Terpikat Sang Playboy - Bab 227 Restoran Thailand yang Baru Buka itu Benar-Benar Dermawan!

Ei, sepertinya Alex ada di taman kaca. Jangan-jangan ia langsung membawa wanita itu pulang ke taman kaca? Wah lancang sekali ia! Apakah ia tidak takut ketahuan ibunya?

Melihat raut marah pada wajah Tania, sudut mata dan ujung alis Alex pun menyiratkan tawa hangat yang lebih dalam.

“Bodoh, mana ada wanita atau apalah itu. Aku meninggalkan ponselku di bar dan aku juga tidak tahu wanita mana yang membantu mengangkat telepon darimu. Ponselku juga baru saja diantarkan Martin. Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja padanya. Dengan begitu kamu akan tahu apakah aku sedang berbohong atau tidak.” Alex tahu bahwa lebih baik ia langsung menjelaskan permasalahannya sejelas-jelasnya, untuk menghindari pikiran wanita itu yang bisa meracau kemana-mana.

Tania menatapnya dengan sedikit curiga. Dari ekspresinya, Alex tidak terlihat seperti sedang berbohong. Tapi mungkin juga ia dan Martin sudah membicarakan hal ini baik-baik. Mereka saudara akrab, sudah pasti Martin mau membantunya. Sekarang masalahnya hanya apakah Tania percaya atau tidak.

“Tidak percaya? Kalau begitu apakah aku perlu menelanjangi tubuhku supaya kamu bisa periksa ada tidaknya bekas kecupan atau semacamnya? Coba kamu pikir lagi baik-baik. Dengan karakterku ini, apakah aku masih takut ketahuan olehmu kalaupun aku berbuat seperti itu.” Melihat melihat raut Tania yang seperti setengah percaya dan setengah tidak, hati Alex pun merasa sedikit gelisah.

Yang Alex katakan juga bukannya sesuatu yang tidak masuk akal! Kalau Alex berlaku romantis, ia selalu berlaku tegas seperti telah melakukan sesuatu yang mulia. Tidak mungkin ia akan begitu menyembunyikan atau menutupinya.

“Baiklah, kali ini aku percaya padamu. Tapi lain kali kalau kamu mengatakan ponselmu tertinggal, aku tidak akan bisa percaya lagi.” ujar Tania setelah berpikir sejenak.

Alex bernapas lega di dalam hati. Untung saja Tania masih percaya padanya. Kalau tidak, maka usahanya lagi-lagi sia-sia.

“Martin memberitahuku bahwa barusan kamu menelpon untuk minta maaf? Aku sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata kamu juga bisa mengatakan maaf.” Tindakan Tania ini benar-benar membuat Alex merasa terkejut. Amarah dalam hatinya juga sepenuhnya telah hilang saat wanita itu bisa mengatakan maaf. Ini berarti, Tania masih mempedulikannya.

Wajah Tania secara tidak langsung merona merah, “Apa maksudmu? Aku juga orang yang punya akal sehat, mana mungkin ada orang yang tidak bisa berkata maaf? Sudahlah, aku tidak mau lagi berbicara denganmu. Aku mengantuk sekali, jadi kututup saja.” Tania pun langsung memutus sambungan telepon, wajahnya meninggalkan sedikit jejak tawa yang indah.

Hati yang awalnya merasa susah akhirnya berubah manis. Dengan senyum penuh arti, Tania masuk ke alam mimpi dengan cepat. Tidak peduli bagaimana nantinya, setidaknya hatinya merasa sangat bahagia untuk saat ini.

Pagi hari pukul setengah lima, ia diraup oleh Vincent untuk naik mobil dan pergi ke puncak gunung melihat matahari terbit. Di dalam mobil, Taniaia masih merasa mengantuk dan tertidur begitu sampai di puncak gunung.

Vincent tidak sampai hati membangunkannya. Ia melepas jasnya untuk menyelimuti Tania. Puncak gunung masih terasa sedikit dingin di awal musim gugur. Vincent turun dari mobil seorang diri, kemudian duduk di samping tebing dan menatap matahari yang perlahan-lahan muncul ke permukaan yang sejajar dengan arah pandangnya. Sinar pertama secara ajaib menyinari semua sampai pada dirinya sendiri. Pupil matanya hanya bisa melihat matahari dan Vincent hanya bisa menutup matanya karena sinar matahari yang terlalu menusuk.

Apakah ia harus selalu menjaga Tania dengan cara melindunginya dari dekat seperti ini? Tapi kalau hatinya sudah tidak disini, apalah gunanya raga?

Vincent benar-benar tidak menyukai perasaan menyerah yang tidak terelakkan seperti itu. Hatinya saat ini tercekik kesakitan.

Tania yang sudah cukup tidur terbangun saat matahari sudah bergantung setinggi-tingginya. Ia melihat waktu sekilas. Astaga, sudah pukul setengah sembilan!!

Tania turun dari mobil. Begitu melihat Vincent yang sedang duduk disana, ia pun berujar sambil berpura-pura marah, “Kenapa kamu tidak membangunkanku? Seorang diri merasakan indahnya matahari terbit.”

Vincent menolehkan kepala dan mengulurkan tangannya “Ayo duduk di sini.”

Tania berjalan mendekat dan dengan hati-hati duduk. Ia mengarahkan pandangannya sekilas ke bawah dan kepalanya langsung merasa sedikit pusing, “Di sini tinggi sekali. Kalau terpeleset, sepertinya tulang belulang saja tidak akan bisa ditemukan.” Tania sedikit takut ketinggian, tangannya dengan erat memegang baju Vincent karena takut jatuh.

“Semakin kamu berpikir seperti itu maka akan semakin takut. Kamu baru bisa melihat yang jauh saat berdiri di tempat yang tinggi, saat itu juga kamu tidak akan merasa takut. Apakah saat melihat ke bawah kamu tidak merasa hal indah ini benar-benar tidak ada bandingannya?”

“Perasaan seperti ini hanya disukai oleh seseorang yang berambisi besar. Aku terpikir saat kamu berusia 50 tahun, kamu pasti bisa menjadi orang yang lebih besar. Itu tidak mungkin dicapai oleh aku maupun kakakku. Lebih tepatnya, semua ini akan menjadi sia-sia kalau diberikan kepada orang seperti kami. Lebih baik diberikan kepadamu yang bisa berkembang menjadi lebih hebat. Sekarang aku mulai mengerti alasan dibalik keinginan ayahku.” Tania berujar sambil tertawa.

Vincent memutar kepalanya dan menatap Tania, “Kalau memiliki seluruh dunia berarti aku harus kehilanganmu, aku lebih memilih untuk tidak memiliki apapun.”

Bersandar pada Vincent sedekat ini, Tania diam-diam bisa merasakan luka dibalik pandangan matanya. Ya, pria itu sedang terluka. Mungkin benar seperti yang dikatakan Alex. Dari awal Vincent memang sudah tahu, hanya saja ia tidak mengatakan apapun padanya.

Bukankah keadaan seperti ini terasa begitu kejam untuk Vincent? Sepertinya akan lebih baik jika Tania bicara langsung saja. Tania tahu itu akan menyakiti hati Vincent, tapi sakit jangka panjang tidak lebih baik dari sakit jangka pendek.

Tania menjilat bibirnya, “Vincent, aku ingin mengatakan padamu—”

“Jangan katakan apapun—, diam dan temani saja aku seperti ini untuk sebentar.” Vincent dengan panik merangkul pundak Tania. Ia adalah pria yang sangat kuat, tapi saat ini ia sangat lemah dibandingkan dengan siapapun. Ia tidak bisa menerimanya.

Tania membendung keberaniannya. Ia ingin perlahan melangkah ditengah-tengah pria yang sedang panik itu, ia ingin sekali lagi memberanikan diri. Tapi situasi sudah tidak terasa mudah lagi. Apa yang harus ia lakukan dengan sikap Vincent yang seperti ini?

Tania bisa dengan sangat jelas memisahkan perasaannya sendiri, dan memisahkan dengan jelas perasaan mereka. Mencintai dan dicintai, sebenarnya semua sama-sama membuat seseorang menjadi sulit untuk tidak memiliki perasaan. Dengan kepribadiannya yang seperti ini, Tania tidak takut jika orang yang bersama dengannya menjadi keras, ia justru takut membuat orang yang bersamanya menjadi lemah.

Setelah duduk selama setengah jam, Vincent membawanya untuk sarapan. Ia kemudian mengantar Tania ke toko, sementara Alex berhenti di gang tersembunyi. Ia juga sudah bangun pukul setengah lima pagi dan mengumpat kepada dewa langit begitu melihat cuaca yang cerah. Pukul enam, Alex sudah sampai di sini dan menunggu. Menurut benaknya, seharusnya mereka sudah kembali sekitar pukul delapan. Tapi ternyata mereka baru datang pukul setengah 11. Alex sudah duduk dengan tidak tenang seperti orang gila.

Ini melihat matahari terbit atau berjemur?!

Sesampainya Tania di toko, ponselnya pun langsung berdering. Ternyata Alex yang meneleponnya. Tania berjalan masuk ke ruang istirahat dan menerima panggilannya, “Sejak kapan kamu berubah jadi Holmes?” Sebelah kakinya baru saja berpisah dari Vincent dan di langkah berikutnya panggilan dari Alex pun masuk. Kalau bukan menguntitnya, ini namanya apa?

“Matahari di puncak gunung sangat terlambat terbit, ya? Bilang saja mau melihat seharian. Setengah sebelas. Apakah kalian tidak kembali terlalu cepat?” Kemarahan tersirat jelas di balik ucapan Alex.

“Awalnya memang berencana untuk melihat seharian, tapi dari ribuan jarak jauhnya aku bisa merasakan kemarahan yang amat besar dari seseorang. Makanya rencananya pun berubah. Bukankah kamu puas aku kembali lebih cepat?” Tania berbicara sambil menahan ekspresi senyumnya.

Alex merasa marah sampai rasanya seperti muntah darah, “Malam ini kamu dan Vincent akan makan malam bersama, bukan? Di Jalan Damai ada sebuah restoran Thailand yang baru buka. Coba saja makan di sana, rasanya lumayan enak.”

“Trik apalagi yang kamu rencanakan?” Tania tahu Alex tidak mungkin berbuat sebaik ini tanpa alasan.

“Pergilah maka kamu akan tahu. Aku harus pergi ke kantor, sekian dulu.” Alex menutup telepon dan menyetir mobil meninggalkan pusat perbelanjaan.

Tania berjalan keluar dari ruang istirahat, seperti sedang memikirkan sesuatu sambil duduk di meja kasir di depan. Saat jam makan siang tiba, seorang pegawai yang baru kembali dari pergi makan di luar dengan heboh membawa setumpuk kertas menu, “Direktur, hari ini di Jalan Damai ada sebuah restoran Thailand yang baru buka. Tidak hanya bisa mencoba makanan dengan gratis, tapi juga ada undian kesempatan liburan ke Thailand! Nanti malam, ayo kita pergi bersama-sama! Kalau beruntung, mungkin saja kita menang undian!”

Begitu Tania mendengarnya, hampir saja ia tersedak mati oleh kopi di dalam mulutnya. Sepertinya modal restoran ini terlalu besar. Makan gratis dan undian? Apakah restorain itu ingin rugi?

Beberapa pegawai toko wanita lainnya yang mendengar juga menjadi sangat bersemangat. Mereka bersama-sama ribut membujuk Tania supaya hari ini lebih cepat menutup toko dan pergi makan bersama di restoran Thailand itu.

Novel Terkait

Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu