Unlimited Love - Bab 158 Berkah Setelah Kemalangan Untuk Stanley Yan (2)

“Ceritanya terlalu panjang. Kamu lihat dulu wajahmu.” Yesi Mo lalu mengeluarkan cermin rias dari dalam tasnya dan memberikannya pada Stanley Yan.

Melihat pantulan wajah yang tampak asing di cermin rias itu membuat mata Stanley Yan membelalak lebar, “Kenapa wajahku menjadi seperti ini? Sebenarnya, apa yang terjadi selama setengah tahun ini?”

“Kamu benar-benar tidak ingat?” Yesi Mo bertanya dengan ragu. Melihat Stanley Yan yang menggeleng, Yesi Mo pun bertanya lagi, “Apa kamu masih ingat Vivian Luo?”

“Siapa itu Vivian Luo? Apa aku seharusnya mengenal orang itu?” Melihat Yesi Mo yang menggangguk, Stanley Yan pun mengernyit dan menempelkan jarinya di sisi kepalanya, “Tapi... Kenapa aku benar-benar tidak memiliki ingatan apapun akan nama itu?”

Setelah tinggal sekian lama dengan Stanley Yan, Yesi Mo pun dapat dengan mudah mengetahui apakah pria itu sedang berbohong atau tidak.

Ia yakin Stanley Yan tidak sedang berpura-pura bodoh. Yesi Mo dapat mengira-kira sepertinya perkelahian di jalan kemarin malam itu disaat yang bersamaan membuat Stanley Yan mengingat kejadian di masa lalu, namun juga membuatnya kehilangan ingatan atas apa yang terjadi selama setengah tahun belakangan. Membuatnya hilang ingatan saat ia dan Vivian Luo berjalan memasuki aula pernikahan.

Menghadapi pertanyaan Stanley Yan, Yesi Mo pun menjadi ragu. Ia tidak tahu apakah sebaiknya ia memberitahu apa yang terjadi selama setengah tahun belakangan ini, tentang seberapa besar usahanya mendapatkan pria itu kembali ke sisinya.

Melihat keraguan Yesi Mo, Stanley Yan pun tidak mendesaknya. Ia malah dengan tenang menunggu Yesi Mo, sedikitpun tidak mendesaknya.

Yesi Mo akhirnya memutuskan untuk memberitahu segalanya pada Stanley Yan. Apapun yang terjadi selama setengah tahun belakangan ini, itu tetaplah ingatan Stanley Yan. Yesi Mo tidak bisa dan tidak memiliki hak untuk merenggut ingatannya dan membuang segala tindakannya di masa lalu.

Selagi mendengarkan cerita Yesi Mo, Stanley Yan tiba-tiba kembali teringat akan bagaimana ia kehilangan ingatannya karena apa yang terjadi. Bagaimana ia secara tidak sengaja melukai Yesi Mo dan Didi karena kehilangan ingatannya, bagaimana ia hampir saja merusak kesempatan untuk mereka bertiga berkumpul lagi menjadi satu keluarga.

“Sisi, maaf.” Stanley Yan menarik Yesi Mo masuk ke dalam dekapannya dan memeluknya erat. Ia lalu berujar dengan nada bersalah, “Aku sudah begitu melukaimu selama kurun waktu ini.”

Yesi Mo bergelung nyaman dalam dekapan Stanley Yan, lalu mengangkat kepalanya untuk menatap Stanley Yan dan berujar manis, “Aku sama sekali tidak terluka. Selama bisa bersama denganmu, selama kita bertiga bisa berkumpul menjadi satu keluarga, aku tidak keberatan akan apapun.”

Stanley Yan yang semula sudah merasa bersalah pun menjadi semakin merasa bersalah mendengarkan pengertian Yesi Mo.

“Tapi bagaimanapun juga, semua ini karena aku...”

Yesi Mo sontak menggeleng, “Ini bukan salahmu. Ingatanmu hilang, kamu tidak tahu siapa dirimu, tidak tahu bahwa kamu memiliki istri dan anak. Ini sama sekali bukan salahmu.”

“Sisi, terima kasih.”

Kedua orang itu berpelukan erat, membuat suasana dalam kamar rawat mendadak menjadi tenang namun tentram dan hangat.

Berita mengenai sadarnya Stanley Yan dengan cepat menyebar, bahkan sampai di telinga orang-orang terdekat mereka dengan kilat.

Robin Xiao datang, begitu pula Katty Yun. Andrew Ling dan Jennie Bai juga datang. Bahkan Marson Luo yang masih berada di kota R pun datang dengan secepat mungkin.

Setelah dirawat selama beberapa hari di rumah sakit, Yesi Mo pun membawa Stanley Yan kembali ke kediaman keluarga Mo yang ada di Washington.

Segala sesuatunya seolah kembali menjadi damai. Stanley Yan dan Yesi Mo seharian berduaan, namun tetap rasanya belum cukup.

Malam ketiga setelah keluar dari rumah sakit, Yesi Mo naik ke atas untuk memanggil Stanley Yan turun makan malam. Melihat rautnya yang tidak senang, Yesi Mo pun bertanya ada apa. Stanley Yan lalu menjawab bahwa ia merindukan Didi.

Yesi Mo mengusulkan untuk membawa Didi datang, namun Stanley Yan dengan cepat menggeleng, “Jangan lakukan itu untuk sementara waktu. Sepertinya Didi tidak bisa menerima wajahku.”

“Jadi, kamu berencana untuk tidak bertemu dengan Didi seumur hidupmu? Stanley, percayalah padaku bahwa bagaimanapun rupamu, Didi akan selalu menerimamu. Ia adalah putramu, darah dagingmu.” Yesi Mo menghibur Stanley Yan.

“Aku tahu ucapanmu itu tidak salah, tapi aku juga tidak bisa menemui Didi dengan tampilan yang seperti ini.”

Kekerasan kepala Stanley Yan ternyata melebihi perkiraan Yesi Mo. Setelah membujuknya untuk waktu yang lama, ia tetap gagal, akhirnya Yesi Mo bertanya apa yang pria itu ingin lakukan.

“Operasi plastik.”

Mendengar dua kata ini terlontar dari mulut Stanley Yan, Yesi Mo pun membeku sesaat.

Terpikirkan akan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang bisa saja terjadi, Yesi Mo pun sontak berusaha membujuk Stanley Yan. Tapi apapun bujuk rayu yang ia lontarkan, Stanley Yan sama sekali tidak ingin mengubah keputusannya. Ia malah bilang bahwa ia sudah menghubungi rumah sakit terbaik di Amerika dan meminta Robin Xiao memanggil dokter operasi plastik terbaik dari Korea. Hasilnya dijamin akan sempurna.

Kalau ia tidak bisa kembali ke wajahnya yang sebenarnya, Stanley Yan sama sekali tidak akan pergi menemui Didi. Yesi Mo pun menemui jalan buntu. Ia lalu terpikirkan akan industri operasi plastik yang sudah berkembang pesat di Korea. Selama bisa menemukan dokter terbaik dari institusi legal, maka risiko operasi itu nyaris tidak ada. Ini terserah pada Stanley Yan.

“Stanley, apa kamu benar-benar tidak mau bertemu dengan Didi?” tanya Yesi Mo ragu. Menurut pengamatannya, Stanley Yan sangat merindukan Didi.

“Tentu saja mau. Tapi tidak sekarang, tidak dengan penampilan yang seperti ini. Aku harus sedikit bersiap-siap.”

Stanley Yan memberikan seulas senyum misterius pada Yesi Mo.

Keesokan paginya, ketika Stanley Yan dengan seluruh wajahnya yang tertutup perban tebal dan hanya menyisakan mata dan mulutnya saja muncul di hadapan Yesi Mo, wanita itu sontak merasa terkejut sampai tidak bisa berkata-kata.

“Kalau seperti ini, Didi tidak mungkin tahu bahwa wajahku berubah, bukan?”

Stanley Yan menghampiri Yesi Mo dan tersenyum.

“Ya.” Yesi Mo tertawa tak berdaya melihatnya. Ia tahu Stanley Yan ingin bertemu dengan Didi, namun tidak ingin Didi tahu bahwa wajahnya telah berubah,

Sekarang adalah musim panas terpanas sepanjang empat musim di tahun ini. Dengan perban setebal itu membalut wajahnya, siapapun juga tidak akan tahan melihatnya.

Jangankan kepanasan, keringat yang mengalir itu akan cukup membuat kain perban itu basah kuyup.

Kecuali ia terus berada di dalam ruang tertutup yang menggunakan pendingin ruangan dan tidak pergi keluar sama sekali. Apa ini mungkin?

Dengan besarnya rasa cinta Stanley Yan pada Didi dan setelah sekian lama tidak bertemu, ia pasti ingin membawa Didi pergi keluar. Stanley Yan ini benar-benar mencari masalah.

Selain merasa lucu, Yesi Mo juga merasa sangat terharu. Ia terharu akan cinta ayah yang Stanley Yan berikan pada Didi, juga terharu akan niat baik pria itu.

Ketika Didi bertemu dengan Stanley Yan, awalnya ia tidak mengenali pria itu. Ia bahkan mengamati Stanley Yan dengan penasaran dan bertanya pada Yesi Mo siapa pria aneh yang mengenakan perban tebal di seluruh wajahnya itu.

Tapi ketika ia mendengar Stanley Yan memanggilnya ‘Didi’ dengan suaranya yang tidak asing, ketika ia merasakan pelukan Stanley Yan yang hangat dan nyaman, ketika ia mencium bau cologne yang menempel di tubuh Stanley Yan, air mata Didi pun tidak terbendung. Ia berulang kali memanggil ‘Ayah, Ayah’ dengan butiran air mata yang terus bergulir turun. Ia tidak ingin turun dari pelukan Stanley Yan, tidak ingin melepaskan Stanley Yan dan terus bergelayut pada lehernya.

Didi sangat merindukan Stanley Yan. Walaupun Yesi Mo menemukan seseorang yang memiliki suara sangat mirip dengan Stanley Yan untuk menelepon Didi dari waktu ke waktu, namun tetap tidak dapat mengenyahkan rasa rindu pada sosok ayahnya. Apalagi, mereka sudah tidak bertemu selama lebih dari setengah tahun.

Sebagai seorang anak yang baru berusia lima tahun lebih, mustahil tidak memiliki sosok ayah disampingnya untuk waktu yang lama.

Ayah dan anak itu tetap saling berpelukan untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Didi turun dengan tidak rela karena bujukan Yesi Mo. Tapi ia tetap tidak melepaskan genggam tangan Stanley Yan, takut ayahnya akan menghilang lagi kalau ia melepaskannya.

Dibalik perban, kepala Stanley Yan sudah dibanjiri keringat dan perban itu langsung menyerapnya. Walaupun pendingin ruangan di ruangan itu dinyalakan, namun Stanley Yan masih merasa kepalanya seperti dihujani. Kesadarannya sedikit kabur.

Walaupun begitu, Stanley Yan tetap tidak memiliki niat untuk membuka perbannya agar lebih lega. Ia takut penampilannya yang sekarang akan menakuti Didi, membuat anak itu tidak mengenalinya ketika melihat wajahnya.

Didi masih kecil, baru sesaat ia merasakan kehangatan dengan Stanley Yan, ia sudah ribut meminta Stanley Yan untuk menemaninya pergi ke taman bermain. Dengan suhu di luar yang hampir menyentuh 40 derajat, Stanley Yan tidak mungkin bisa menahan hawa panasnya. Tidak dengan perban yang membebat seluruh wajahnya.

“Didi, jangan begitu. Cuaca di luar begitu panas, bagaimana kalau terserang hawa panas? Kalau cuaca sudah lebih sejuk, baru minta ayah untuk membawamu pergi.”

“Tidak mau. Aku ingin ayah membawaku pergi sekarang.” Didi menatap Stanley Yan sambil mencondongkan bibirnya dengan cemberut, “Ayah sudah lama sekali tidak membawa Didi pergi bermain.”

Stanley Yan benar-benar tidak bisa menahannya. Tapi saat melihat wajah Yesi Mo yang mendingin dan hendak menegur Didi, ia pun membuka mulutnya mendahului wanita itu dan menyanggupi ucapan Didi.

Demi menyenangkan Didi, ia juga rela melakukannya.

Yesi Mo melirik Stanley Yan dengan putus asa, tidak tahu harus berkata apa untuk sejenak.

Sebelum keluar, pandangan Yesi Mo menangkap perban yang membalut wajah Stanley Yan sudah benar-benar basah. Ia lalu meminta Didi untuk menunggu sebentar dan menarik Stanley Yan naik ke atas untuk mengganti perbannya.

Setelah menutup pintu, Yesi Mo lalu mengutarakan keberatannya pada Stanley Yan. “Kamu gila, ya? Di luar begitu panas, tapi kamu masih mau berkeliaran diluar? Bagaimana kalau terserang hawa panas?”

“Jangan khawatir, aku akan lebih berhati-hati.” Stanley Yan menarik tangan Yesi Mo dengan pelan, “Jarang-jarang Didi bisa meminta sesuatu. Jika aku sebagai ayahnya tidak dapat memuaskan hatinya sepertinya agak tidak baik. Barusan kamu juga melihat rupa Didi yang barusan bukan, apa kamu tidak merasa pedih?”

Baiklah, Yesi Mo memang tidak bisa menahan rasa pedih saat melihat wajah kecewa Didi. Tapi bisa menahannya atau tidak, ia lebih tidak bisa menahan rasa pedih apabila Stanley Yan tetap keluar dengan risiko terserang hawa panas.

Tapi ia juga tahu bahwa karena Stanley Yan sudah menyanggupi permintaan Didi, maka tidak mungkin menarik ucapannya kembali.

Ia hanya bisa memenuhi permintaan Stanley Yan untuk mengganti perban yang membebat wajahnya, namun tidak perlu melilitkannya terlalu banyak. Stanley Yan lalu menangkup wajah Yesi Mo dan menciumnya, “Memang hanya istriku yang mencintaiku demikian besarnya.”

Wajah Yesi Mo sontak memerah. Sudah berapa lama Stanley Yan tidak menciumnya seperti ini? Sudah berapa lama Stanley Yan tidak berujar manis padanya seperti ini?

Yesi Mo sudah tidak ingat. Sudah lama sekali sejak terakhir kali pria itu melakukannya, setidaknya sudah setengah tahun lebih.

Pandangan Yesi Mo menyertai Stanley Yan yang melepaskan perbannya dan mencuci wajahnya. Ia lalu mengambil perban baru dan melilitkannya pada wajah Stanley Yan.

Yesi Mo melilitkan perban itu selonggar mungkin dan sesedikit mungkin. Ketika perban itu dirasa sudah cukup untuk menutupi wajah Stanley Yan, tangannya pun berhenti dan tidak ingin melanjutkan.

Ketika ketiga orang itu berjalan keluar, ponsel Yesi Mo pun berdering. Ia mengisyaratkan agar Stanley Yan dan Didi masuk ke dalam mobil terlebih dahulu dan menunggunya sebentar.

Yesi Mo berdiri di depan pintu utama vila, lalu menatap Stanley Yan dan Didi yang naik ke mobil sambil tersenyum. Ia pun mengangkat teleponnya.

Sepuluh detik kemudian, Yesi Mo menutup teleponnya dan naik ke mobil.

Melihat sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Yesi Mo, Stanley Yan pun ingin bertanya namun merasa tidak enak bertanya di hadapan Didi. Ia baru bertanya pelan pada Yesi Mo atas apa yang terjadi ketika mereka sudah sampai di taman bermain dan Didi sedang memilih-milih mainan di toko mainan.

Yesi Mo mengatupkan bibirnya dan berkata, “Vivian melapor pada polisi. Marson memberitahuku bahwa orang-orang yang ia cari benar-benar tidak beruntung. Mereka mengalami kecelakaan mobil saat melaju keluar dari kota R dan polisi sudah menangkap mereka. Dalam situasi terburuk, kalau mereka membocorkan mengenai aku dan Marson, kami berdua kemungkinan...”

“Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan kamu tertimpa masalah. Aku berjanji dengan segenap diriku.” Stanley Yan menatap Yesi Mo dengan yakin, suaranya rendah namun lantang.

Novel Terkait

Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
5 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
1001Malam bersama pramugari cantik

1001Malam bersama pramugari cantik

andrian wijaya
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu