pelukannya ini.

Mendengar bunyi alarm yang menusuk telinga itu, Clarice mendekapkan kepalanya ke dada Lewis dan menahan nafasnya. Ia mengira dirinya akan sangat takut, namun, ada Lewis yang menemaninya, ternyata ia sama sekali tidak takut.

Lahir di sarang yang berbeda, namun mati di lubang yang sama, bagi Clarice, hal ini adalah hal yang sangat membahagiakan.

Seketika, Clarice merasa dirinya sangat amat gembira.

Namun, waktu di penghitung waktu itu sudah habis, setelah alarm bom itu berdering kencang, peristiwa yang ada dalam bayangan mereka tidak terjadi. Bom itu tidak meledak, Clarice yang menahan nafasnya hampir kehabisan nafas, ia membuka matanya, ternyata dunia ini masih sama seperti asalnya.

Novel Terkait

His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
3 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu