Unlimited Love - Bab 143 Tidak Sabar (1)

Ketika Jennie Bai kembali dari toilet ke aula restoran, Yesi Mo sedang memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.

Lantai dipenuhi dengan pecahan piring yang berserakan, terlihat berkilauan menyilaukan dibawah sinar lampu. Seorang pelayan wanita sedang berjongkok sambil memungut satu persatu pecahan dengan hati-hati, selembar kain di tangannya dipenuhi noda.

Jennie Bai menatap semua ini dengan bingung dan bertanya penasaran, “Kakak ipar, apa terjadi sesuatu barusan?”

Sepertinya jiwa Yesi Mo baru kembali, ia pun menyunggingkan senyum dengan terpaksa, “Sepasang kekasih yang duduk di meja sebelah sana barusan bertengkar dengan sangat hebat, seperti inilah hasil kekesalan mereka."

“Kakak ipar, kamu tidak terluka, bukan?”

Jennie Bai mengikuti arah pandang Yesi Mo. Ia dapat dengan jelas melihat meja yang dipakai oleh sepasang kekasih itu yang berada tak jauh. Meja itu terguling ke atas tanah dan sekelilingnya berantakan, membuat Jennie Bai bertanya dengan gelisah.

“Aku baik-baik saja.”

“Untunglah, yang penting tidak apa-apa.” Jennie Bai menghela napas lega yang panjang, melepaskan rasa gelisah dalam batinnya.

Yang paling ia khawatirkan dan takutkan sekarang adalah apabila terjadi sesuatu pada Yesi Mo.

Kakaknya, Stanley Yan, masih menghilang. Kalau terjadi sesuatu pada Yesi Mo juga, kondisi Didi yang masih kecil itu pasti akan menjadi lebih menyedihkan.

“Sudah larut, ayo pergi.”

Yesi Mo bangkit berdiri lalu meninggalkan kursinya dan berjalan menuju meja kasir. Jennie Bai mematung sesaat sebelum dengan cepat mengikuti dan memanggil dengan suara pelan, “Kakak ipar, tunggu aku.”

“Nota pembayaran untuk meja nomor delapan. Terima kasih.”

Yesi Mo berhenti di depan meja kasir dan mengeluarkan sebuah kartu kredit miliknya. Ia lalu menyerahkan kartu tersebut kepada kasir sambil tersenyum.

Jennie Bai merebut kartu kredit yang diserahkan oleh Yesi Mo kepada kasir, lalu dengan wajah datar berujar, “Kakak ipar, apa yang sedang kamu lakukan? Bukankah aku sudah bilang aku yang akan mentraktirmu!”

“Aku hanya bercanda denganmu, mana mungkin aku sungguh-sungguh memintamu mentraktirku?” Yesi Mo hendak mengambil kartunya dari tangan Jennie Bai sambil tertawa. Jennie Bai tetap bersikeras tidak mengembalikan kartunya, kemudian ia mengeluarkan dompetnya untuk membayar.

Yesi Mo mengesampingkan dompet Jennie Bai dan dengan pelan menggeleng, “Tidak masalah, Jennie. Simpan saja dompetmu dan anggap hari ini kakak iparmu yang mentraktirmu. Berikan kartu kreditnya padaku.”

“Tidak bisa. Aku sudah bilang aku yang mentraktir, jadi harus aku yang membayar.” Melihat Yesi Mo hendak menyahutnya lagi, Jennie Bai dengan cepat berujar. Raut wajahnya mendingin, “Kakak ipar, aku akan marah kalau kamu masih begini.”

Yesi Mo tersenyum tak berdaya, “Baiklah, baiklah, kalau begitu aku tidak memaksa lagi. Tapi, bisakah kamu mengembalikan kartunya padaku?”

Setelah menerima kartu kredit yang dikembalikan oleh Jennie Bai, Yesi Mo pun memasukkannya kembali ke dalam dompetnya. Ia menatap Jennie Bai yang mengeluarkan uangnya dengan perlahan untuk membayar, lalu tertawa dalam hati: Dasar anak ini, jelas-jelas ini di luar kemampuannya. Kenapa ia begitu menyiksa diri dengan tekadnya, apakah harus seperti ini?

Struk pembayaran pun diberikan oleh kasir kepada Jennie Bai, dan ia secara otomatis langsung memasukkannya ke dalam dompetnya. Ketika ia melihat bahwa ia hanya memiliki beberapa lembar uang tersisa, wajahnya pun menjadi getir: Hanya tersisa uang sesedikit ini dan masih ada 10 hari lagi. Bagaimana bisa bertahan hidup?

Yesi Mo berpura-pura tidak menangkap raut getir Jennie Bai dan tersenyum, “Karena kita sudah makan dan waktu juga sudah larut, ayo kita pergi saja.”

Jennie Bai menolak niat baik Yesi Mo untuk mengantarkannya pulang, ia naik taksi sendiri pulang ke apartemennya.

Ia lalu turun dari mobil dan membuka pintu apartemennya. Ketika Jennie Bai hendak menutup pintu, tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakangnya yang membuatnya terlonjak kaget: “Kenapa sudah pulang secepat ini? Aku pikir aku masih harus menunggu beberapa jam lagi.”

Jennie Bai memutar kepalanya untuk melihat Andrew Ling yang sedang duduk diatas kursi rodanya, raut wajahnya berubah, “Kenapa kamu ada disini? Tempat ini tidak menyambutmu, pergi saja sana.”

“Apa kamu yakin mau mengusirku?” Andrew Ling menatap Jennie Bai sambil tersenyum, sebelah tangannya mengangkat selembar amplop, “Awalnya aku berpikir untuk memperlihatkan padamu foto Sonson, sekaligus surat yang ia tulis untukmu. Tapi karena kamu begitu tidak menyambutku, sekarang juga aku akan pergi.”

Setelah berujar, Andrew Ling pun mengibaskan tangannya sebagai isyarat pada pengawal di belakangnya untuk mendorongnya ke arah lift.

Jennie Bai sangat tidak suka bertemu dengan Andrew Ling, dan lebih tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu. Tapi saat ia mendengar nama Sonson disebut, juga mendengar bahwa Andrew Ling mau memperlihatkan padanya foto Sonson, ditambah dengan mau memberikannya surat yang Sonson tulis khusus untuknya, ia pun dengan cepat menghentikan Andrew Ling.

“Tunggu.”

“Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanya Andrew Ling sambil tersenyum pada Jennie Bai.

“Kamu benar-benar datang kesini hanya untuk memberikanku foto dan surat Sonson? Kenapa tiba-tiba kamu berbaik hati begini?”

Jennie Bai melihat Andrew Ling dengan tatapan curiga.

“Tidak percaya padaku? Tidak masalah, kalau begitu aku pergi saja.”

“Bukan, aku bukannya tidak percaya. Hanya saja...” Takut, ia tiba-tiba menjadi takut.

Jennie Bai tidak menyelesaikan ucapannya, namun ia mengeratkan giginya dan berujar, “Kalau begitu, masuk saja. Tapi kalau ada syarat tambahan lainnya, lebih baik kau tidak usah memberikannya padaku.”

“Tidak perlu masuk, akan kuberikan barangnya padamu.” Andrew Ling melempar amplop itu pada Jennie Bai. Ia lalu mengangguk singkat dan berujar, “Aku pergi dulu. Sampai jumpa lain hari.”

Melihat Andrew Ling yang duduk di kursi roda dengan pengawalnya yang mendorongnya masuk ke dalam lift, melihat pintu lift yang perlahan tertutup di belakang Andrew Ling, melihat lift itu yang sekarang sedang bergerak turun menuruni satu persatu lantai, melihat amplop tebal di tangannya, itu semua membuat Jennie Bai tidak berani mempercayai apa yang baru saja terjadi.

Sudah enam bulan lebih lamanya Jennie Bai tidak melihat Sonson. Dalam kurun waktu ini, ia mengubur Sonson rapat-rapat dan jauh-jauh dalam lubuk hatinya. Ia tidak berani memikirkannya, ia takut begitu memikirkannya hatinya akan terkoyak, hancur dan ia kembali tenggelam dalam keputusasaan.

Jennie Bai berpikir bahwa kalau ia tidak terus memikirkan Sonson, suatu hari nanti ia akan melupakan sosoknya sepenuhnya.

Tapi sekarang Jennie Bai baru menyadari betapa naifnya dirinya. Sonson adalah putranya, putra yang ia telah ia kandung selama sepuluh bulan dengan kepahitan hati selama masa kehamilannya, putra yang ia lahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya.

Darahnya mengalir didalam tubuh Sonson, ia adalah darah daging yang selamanya tidak akan bisa dihapuskan dari sejarah hidupnya.

Ia tidak mungkin bisa melupakan Sonson, tidak peduli suatu hari nanti atau selama ia berusaha untuk melupakannya. Ia tidak mungkin memutuskan ikatan darah diantara mereka, tidak mungkin menganggap Sonson tidak pernah hadir dalam kehidupannya.

Jennie Bai dengan tidak sabar segera membuka amplop itu sambil masuk kedalam kamarnya. Dari dalamnya, setumpuk foto dan selembar surat yang kusut pun muncul.

Melihat wajah Sonson yang tidak asing di foto itu dan melihat kesedihan dalam matanya, membuat hati Jennie Bai merasa begitu pedih dan begitu membenci dirinya sendiri. Ia membenci ketidakberdayaannya, membenci dirinya yang tidak memiliki cara untuk mendapatkan Sonson kembali ke sisinya.

Jennie Bai melihat foto Sonson satu persatu dengan hati-hati, kedua matanya memerah tanpa ia sadari.

Setelah selesai melihatnya, Jennie Bai kembali melihatnya sekali lagi baru meletakkannya dengan berat hati diatas sebuah meja kecil. Ia lalu mengambil surat yang Sonson tulis untuknya dan membacanya dengan serius.

“Ibu, ibu ada dimana? Ibu, apa ibu tidak menginginkan Sonson lagi? Ibu, Sonson sangat merindukan ibu.”

Membaca tulisan-tulisan yang mirip dengan simbol itu, Jennie Bai pun tidak kuasa untuk menahan tangisnya lagi.

Saat menulis surat ini, Jennie Bai bisa membayangkan betapa Sonson ingin mengetahui siapa ibunya, dimana ibunya, dan kenapa ibunya tidak ada di sisinya.

Merasakan betapa besar kerinduan Sonson untuk ditemani selayaknya anak-anak lain yang sebaya dengannya dengan ibu mereka masing-masing, Jennie Bai merasa sangat sedih dan putus asa. Ia tidak bisa menahan tangisnya seraya memeluk foto-foto Sonson dan akhirnya tangisnya berubah menjadi tangisan deras.

Entah sudah berapa lama ia menangis, namun akhirnya Jennie Bai merasa lelah. Ia pun tertidur diatas sofa sambil memeluk foto-foto Sonson.

Pagi harinya begitu sampai di kantor, Yesi Mo bahkan belum sempat duduk lebih dari dua menit ketika terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ia pun dengan otomatis menjawab, “Masuk.”

Ketika ia melihat bahwa yang masuk adalah Stanley Yan, kedua matanya pun berkilat secara tidak kasat mata, “Felix, kenapa kamu datang?”

“Presdir Mo, aku datang untuk masuk kerja. Kemarin bukankah presdir meminta Manajer Cao untuk memberitahuku? Apakah presdir lupa?” Stanley Yan dengan santainya membuka pintu kantor dan dengan tanpa ekspresi berjalan ke depan meja kantor Yesi Mo.

“Aku ingat, tapi kamu pulang saja dan istirahat lagi untuk dua hari ini. Hari Senin besok baru masuk kerja.” Yesi Mo menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Kenapa?” tanya Stanley Yan sambil menangkat alisnya.

“Kalau tidak salah ingat, bukankah kemarin malam kamu mengalami luka bakar? Lebih baik kamu istirahat dua hari lagi untuk menyembuhkan lukamu, bukankah begitu?” tanya Yesi Mo sambil tersenyum.

Stanley Yan menggelengkan kepala, “Aku baik-baik saja, punggungku yang tersiram kuah panas hanya merah sedikit saja. Sudah dioleskan obat, jadi tidak perlu istirahat lagi.”

“Kamu yakin?”

“Presdir Mo, apa aku tidak mengerti kondisi tubuhku sendiri?”

Pertanyaan retoris Stanley Yan itu membuat Yesi Mo sedikit tercekat. Ia pun mengangguk, “Masuk akal, tapi kamu masih harus pulang untuk beristirahat. Aku tidak ingin dianggap sebagai seseorang yang terlalu tidak berperasaan pada bawahannya. Masa masih terluka sudah disuruh masuk kerja seperti biasa.”

Yesi Mo kembali menambahkan satu kalimat, “Tenang saja, gajimu selama istirahat dua hari tetap akan dibayarkan penuh.”

“Presdir Mo, aku tidak peduli...” Belum sempat Stanley Yan menyelesaikan ucapannya, kembali terdengar ketukan dari luar pintu. Yesi Mo baru hendak berdiri untuk pergi melihat siapa yang datang, namun Stanley Yan berujar sambil tersenyum, “Presdir Mo, presdir duduk saja. Biar aku yang melihatnya.”

Yesi Mo menatap Stanley Yan yang membalikkan tubuhnya dan dengan cepat berjalan untuk membuka pintu. Ia lalu mengambil dokumen dan kembali berjalan menghampiri, meletakkan dokumen itu dengan sopan ke atas meja kerja Yesi Mo, “Presdir Mo, ini laporan penjualan bulan ini yang dikirimkan oleh divisi keuangan. Silakan diperiksa dan kalau tidak ada masalah, aku akan mengantarkannya kembali ke divisi keuangan untuk dibukukan.”

Saat ini, Stanley Yan terlihat sudah masuk ke dalam statusnya dan mengatur posisinya sehingga terlihat seperti seorang asisten yang memiliki kualifikasi tinggi.

Yesi Mo meletakkan tangannya diatas dokumen yang dibawa oleh Stanley Yan, lalu mengetuk pelan sebanyak dua kali dan mengangguk, “Tinggalkan saja disini, nanti aku akan menyuruh orang untuk mengantarkannya kembali. Kamu pulang dan istirahatlah.”

“Presdir Mo, aku...”

Novel Terkait

Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
3 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu