Unlimited Love - Bab 135 Harga Sebuah Keserakahan (3)

Sambil menenangkan Didi, Stanley Yan sambil melepaskan kain yang membelit mulutnya. Didi langsung menangis histeris dan dengan erat memeluk Stanley Yan, air mata mengalir membasahi wajahnya dan ia sambil berteriak memanggil ayahnya, “Ayah, ayah.”

Hati Stanley Yan terasa sangat sakit sampai matanya pun memerah, kebenciannya pada penculik ini benar-benar sampai pada puncaknya.

Sambil tetap menenangkan Didi, Stanley Yan pun hendak memeriksa kondisi Yesi Mo ketika si tetua berujar dengan suara rendah, “Tuan Yan, kenapa uangnya masih belum masuk? Cepat telepon dan periksa. Kalau uang itu tetap tidak masuk dalam lima menit, jangan harap kamu beserta istri dan anakmu dapat berjalan pergi.”

“Jangan harap bisa berjalan pergi? Kalian yakin kami tidak bisa berjalan pergi?” Stanley Yan perlahan menolehkan kepalanya pada si tetua dan mendengus dingin, “Memangnya kalian ini apa?”

“Tuan Yan, apa maksudmu?” Raut wajah si tetua berubah dan ia bertanya sambil menatap Stanley Yan.

“Apa maksudku? Kalian akan segera mati, tapi kalian tidak tahu tentang itu. Benar-benar menyedihkan.”

Di tengah-tengah ucapan Stanley Yan, tiba-tiba suara sirine terdengar dari mana-mana. Raut wajah si tetua semakin berubah, “Kamu sedang mengulur-ulur waktu?”

“Sekarang baru paham? Terlambat.”

“Bunuh mereka, bunuh istri dan anaknya!” perintah si tetua dengan tegas. Seketika itu juga, beberapa pria yang ada disitu segera mengayunkan belati mereka ke arah Stanley Yan juga Yesi Mo dan Didi yang ada di sampingnya.

Kilatan cahaya dari belati itu membuat orang takut, namun Stanley Yan sama sekali tidak gentar. Ia tidak mengernyitkan alisnya, tatapannya bahkan tidak berubah.

Karena polisi sudah membunyikan sirine, artinya semua sudah berada di posisi yang seharusnya. Tidak ada yang perlu ia takuti. Para penculik ini hanyalah harimau kertas, jangan sekali-sekali berpikir untuk mengancamnya, Yesi Mo, dan Didi.

Kenyataannya juga tidak jauh berbeda. Tepat pada saat tiga buah belati akan menghunus tubuhnya, kaca di belakang Stanley Yan tiba-tiba pecah dan pecahannya berserakan di lantai.

Kira-kira dalam waktu yang bersamaan, aliran darah dari dahi tiga orang penculik itu mengucur. Timbul lubang yang persis sama di tengah-tengah dahi ketiga penculik itu. Mereka sudah mati, terbunuh tanpa peringatan dari siapapun.

Tepat pada saat kaca pecah, si tetua berguling kabur. Ia berjuang untuk menarik tirai untuk menghalangi penglihatan orang dari luar.

Di saat yang bersamaan, si tetua memerintah si botak, satu-satunya bawahannya yang masih hidup, “Botak, bereskan ia.”

Si botak mengayunkan belatinya untuk menyerang Stanley Yan, namun Stanley Yan secepat kilat bangkit berdiri. Ia menatap lekat si botak yang datang menyerangnya, tatapan matanya tajam dan ia bergerak untuk membereskannya.

Tenaga si botak ternyata memang kuat, Stanley Yan ternyata tidak bisa membereskannya dalam waktu sesingkat itu.

Si tetua juga dapat melihatnya, sekelibat ekspresi kejam bersinar di matanya. Ia mengeluarkan sebilah belati dan menghunuskannya ke arah Yesi Mo dan Didi. Belati itu ia hunuskan ke arah leher Yesi Mo dengan kasar.

Raut wajah Stanley Yan berubah drastis saat itu juga, ia tidak lagi peduli dengan si botak. Ia berusaha segenap tenaga untuk menyelamatkan, namun ia tidak akan sempat. Dalam waktu yang sangat genting dan berbahaya ini, sebelah tangan Stanley Yan mengangkat sebuah kursi dan ia menggunakan segenap kekuatan otot tangannya untuk melemparkan kursi itu ke kepala si tetua.

Kursi itu melesat diiringi suara angin ke kepala si tetua. Kalau sampai akhirnya ia tetap dapat membunuh Yesi Mo, ia tetap harus terpukul.

Dalam waktu sesingkat itu, si tetua menyingkir ke samping dan dapat menghindarinya.

Ia terlalu berhati-hati karena kalau sampai ia terkena hantaman kursi itu dan jatuh pingsan, maka tamat sudah semuanya.

Si botak bukanlah lawan yang sepadan bagi Stanley Yan. Kekalahannya adalah hal yang cepat atau lambat akan terjadi. Saat akhirnya tiba, ia hanya memiliki sebuah jalan keluar.

Melihat Stanley Yan yang datang menghampiri, wajah si tetua pun menegang. Sekuat tenaga ia menyerang Stanley Yan.

Kedua orang itu bertarung sengit tanpa memberikan satu sama lain celah sedikitpun. Si tetua lalu memanggil si botak untuk bergabung dalam pertarungan itu.

Si tetua sudah mengerti bahwa lebih baik menggabungkan kekuatan dengan si botak, terutama dalam kondisi berbahaya seperti ini. Lebih baik membereskan Stanley Yan terlebih dulu, setidaknya harus membuatnya kehilangan tenaga untuk bergerak. Setelah itu, membuat matanya terbuka dengan jelas untuk melihat kematian Yesi Mo dan Didi di depannya. Kemudian, baru membunuh Stanley Yan. Dengan begini, uang imbalan 600 milyar itu pun menjadi milik mereka.

Berhadapan dengan kedua orang yang menyatukan kekuatan untuk menyerang, Stanley yan benar-benar hanya seorang diri. Tapi, ia tetap kuat dan bersikeras.

Dalam pertarungannya, ketiga orang itu tidak ada yang menyadari bahwa mereka tanpa sadar sudah bertarung sampai mendekati jendela yang dekat ke tepian sungai.

Tubuh Stanley Yan dipenuhi luka, si botak dan si tetua pun tidak dapat pergi kemana-mana.

Stanley Yan sudah mengerahkan segenap kekuatannya, namun ia harus tetap kuat bertahan sampai polisi datang. Dengan begitu, barulah ia bisa menjamin keselamatan Yesi Mo dan Didi juga menjaga mereka agar tidak terluka.

Samar-samar Stanley Yan sudah bisa mendengar derap langkah yang berat. Ia harus bertahan sedikit lagi. Sedikit lagi saja.

Melihat kondisinya, si tetua memutuskan bahwa ia sudah membuang waktu bertarung yang lama dengan Stanley Yan namun tetap tidak bisa menghabisinya. Polisi juga akan segera datang. Ia menimbang-nimbang dalam hati, lalu memberikan tatapan pada si botak. Si tetua sendiri berbalik badan, hendak menyerang Yesi Mo dan Didi.

Stanley Yan tidak mempedulikan segalanya dan langsung berusaha untuk mengejar. Ia tidak terpikir belati di tangan si botak yang ada di belakangnya tepat pada saat itu dengan tajam menembus punggungnya. Seolah tidak dapat merasakannya, dengan sekali gerakan Stanley Yan mencengkeram si tetua dan berusaha sekuat tenaga menariknya kembali.

Si botak pun ikut menyerang, sedangkan si tetua juga mendatarkan posisi belatinya dan menyayatkannya ke leher Stanley Yan. Stanley Yan membiarkan lehernya teriris dan dengan sempoyongan menarik si tetua untuk mundur beberapa langkah. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Tepat pada saat itu, pintu didobrak dan pasukan polisi pun masuk. Si tetua menggertakkan gigi, membulatkan hati untuk sekuat tenaga menarik tubuh Stanley Yan ke jendela. Kedua orang itu bergulat kesana-kemari sampai ahirnya keluar dari jendela, jatuh menuju air sungai yang gelap.

Polisi sama sekali tidak sempat menarik mereka berdua. Mereka hanya bisa melihat dengan mata kepala sendiri kedua orang iu jatuh ke dalam sungai dan menimbulkan percikan air yang sangat besar. Setelah itu, permukaan sungai yang gelap pun menjadi sunyi kembali.

Begitu masuk, polisi langsung meringkus si botak. Yesi Mo dan Didi selamat, namun saat ini, tidak ada yang tahu apakah Stanley Yan hidup atau tidak.

Novel Terkait

Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
5 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
5 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Tough Bodyguard

My Tough Bodyguard

Crystal Song
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
5 tahun yang lalu