Eternal Love - Bab 15 Bukan Ia yang Menikah, Masih Saja Seniat Ini

Keesokan harinya pagi-pagi sekali, Miranda terbangun oleh sebuah suara jam bekernya.

Ia mengernyitkan dahi, dengan kepala yang sakit ia membuka mata, didapatinya ia dan Elisha ternyata tertidur di lantai.

Dan lagi, lantainya sangat berantakan, tak hanya terdapat botol bir kosong yang bergelimpangan di seluruh lantai, juga ada cemilan yang belum habis termakan.

Ia mengusap-usap kepala, mendorong Elisha untuk membangunkannya.

Setelah Elisha terbangun, melihat pemandangan ini, ia berkata dengan lebih terkejut, "Apa yang telah terjadi? Sial, sebenarnya berapa banyak yang telah kita minum, gawat, jam berapa sekarang, aku masih harus berangkat kerja!"

Ia tergesa-gesa bangkit dan melesat ke kamar mandi.

Miranda membereskan ruang tamu, saat baru membereskan setengah, dilihatnya Elisha telah menyelip keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru.

"Miranda, ada makanan di dalam kulkas, istirahatlah dulu di sini baru pulang, kalau tidak ingin pulang tinggallah di sini juga tak apa."

"Baiklah, aku mengerti, cepat pergilah bekerja."

Elisha pun pergi bekerja, Miranda yang senggang tidak ada urusan itu, setelah selesai membereskan ruangan, ia pun meringkuk di sofa untuk beristirahat.

Ia mengambil ponselnya, saat akan melihat jam di ponselnya, ia mendapati bahwa ada 10 panggilan tak terjawab di ponselnya, sepertinya semua adalah telepon dari rumah.

Tapi itu hanya untuk mendesaknya agar cepat pulang saja, mengenai tujuan memintanya pulang, ia tak ingin memikirkannya lebih dalam.

Ia pun melempar ponselnya ke pinggir, dan lagi-lagi merasa mengantuk, ia sama sekali tidak melihat dalam daftar panggilan tak terjawabnya masih ada beberapa nomor asing.

Ia memejamkan mata, namun ia tak bisa tidur, Miranda pun memutuskan untuk kembali bangkit, lalu pergi ke rumah sakit menjenguk adik.

Sesampainya di rumah sakit, kebetulan ia bertepatan dengan dokter yang memeriksa kamar.

Miranda menghampirinya, dengan suara pelan bertanya, "Dokter, bagaimana keadaan adikku?"

"Nona Wen tenang saja, adikmu sedang perlahan membaik, beberapa saat lagi mungkin sudah bisa sadar."

Setelah mendengar perkataannya, beban berat dalam hati Miranda akhirnya mendarat.

Meskipun ia sangat menyesal menyanggupi lamaran keluarga Ji, namun karena adiknya pulih sedikit demi sedikit, hatinya pun menjadi sedikit rela.

Di saat Miranda sedang menemani adiknya, teleponnya tiba-tiba berdering.

Ia mengira itu masih adalah telepon dari rumah, tanpa berpikir sedikit pun ia menekannya.

Tapi 2 menit kemudian, teleponnya kembali berdering, hal ini membuat Miranda sedikit kesal.

Ia pikir, ayahnya benar-benar bersikeras, demikian takutnya terjadi sesuatu padanya, sebelumnya ia benar-benar tak pernah melihat ayah begini memperhatikannya.

Saat ia baru saja mengambil teleponnya untuk berdebat dengan ayahnya, dilihatnya ternyata adalah sebuah nomor tak dikenal.

Dalam hati, Miranda bingung, namun ia juga khawatir itu adalah telepon dari keluarga Ji, setelah ragu untuk beberapa saat, ia pun mengangkatnya.

"Kamu berani menutup teleponku?"

Terdengar suara dingin Alberto dari ujung telepon, dalam hati Miranda tersentak, ia kaget hingga hampir melempar ponselnya.

Ia benar-benar tidak menyangka, kalau itu adalah telepon dari Alberto.

Kalau tahu itu dia, diberi 10 nyali pun, ia tak akan berani menutupnya.

"Maaf, maaf, aku kira ayahku lagi-lagi mau merepotkanku sehingga kututup, dan lagi tidak ada nomor telepon, begitu ponsel menampakkan nomor tak dikenal, aku pun tidak mengangkatnya. Kamu kan juga tahu sekarang ini terlalu banyak penipuan via telepon .... "

Miranda mengoceh menjelaskan.

Alberto mendengus.

Di dunia ini, ialah orang pertama yang berani menutup teleponnya!

"Di mana?"

"Rumah sakit."

Miranda menjawab dengan jujur.

Alberto tidak menjawab, dan langsung mematikan telepon.

Mendengar bunyi "Tut ... tut ..." dari pihak lawan, ia pun tertegun.

Orang ini benar-benar aneh, sudah meelepon tapi tidak bilang apa-apa.

Lima menit kemudian, teleponnya lagi-lagi berdering. Kali ini Miranda tanpa berani menunda 1 detik pun, langsung mengangkatnya.

"Keluarlah, aku di luar."

Selesai mengatakannya, ia pun menutup telepon.

Dalam hati Miranda mengomel, orang ini benar-benar tidak sopan, namun ia juga tidak berani tidak berjalan keluar.

Dari kejauhan, Miranda telah melihat Alberto berdiri di luar mobil.

Benar-benar tak perlu dibilang lagi, pria ini merupakan orang berkualitas tinggi di kalangan manusia.

Tubuh setinggi 180 cm lebih, berdiri di sana bagaikan seorang model, sepasang kaki panjangnya yang lurus begitu memesona, hari ini ia mengenakan kaus polo yang santai, ia terlihat sangat tampan hingga mengintimidasi, ia tampak angkuh nan dingin.

Miranda bergegas menghampirinya, sebelum ia sempat membuka mulutnya, dilihatnya Alberto mengernyitkan dahi, sorot matanya dipenuhi cemoohan.

Melihat sorot matanya, Miranda segera menunduk melihat pakaiannya, ia pun tahu apa yang dicemooh oleh Alberto.

"Kemarin aku pergi ke rumah temanku, tidak pulang, sehingga aku asal mengambil sepotong baju darinya. Maaf, bagaimana kalau aku pulang dan berganti pakaian dulu baru menemuimu?"

Miranda segera menjelaskan, kemarin ibu Alberto baru saja bilang apa pun yang ia lakukan harus memperhatikan wajah dan kehormatan keluarga Ji, hari ini ia langsung memalukan begini, juga membuatnya merasa agak canggung.

Alberto tidak ada usaha untuk mempedulikannya, ia hanya berkata dengan suara rendah, "Naik ke mobil."

"Ke mana?"

Tanya Miranda heran.

Alberto memandangnya heran. "Bukankah pernikahan telah ditetapkan pada pertengahan bulan depan? Sekarang kedua pihak keluarga sedang menyiapkan hal ini, hari ini kubawa kamu mencoba gaun pernikahan."

Selesai mengatakannya, ia tanpa sadar melihat kursi belakang.

Hingga saat ini, Miranda baru melihat Bernando di kursi belakang.

Tampangnya tidak tampak konyol, malahan dengan ramah ia tersenyum dan berkata, "Miranda Sang Istri, kita bertemu lagi, cepat naik, kakak akan membawa kita pergi bermain ...."

Wajah Miranda pun berubah pasrah.

Sebenarnya apa ia tahu apa arti dari "istri"?

Ataukah ia hanya merasa, bertambah 1 orang untuk menemaninya bermain?

Ia diam-diam mengkritik dalam hati, sambil memaksakan diri untuk naik ke mobil.

Alberto ini sangat baik pada adiknya, toh bukan ia yang menikah, namun ia seniat ini.

Tampaknya keluarga Ji sangat menyayangi Bernando, ibu Alberto juga tampak seperti orang yang tak boleh diganggu, sekarang ini ia benar-benar tidak bisa kembali lagi.

Novel Terkait

His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
3 tahun yang lalu

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu