Eternal Love - Bab 83 Karya anak itu

“Brakkk”, suara pintu terbuka.

Alberto menerobos masuk, apa yang tampak di depan mata membuatnya terkejut.

Miranda terbaring di lantai, rambut berantakan, wajah mungil yang tadinya cantik sudah membengkak, sudut bibirnya berdarah, gaun pesta di tubuh sudah tersobek, samar-samar tampak kulitnya yang putih.

Matanya berlinang air mata, kedua mata dengan tatapan kosong dan putus asa.

Sedangkan pria yang duduk di atas tubuhnya sedang menyobek pakaiannya dengan bengis, sambil di mulutnya mengomel, “Siapa suruh kamu tidak bekerja sama, kalau hari ini aku tidak memberikan pelajaran ke kamu, maka aku bukan pria……”

Belum selesai pria tersebut bicara, gerakannya sudah terhenti oleh suara “Brakkk”, lalu langsung menoleh ke pintu.

Tampak sosok yang bertubuh kekar masuk, hawa membunuh yang terpancar dari dia membuat pria itu merasa tercekam, tapi ia tetap bertanya dengan keras : “Siapa kamu? Berani merusak hal baik aku?”

Alberto marah besar, ditendangnya pria tersebut.

“Aaa!” pria itu menabrak ke dinding.

Pria itu meringis kesakitan dan berusaha berdiri, melihat Alberto ingin menggendong Miranda, dia pun maju ingin merebut Miranda.

Saat ini juga, kaki panjang Alberto menendangnya lagi ke lantai…

Kali ini, pria itu langsung pingsan.

Miranda merasa dirinya seperti berada di dalam api, yang berusaha ingin meronta keluar, tapi tidak menemukan jalan keluar.

Badannya sakit, sangat panas, sekujur badannya gemetar.

Tidak nyaman, rasanya tidak nyaman sekali!

“Kakak pertama……” Tanpa sadar dia bergumam, dengan air mata berlinangan.

Melihat dia begitu meyedihkan, Alberto tidak tega sekali, dia lepas jasnya untuk menutupi Miranda, kemudian memeluknya.

“Sudah tidak apa-apa.” Ujarnya lembut.

Pelukan hangat yang familiar membuat hati Miranda yang ketakutan sedikit lebih membaik, tapi rasa panas dalam tubuhnya membuat dia mencengkram leher baju Alberto.

“Kak, aku tidak nyaman sekali rasanya……tidak nyaman sekali……”

Dia agak terengah-engah, seperti anak kecil tidak berdaya yang meminta bantuan.

Alberto mengerutkan dahi, dia bisa merasakan panas dari tubuhnya, panas yang tidak biasa.

Rasional Miranda sudah mulai dihancurkan oleh efek obat, kedua lengan yang putih mulus melingkar ke lehernya, wajah menempel ke lehernya, hembusan nafas yang panas mengenai kulitnya.

Alberto mulai merasa ada yang tidak benar!

Dia menoleh menatapnya, tampak dia sedang memejamkan kedua mata dengan dahi berkerut, seolah sedang menahan sesuatu.

Sekejap muncul suatu pikiran di hatinya, serta seketika menatap ke pria yang pingsan di lantai dengan tatapan dingin dan serius, berani-beraninya memberikan obat ke dia?

Niat untuk membunuh pria itu pun bahkan muncul di benaknya.

Tapi orang yang di dalam pelukannya mulai menggerakkan badan sana sini, dia pun menoleh ke pelayan wanita yang berdiri di pintu, “Lapor polisi! Dan semua yang terjadi malam ini, pihak hotel harus memberikan penjelasan.”

Suaranya tidak ramah sekali, dingin bagaikan salju di musim dingin, membuat pelayan wanita juga merasa suhu di sekitarnya juga menurun, tanpa sadar tubuhnya menggigil, kemudian mengangguk dengan ketakutan.

Alberto menggendong Miranda keluar dari hotel, supir sudah menunggu di depan pintu dari tadi.

Setelah masuk ke mobil, ia langsung menyuruhnya jalan, dengan kecepatan tercepat pergi ke rumah sakit.

Mendengar itu, tanpa banyak bertanya, supir tersebut langsung tancap gas, mobil pun menerobos bagaikan panah yang dilepas.

“Tidak nyaman sekali……”

Miranda merintih, dari suaranya terdengar seperti tersedu-sedu.

Alberto yang mendengar suara pun menatapnya, tampak dia sedang menarik pakaiannya, pakaian yang tadinya memang sudah sobek langsung terbuka sekali ditarik olehnya, menampakkan kulitnya yang putih mulus.

Alberto menarik nafas dalam-dalam, lalu mengenggam kedua tangannya yang tidak diam, “Tenang, sebentar lagi sampai kerumah sakit.”

Tapi Miranda yang sudah kehilangan rasional sama sekali tidak mendengar suaranya, hanya merasa sentuhannya terasa dingin, membuat panas di tubuhnya terasa berkurang.

Dia ingin lebih.

Badannya seperti digigit oleh ribuan semut, rasa yang demikian membuat Miranda merintih dan berusaha meronta.

Dia yang tidak bisa diam membuat Alberto mengerutkan dahi, diperintahnya supir yang di depan, “Lebih cepat lagi.”

Mendengar perintahnya, supir yang dari tadi menatap lurus ke depan tersentak, segera ia menancap gas lagi dan menerobos lampu merah, akhirnya sampai di rumah sakit sebelum semuanya menjadi tidak terkontrol.

Alberto menggendong Miranda ke UGD, dokter di sana terkejut oleh Alberto yang garang: “Ada yang bisa dibantu?”

“Dia diberi obat oleh orang.”

Jawaban yang singkat, padat, dan jelas, dokter segera menyuruh Alberto membawa Miranda ke ruang pasien.

Setelah disuntik, Miranda baru perlahan mulai tenang dan kemudian terlelap.

Alberto berdiri di samping ranjang menatap pipinya yang merah dan bengkak, bekas telapak tangan di pipinya tampak jelas sekali, bisa diketahui seberapa kuat tamparan itu.

Tatapan matanya tajam, serta mengeluarkan hawa dingin di sekitarnya.

Mengingat apa yang dia lihat ketika mendobrak masuk tadi, ketidakberdayaannya, keputusasaannya, semuanya seperti masih di depan mata, matanya memancarkan hawa membunuh, dia ingin membunuh pria itu.

Dia tidak bisa membayangkan bahaya apa yang akan dihadapi Miranda kalau dirinya terlambat sedikit lagi.

Dia tidak akan memaafkan pria itu, semua penderitaan yang Miranda dapatkan, dia harus membuat pria tersebut mendapatkan pembalasannya berkali-kali lipat.

Alberto membalikkan badan keluar dari kamar pasien, lalu menelepon ke asisten, menyuruhnya untuk mengurus masalah malam ini, dia ingin tahu sebenarnya siapa yang membuat dia minum obat.

“Direktur.” Sang supir datang ke hadapannya.

Alberto menoleh ke dia, supir tersebut menelan air ludah, dengan hati-hati ia berkata : “Apa anda mau merapikan penampilan anda dulu?”

Ia mengangkaat alis dan menundukkan kepala menatap dirinya, tampak kemejanya sudah berantakan, dasinya juga miring, kelihatan sangat menyedihkan.

Ini adalah karya anak itu.

Mengingat keramahan dia di mobil tadi, Alberto merasa hawa panas dalam tubuh dia sepertinya belum hilang total.

Novel Terkait

Cinta Tak Biasa

Cinta Tak Biasa

Susanti
Cerpen
4 tahun yang lalu

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu