Eternal Love - Bab 71 Aku Percaya Padamu

Alberto Ji menoleh melihat sekujur tubuhnya yang basah. Alberto Ji mengangkat alisnya, ia tidak memperhatikan situasinya karena daritadi terus fokus pada Adelina Gu.

Seluruh tubuhnya menggigil, kedua mata yang biasanya selalu berkilau, kehilangan cahayanya karena ketakutan yang ia rasakan.

Alberto Ji melepas mantelnya, dengan lembut mengenakannya padanya, "Jangan khawatir, Adelina akan baik-baik saja."

Kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhnya membuat Miranda Wen terpaku sejenak. Tanpa sadar, hidungnya terasa masam saat ia menoleh ke samping melihat mantel di bahunya.

Pada saat ini, kenyamanan dari kakak itu seperti obat penenang yang sedikit menenangkan suasana hatinya.

Dia menjabat tangannya yang dingin, menatapnya, dan berkata dengan penuh syukur, "Terima kasih, Kak."

Mata Alberto Ji berkedip sedikit dan dia memindahkan tatapan matanya kembali ke ruang IGD tanpa mengatakan apa-apa.

Ada derap langkah kaki di koridor. Terlihat bibi berlari ke Alberto Ji, meraih tangannya, bertanya dengan cemas, "Alberto, bagaimana keadaan Adelina?"

"Masih di ruang IGD."

Bibi hampir terjatuh mendengar jawaban ini. Alberto Ji membantunya dengan cepat.

Putrinya yang malang!

Wajah Bibi terlihat begitu sedih, Tiba-tiba, matanya menyapu Miranda Wen yang berdiri di samping Alberto Ji. Tatapan matanya tiba-tiba menjadi tajam, dia bergegas ke depan Miranda Wen dalam satu langkah, lalu mendaratkan satu tamparan di pipinya.

"Kamu yang mendorong Adelina ke danau, iya kan? Kamu ini sedang mencoba membunuhnya ya?" Bibi berteriak histeris pada Miranda Wen.

Tamparan ini datang begitu tiba-tiba. Miranda Wen belum sepenuhnya meresponsnya, ia hanya merasakan rasa panas menyerbak di pipinya.

Melihatnya seperti ini, amarah bibi semakin meningkat lagi, ia mengangkat tangannya untuk menamparnya lagi.

Pada saat ini, Alberto Ji melihatnya dan langsung menghentikannya dengan cepat.

"Alberto, apa yang kamu lakukan?" Bibi menatap Alberto Ji dengan penuh ketidakpuasan.

"Bibi, tenang sedikit." Alberto Ji menenangkannya.

"Tenang? Bagaimana aku bisa tenang?" Bibi menunjuk Miranda Wen, tatapan matanya dipenuhi kebencian, suaranya menjadi tajam: "Adelina hampir terbunuh oleh wanita ini, kamu menyuruhku untuk bagaimana tenang?"

"Sudah!" Kakek Ji yang menemani bibi, berteriak, "Adelina masih di ruang IGD. Suara berisikmu ini bagaimana kalau memengaruhi dokter yang sedang melakukan penyematan di sana? Kalau ada apa-apa, bahas lagi saat kita sudah di rumah nanti."

Bibi dengan enggan menarik tangannya setelah mendengar ucapan Kakek Ji. Tetapi dia tetap tidak bisa membiarkan Miranda Wen pergi begitu saja.

Dia menatap Miranda Wen dengan keras, "Kalau terjadi sesuatu pada Adelina, kamu tidak akan pernah selesai berurusan denganku."

Miranda Wen tetap berdiri di tempatnya, wajahnya pucat pasi, dia tidak bisa berdebat saat menghadapi kemarahan bibi yang begitu membuncah.

Dia ingin memberi tahu mereka, bukan dia yang mendorong Adelina, bukan dia, benar-benar bukan dia...

Dia kesal, tangannya berantakan, wajahnya kosong dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Alberto Ji menatapnya, mata hitam menjentikkan jejak makna yang tidak diketahui maksudnya apa.

Seiring waktu berlalu, lampu darurat di ruang IGD masih menyala. Orang-orang yang menunggu di luar menatap ruang IGD dengan cemas.

Setelah sekitar satu jam, pintu ruang IGD akhirnya terbuka.

Dokter pun keluar. Kakek Ji serta bibinya dan Alberto Ji bergegas menyambut mereka, tetapi Miranda Wen tidak berani mendekat, ia hanya menatap tajam ke arah sang dokter. Tatapan matanya dipenuhi rasa gelisah.

"Pasien hanya tersedak sedikit air, penyakitkan kambuh karena ia ketakutan dan panik. Sekarang ia sudah melalui masa kritisnya, dia harus dirawat di rumah sakit selama dua hari."

Bibi menangis gembira saat mendengar putrinya dalam keadaan baik-baik saja, tiada hentinya juga terus berterima kasih pada dokter.

"Kalian bisa masuk untuk melihat pasien." Ucap dokter mereka sambil tersenyum.

Bibi langsung bergegas masuk saat mendengar perkataan dokter itu, Kakek Ji dengan cepat mengikutinya juga.

Alberto Ji berterima kasih kepada dokter, lalu berbalik ke Miranda Wen dan mendapati dia diam-diam menyeka air matanya, alisnya pun tak henti-hentinya mengerut.

Saraf tegang Miranda Wen langsung mereda saat mendengar Adelina baik-baik saja. Air mata yang ia coba untuk terus ditahan, akhirnya tak tertahan lagi. Seperti air yang menerobos tanggul, air matanya langsung membahasi pipinya.

Karena takut ketahuan, dia dengan cepat menundukkan kepalanya dan menyeka air matanya dengan panik.

Tiba-tiba, sepasang sepatu kasual muncul di hadapannya, diikuti oleh suara yang familier, "Apa kamu mau masuk untuk melihat Adelina."

Dia tidak berani menatapnya, takut dia akan menangis, menggelengkan kepalanya, "Bibi ada di dalam, aku hanya akan membuatnya marah."

Dia mencoba menyembunyikan fakta kalau dirinya menangis, tetapi dia tidak tahu suaranya membawa tangisannya.

Alberto Ji menghela nafas dalam dari lubuk hatinya. Ia tidak menyanggah ucapannya, tapi berkata: "Baiklah kita pergi, aku akan mengantarmu pulang. Kamu harus pulang untuk ganti baju, kalau tidak nanti kamu bisa flu. Sekalian membawa pakaian ganti Adelina juga."

Miranda Wen mengangguk dan berjalan dengan patuh di belakangnya.

Dalam perjalanan pulang, Miranda Wen terus memandang ke luar jendela mobil. Emosinya terlihat agak turun.

Alberto Ji berbalik menatapnya sambil menunggu lampu merah, melihatnya menatap keluar jendela dengan kecewa, ada kesedihan samar di antara matanya.

Dia merenung sejenak, lalu perlahan berkata, "Jangan ambil hati perkataan bibi. Bibi mengurus Adelina sendirian. Adelina adalah hidupnya, makanya dia begitu terpukul."

Miranda Wen menggelengkan kepalanya, "Aku bisa mengerti suasana hati bibi, tapi ini masalah ini salahku juga..."

Tidak akan ada hal seperti itu, jika dia tidak pergi ke sana sepasang ibu anak itu.

Miranda Wen merasa sangat bersalah begitu teringat akan hal ini.

Alberto Ji melihat suasana hatinya semakin turun, ia tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyentuh kepalanya. Berkata dengan lembut, "Tidak peduli apapun, aku percaya kamu tidak akan sampai mendorong Adelina."

Dia percaya padanya.

Kepercayaannya membuat mata Miranda Wen tiba-tiba memerah, dia sangat ingin menangis, tetapi tidak berani menangis. Dia dengan cepat menoleh melihat keluar jendela, menggigit bibirnya dengan erat, menahan air mata di matanya.

……

Setelah kembali ke rumah, Alberto Ji membantu Xin Yan mendapatkan pakaian gantinya, lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa.

Miranda Wen kembali ke kamar, ia baru saja mengambil baju dan ingin pergi untuk mencuci baju, pintu kamarnya tiba-tiba didorong oleh seseorang.

Miranda Wen dengan cepat berbalik melihat orang yang datang itu. Ia melihat ibu mertuanya, Joyce Qin berjalan ke arahnya dengan sengit, menunjuk ke hidungnya dan bertanya, "Apakah kamu mendorong Adelina ke dalam air?"

"Bukan aku." Miranda Wen dengan cepat menggelengkan kepalanya menyangkalnya.

Joyce Qin tidak memercayainya, menyaksikan matanya dipenuhi dengan kedinginan, "Meskipun marga Adelina adalah Gu, tapi dia tetaplah emas dari keluarga Ji, apa semua ini atas kehendakmu? Kamu seperti ini, ingin seperti apa menempatkan posisiku? Menurutmu, aku harus bagaimana menghadapi bibi nanti?"

"Bu, ini benar-benar bukan aku..."

Miranda Wen dengan cemas ingin menjelaskan dengan jelas, tetapi Joyce Qin tidak mendengarkan penjelasannya dan langsung memotong ucapannya, "Kamu berlutut di aula leluhur untukku. Tidak perlu makan makan malam ini juga, kamu tidak boleh keluar tanpa izin dariku!"

Ibu mertuanya tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Miranda Wen tersenyum pahit, pergi ke aula leluhur dan berlutut.

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
5 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
5 tahun yang lalu