Unlimited Love - Bab 135 Harga Sebuah Keserakahan (1)

Yesi Mo bukannya tidak terpikir untuk menyelamatkan diri sendiri, ia juga bukannya tidak terpikir untuk bernegosiasi dengan para penculik.

Awalnya ia masih berpikir bahwa para penculik ini akan nekat, demi uang mereka akan melakukan segalanya. Bahkan walaupun ia sampai harus mengorbankan segalanya, ia harus bisa tetap mendapatkan secercah harapan hidup. Ia harus bisa mendapatkan kesempatan bagi Didi untuk terus hidup.

Akan tetapi, penculik itu sama sekali tidak memberikan Yesi Mo kesempatan untuk bicara. Mereka terus menyumpal mulutnya dengan kain.

Yesi Mo menguras tenaganya untuk meronta demi menarik perhatian para penculik, supaya mereka mau melepaskan kain yang ada di mulutnya dan memberikannya kesempatan untuk bicara.

Tapi hasil yang ia dapatkan malah tinju dan tendangan dari para penculik. Mereka tidak butuh kata-kata darinya, yang mereka mau adalah ia diam-diam patuh menunggu kematiannya sendiri.

Yesi Mo tidak tahu sudah keberapa kalinya ia mencoba untuk menarik perhatian para penculik, bahkan sampai-sampai ia tidak dapat mengingat bagian tubuhnya yang mana yang masih baik-baik saja dan tidak sakit.

Respon Yesi Mo di mata para penculik adalah seperti orang tenggelam yang sedang meronta tidak berarti untuk terakhir kalinya. Sama sekali tidak ada simpati di mata mereka, yang ada hanya tatapan dingin dan tidak sabar.

Setelah serentetan tinju dan tendangan yang dilontarkan, Yesi Mo akhirnya pingsan. Wajah Didi yang sedari awal sudah dipenuhi air mata pun menjadi ketakutan, dengan gemetaran ia bersandar pada tubuh Yesi Mo. Dari mulutnya terdengar gumaman yang tidak jelas dengan suara yang berteriak.

” “Berisik sekali, tutup mulutmu. Kalau kamu berani menangis lagi, percaya atau tidak, sekarang juga aku akan membunuhmu, kelinci kecil!”

Si botak kebetulan saat ini sedang marah karena kalah dalam permainan yang mempertaruhkan uangnya. Dengan kesal ia berjalan menghampiri Didi, kemudian memainkan pisau itu tepat di depan matanya seolah ia akan menyayat kulit Didi. Tatapan matanya yang bengis menatap tubuh Didi yang gemetar hebat, seperti saringan yang dikoyak.

Tapi, Didi hanyalah seorang anak kecil. Sedari awal, keberaniannya sudah hancur karena ketakutan. Ia sama sekali titdak bisa mengontrol air matanya yang mengalir.

Si botak sangat marah sehingga dalam sekali gerakan, ia mencengkeram kerah baju Didi untuk memperingatkannya. Belati di tangannya dengan kasar ia arahkan ke leher Didi untuk menyayatnya.

Saat darah Didi yang di depan matanya akan segera tertumpah, sebuah nyawa dari anak kecil akan segera meninggalkan dunia yang indah, tetua yang sedari tadi mengasah kukunya dengan santai itu tiba-tiba menjatuhkan belati di tangannya dan berujar, “Botak, mau apa kamu.”

“Tentu saja mau membunuh kelinci kecil ini, memangnya apalagi?” Gerakan belati di tangan si botak pun terhenti sejenak, ia lalu kembali berujar dengan santai, “Si kecil ini terus menangis meraung-raung sedari tadi, ia benar-benar terlihat sedih. Sedangkan aku, sia tua yang akan menyakitinya ini terus-terusan kalah uang semalaman ini. Jika aku tidak membunuhnya, hatiku tidak akan merasa tenang. Tetua, kamu istirahatlah sejenak. Aku akan dengan cepat membereskannya.”

Raut wajah tetua yang melihat si botak di depan matanya akan kembali bergerak pun mengelam, “Tunggu.”

“Tetua, ada apa lagi?”

“Kemarilah, biar kuberitahu.”

Saat si botak melihat ke arahnya, wajah tetua itu dipenuhi senyuman dan melambaikan tangan padanya. Si botak kemudian melemparkan Didi ke lantai dan menghampiri si tetua sambil tersenyum terkekeh. Ia lalu bertanya dengan suara rendah, “Ada apa, tetua?”

“Mendekatlah lagi sedikit, kenapa begitu menjauh dariku?”

Melihat si tetua yang tidak terlalu senang, si botak segera memberanikan diri untuk maju beberapa langkah. Yang menunggunya bukanlah tetua yang akan bicara padanya, melainkan tamparan tetua yang kuat hingga berdenging di telinganya.

Tenaga yang menyertai tamparan itu begitu kuat sampai-sampai si botak hampir saja terhempas ke tanah. Si botak kemudian menyeimbangkan tubuhnya kembali sambil menutup wajahnya dan menatap si tetua dengan tatapan menyalahkan, “Kenapa menamparku!”

“Tamparan ini hanya pukulan ringan saja. Sudah lupakah kamu apa yang kukatakan sebelumnya? Apakah kamu ingin membiarkan saudara-saudaramu ini rugi milyaran sia-sia?” Si tetua menatap si botak dengan raut dingin, raut wajahnya sangat kelam seolah-olah akan meneteskan air.

“Tidak, bukan begitu, aku hanya...”

Si botak menundukkan kepalanya dan hendak menjelaskan, namun si tetua sontak mengibaskan tangannya dan dengan nada dingin berujar, “Cukup, aku tidak ingin mendengar basa-basimu. Menyingkirlah ke pojokan. Kalau kamu masih berani mendekat dan menghambat jalan kekayaan saudara-saudaramu, kamu tahu sendiri akibatnya.”

Baru saja si tetua selesai berujar, hati si botak tiba-tiba merasa takut karena menyadari orang lain sedang menatapnya dengan dingin. Tiga orang yang dipanggil saudara yang berusan bermain kartu bersamanya secara tidak sadar menggenggam pisau belati yang ada diatas sofa.

Hal yang paling tabu bagi mereka adalah menghalangi jalan kekayaan. Kalau menjumpai masalah seperti ini, sangat besar kemungkinannya saudara kandung sekalipun akan saling menghunus pedang. Jadi tidak perlu dijelaskan bagaimana kondisinya dengan mereka, para pelaku yang berjalan bersama sesaat hanya demi uang.

Dengan bayaran yang begitu besar, jika dikurangi jatah satu orang, setiap orang bisa mendapatkan uang yang lebih banyak, bukan?

Kalau bukan karena si tetua yang menahan, mereka sudah tidak sabar untuk membunuh si botak sekarang juga.

“Saudara-saudaraku, jangan gegabah. Aku tidak bermaksud seperti itu, ayo kita lanjutkan bermain kartu.” Si botak tersenyum kikuk dan melempar belati yang ada di tangannya, lalu duduk kembali.

Akan tetapi, beberapa pria yang ada di sampingnya tidak melepaskan belati yang mereka genggam. Si botak yang takut tersenyum bodoh menatap mereka. Ia memaki dirinya sendiri yang bertindak sembarangan dalam hati, tidak ia sangka hampir saja timbul malapetaka.

“Sudahlah, semua adalah saudara senasib. Masalah ini sampai disini saja. Tapi kuberitahu lebih dulu, siapapun yang berani bertindak sembarangan tanpa perintah dariku maka konsekuensinya silakan dipertimbangkan sendiri.”

Sepuluh menit kemudian, ponsel si codet yang ada di sebelah si tetua berdering. Setelah menerima panggilannya, si codet berujar, “Tetua, monyet kurus barusan menelepon. Katanya orang bermarga Yan sudah datang, ia sedang naik ke atas.”

“Ia datang seorang diri?” Si tetua mengernyitkan dahinya. Kalau ternyata bukan Stanley Yan, maka yang bisa ia lakukan hanya menyuruh orang untuk menghabisi Yesi Mo dan Didi, lalu ia sendiri kabur.

“Benar, hanya ia seorang. Monyet kurus terus mengawasinya.”

“Bagus, tepat sekali kedatangannya. Ayo kalian berberes, kita siap-siap bekerja.” Melihat beberapa orang yang sedang bermain kartu itu bangkit berdiri dan menggenggam belati, si tetua menjadi sedikit tidak tenang. Ia berkata pada si codet, “Codet, telepon si monyet kurus dan suruh ia untuk mengawasi pria itu lekat-lekat. Ada apapun yang terjadi harus segera lapor.”

“Baiklah, sekarang juga aku akan meneleponnya.”

Stanley Yan mengetuk pintu. Begitu ia masuk, hal pertama yang tertangkap matanya adalah Yesi Mo yang pingsan terbaring di tanah dan Didi yang sangat ketakutan dan berderai air mata. Amarah langsung menyerangnya sampai ke langit-langit, ia sangat ingin membunuh orang-orang brengsek di hadapannya ini saking marahnya.

“Ternyata kamu bisa menemukan tempat ini, benar-benar tidak mudah. Aku sunguh penasaran, bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini?” Si tetua tersenyum dan berjalan ke hadapan Stanley Yan. Ia bicara sambil menatap dan menilai pria itu.

Stanley Yan balas menatapnya sekilas dengan tanpa ekspresi, “Ini bukan hal yang perlu kamu pikirkan. Uang yang kalian inginkan sudah kuberikan, kalian juga setuju untuk melepaskan sandera. Kenapa sampai sekarang masih belum melepaskan mereka?”

“Tentu saja kami akan melepaskan sanderanya.” Si tetua tertawa, “Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menyuruh mereka untuk melepaskan istri dan anakmu. Kenapa masih bengong? Lepaskan mereka.”

Selesai bicara, si tetua memberikan isyarat pada kedua orang pria yang mengenakan celana tentara yang berdiri di sebelah Yesi Mo dan Didi.

Dalam sekali gerak, mereka langsung mengangkat Yesi Mo dan Didi. Belati yang ada di genggaman mereka langsung dihunuskan ke bawah leher kedua orang itu, sudut bibir mereka menyunggingkan senyum bengis.

“Tunggu, apa yang hendak kalian lakukan?” Hati Stanley Yan serasa tenggelam. Raut wajahnya langsung berubah, tanpa disadari suaranya meninggi.

“Tentu saja menyerahkan mereka padamu.” Si tetua tersenyum manis menatap Stanley Yan, matanya dipenuhi kekejaman.

“Kata-kata kalian tidak bisa dipercaya.” Stanley Yan mengepalkan tangannya erat-erat dan membuka mulutnya lebar-lebar untuk mengambil napas.

“Kata-kataku tidak bisa dipercaya? Kata-katamu ini salah, kami ini para brengsek yang bertemu di jalan dan yang paling bisa dipegang adalah kepercayaan. Karena aku sudah berjanji akan melepaskan mereka padamu, tentu saja aku akan melakukannya. Tapi, aku tidak pernah berjanji padamu kalau aku akan menyerahkan mereka hidup-hidup padamu, bukankah begitu? Tenang saja, ini sangat cepat, sebentar lagi selesai.”

Selesai bicara, si tetua kembali memberikan isyarat mata sebelum disela oleh Stanley Yan. “Tunggu, asalkan kalian tidak menyakiti mereka, akan kuberikan berapapun uang yang kalian inginkan.”

Kedua pria itu tertegun sejenak, lalu memberikan isyarat mata pada si tetua. Orang seperti mereka ini tentu saja tidak akan melepaskan nominal uang yang besar.

Si codet dan si botak berjalan ke hadapan si tetua dan berbisik, “Tetua, sia-sia kalau kita tidak mengambil uang ini.”

“Aku punya perhitungan sendiri.” Si tetua mengerti maksud mereka lalu mengangguk. Ia menyuruh kedua pria yang mengangkat Yesi Mo dan Didi untuk melepaskan tangan mereka dan memberikan isyarat pada mereka untuk menunggu sebentar. Setelah itu, ia baru memalingkan kepalanya menghadap Stanley Yan. “Tidak dapat dipungkiri, kamu memang punya otak. Selama hidupku ini aku selalu berani melakukan semuanya, mulai dari membunuh orang hingga membakar. Hanya satu hal yang tidak kulakukan, yaitu membiarkan uang terlewatkan.”

Mendengar perkataannya, Stanley Yan menghela napas lalu mengangguk, “Berapa yang kalian inginkan?”

“Kita lihat berapa banyak yang mampu kamu beri. Kalau bisa membuat para saudaraku ini puas, bukannya tidak mungkin tidak mengampuni nyawa mereka. Tentu saja, harus kuingatkan dari awal bahwa kami harus bisa mendapatkan uangnya dengan mulus. Kalau tidak...”

“20 milyar.” Stanley Yan mengutarakan sebuah nominal. Si tetua menjulurkan jari tangannya dan menggelengkannya di hadapan Stanley Yan, lalu tertawa menghina, “20 milyar? Apakah kamu sedang bicara dengan pengemis? Apakah di matamu nyawa mereka hanya setara dengan uang sesedikit itu? Aku mau sejumlah ini.”

Novel Terkait

Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Unperfect Wedding

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
3 tahun yang lalu
Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu