Unlimited Love - Bab 152 Siapa Yang Bisa Memahami Rasa Sakitnya? (2)

“Kenapa?”

“Kamu benar-benar tidak tahu?” Yesi Mo mengernyitkan alisnya sambil menatap Marson Luo. Melihat amarah masih berada di ubun-ubun pria itu, ia pun tersenyum getir tidak berdaya dan balik bertanya padanya, “Kalau kamu di posisi Vivian, apakah kamu akan bertindak bodoh dan memprovokasi amarah kita disaat seperti ini?”

“Ini...” Marson Luo termangu sejenak, raut wajahnya tiba-tiba berubah, “Nyonya muda, maksudmu Vivian sengaja?”

“Benar, ia pasti sengaja. Asal bukan orang bodoh, pasti tidak sulit menebak alasan kenapa kita bisa tiba-tiba muncul disini. Firasatku mengatakan Vivian sudah diam-diam mempersiapkan sekitarnya untuk menghalangi gerakanku supaya aku tidak dapat menghancurkan rencana mereka mengurus akta pernikahan. Selain itu, ia pasti masih memiliki gerakan cadangan yaitu sengaja memprovokasi kita berdua...”

“Dengan membuat kekacauan semakin besar sehingga mereka bisa memanggil polisi untuk mengikat gerakan kita dan memastikan ia bisa dengan mulus mengurus pernikahan dengan tuan muda.”

Tidak dapat dipungkiri, menjabat sebagai kepala manajer selama setengah tahun memberikan Marson Luo kesempatan untuk melatih diri. Membuatnya belajar menggunakan otaknya, membuatnya terbiasa menggunakan akalnya. Yesi Mo hanya perlu sedikit mengangkat kepalanya, namun ia bisa langsung mengetahui segala hal penting yang berhubungan dengan apa yang Yesi Mo inginkan.

“Nyonya muda, kalau begitu bagaimana? Kalau ternyata ia sudah mengantisipasinya juga memiliki rencana cadangan, apakah kita masih perlu melanjutkan rencana kita?” tanya Marson Luo ragu.

“Lanjutkan rencananya, walaupun dengan kondisi seperti ini sudah tidak terjamin. Aku harus mengatur rencana cadangan yang lain.”

Selesai bicara, Yesi Mo memberi isyarat untuk Marson Luo supaya terus menelepon dan mengatur rencana, sedagkan dirinya sendiri membuka pintu mobil. Ia lalu berjalan ke sebuah pojokan yang sunyi di area tempat parkir dan menelepon Sara Xue.

Saat Yesi Mo kembali, Marson Luo juga sudah menyelesaikan tugasnya. Ia yang penasaran pun bertanya pada Yesi Mo apa yang baru saja ia lakukan.

“Aku menelepon Sara untuk meminta bantuannya.”

Yesi Mo hanya menjawab singkat dan tidak bicara lagi. Ia lalu menelepon pengawalnya yang masih berada di aula kantor catatan sipil, menanyakan kemajuan proses Vivian Luo dan Stanley Yan dalam mengurus akta pernikahan mereka.

Menurut pengawal itu, mereka sudah mengambil nomor antrian dan sedang menunggu di ruang tunggu. Yesi Mo pun merasa sedikit lega.

Di dalam ruang tunggu pengambilan sertifikat di kantor catatan sipil, Vivian Luo tersenyum sambil menatap Stanley Yan yang duduk di sampingnya dan bertanya, “Menurutmu, apakah mereka sudah pergi?”

Stanley Yan hanya balas melihatnya sekilas, lalu menundukkan kepala dan tidak menyahut. Vivian Luo tidak marah dan suara tawanya semakin menyindir, ia bicara dengan diri sendiri, “Menurut tebakanku, mereka pasti masih berada di sekitar sini dan merencanakan bagaimana menghancurkan rencanaku. Sayang sekali, Yesi tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya ada di bawah pengamatanku. Jadi ia pasti tidak akan berhasil. Menurutmu kasihan tidak?”

“Kamu...” Stanley Yan tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk menatap Vivian Luo, giginya dieratkan kuat-kuat.

“Marah? Ini bukan hal yang baik. Kalau aku jadi dirimu, aku akan menerima jati diriku yang sekarang. Lalu banyak tersenyum padaku dan banyak memujiku. Dengan begini, hari-harimu akan terlewati dengan jauh lebih baik. Bukankah begitu, Felix?”

“Hah.” Stanley Yan mendengus dingin, lalu tidak bicara lagi.

Tepat pada saat orang baru yang dicari ulang oleh Marson Luo sudah sampai di kantor catatan sipil, Yesi Mo juga menerima telepon dari pengawal yang mengatakan bahwa sekrang adalah giliran Stanley Yan dan Vivian Luo untuk mulai mengurus prosesnya. Jika dihitung waktunya, mengurus prosedur ini-itu akan menghabiskan setidaknya 10 menit. Seharusnya waktunya masih keburu. Yesi Mo menyuruh Marson Luo untuk kembali menelepon orang suruhannya dan memintanya bergegas, lalu tidak bicara lagi setelah itu. Ia hanya menyuruh pengawal yang berada di aula kantor catatan sipil untuk terus mengawasi lekat-lekat. Kalau sampai orang suruhan Marson Luo tidak keburu, ia harus bisa menghentikan mereka, tidak peduli dengan cara apapun.

Vivian Luo yang duduk di depan konter pengambilan sertifikat dan mengisi formulir serta menandatanganinya pun secara tiba-tiba menoleh dan melihat sekilas ke arah pintu kantor catatan sipil. Ia lalu tersenyum pada Stanley Yan di sampingnya yang sedari tadi hanya memegang pulpen namun tidak kunjung menandatangani formulir itu, “Walaupun waktunya mepet, tapi ternyata keburu juga.”

Stanley Yan menoleh ke arah sorot mata Vivian Luo memandang, melihat sepasang kekasih dengan wajah bahagia turun dari taksi di pinggir jalan dan bergegas lari ke arah pintu masuk kantor catatan sipil. Tatapan mereka terpaku pada dirinya dan Vivian Luo.

Stanley Yan tidak bodoh, dalam sekali lihat ia langsung menyadari bahwa mereka pasti adalah pelaku onar yang dicari Yesi Mo. Secercah harapan secara spontan perlahan muncul dalam hati Stanley Yan.

Ia berharap rencana Yesi MO bisa berhasil, namun kata-kata Vivian Luo malah membuat hatinya runtuh sampai ke dasarnya.

“Bagaimana kalau kita bertaruh? Mereka sama sekali tidak bisa masuk.”

Baru saja Vivian Luo selesai berujar, terjadi suatu hal tidak terduga dari pasangan kekasih yang tiba-tiba melesat datang itu. Di jarak kurang dari satu langkah di depan pintu masuk kantor catatan sipil, mereka bertubrukan dengan sepasang suami istri paruh baya yang baru saja keluar dari pintu yang sama.

Suara rengekan, makian, dan suara minta tolong pun terlontar dari mulut wanita paruh baya yang terjatuh di tanah itu. Pasangannya sendiri juga memasang badan di hadapan sepasang kekasih itu, mencaci mereka dengan kata-kata kasar. Walaupun pria itu bertindak kasar, namun hatinya sebenarnya pengecut.

Selain meminta maaf, pasangan itu juga mengganti uang rugi. Mereka ingin segera menyelesaikan masalah ini, namun wanita paruh baya itu malah tidak melepaskan mereka dan semakin berkelit untuk menyulitkan posisi mereka. Melihat pasangan kekasih itu seperti ingin menerobos pergi, pasangan paruh baya itu memeluk erat kaki salah satu dari mereka supaya tidak bisa kabur. Sambil berteriak dengan keras, pria paruh baya itu sambil mengeluarkan ponselnya seperti sedang menelepon.

Orang-orang di sekitar mereka pun langsung mengerubungi dan membuat orang di pintu masuk kantor catatan sipil menjadi bertumpuk.

“Bagaimana? Apa yang kukatakan tidak salah, bukan?” Vivian Luo tersenyum angkuh pada Stanley Yan yang mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan raut wajah yang tidak senang hati. Tawa Vivian Luo pun semakin bertambah bangga, “Jangan buru-buru, belum selesai. Lihat orang itu, tidak?”

Vivian Luo dengan santai mengarahkan pandangannya ke seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi yang berada tak jauh dari situ, lalu mencibir, “Ia juga orangnya Yesi yang terus-menerus mengawasi kita. Harusnya ia akan berbuat sesuatu saat ada kendala, sayang ia tidak memiliki kesempatan itu lagi.”

Saat itulah Stanley Yan baru melihat ke arah yang dituju Vivian Luo. Ia melihat dua orang pengawal yang menemaninya dan Vivian Luo datang muncul di belakang orang itu tanpa suara. Selanjutnya dengan tanda isyarat yang diberikan Vivian Luo, kepala pria itu dipukul sehingga tidak sadarkan diri, lalu diseret pergi oleh kedua pengawal itu meninggalkan aula kantor catatan sipil.

“Mau kamu apakan ia? Kalau mati, kamu juga akan repot.” Stanley Yan merendahkan suarnaya dan mengernyitkan alisnya kuat-kuat menatap Vivian Luo.

“Felix, apa kamu sedang mengkhawatirkanku?” Vivian Luo mengulas senyum, “Jangan khawatir, aku hanya membuatnya tidur sebentar. Sekarang tidak ada lagi orang-orang atau hal apapun yang mengganggu kita. Apakah kamu masih berniat untuk terus mengulur-ulur waktu? Apa kita perlu menunggu sampai Yesi datang?”

Mendengar kata-kata ini, raut Stanley Yan langsung berubah. Ia memejamkan mata kemudian mengambil napas dalam-dalam, mengangkat pulpennya, dan secepat kilat menandatangani formulir itu.

Walaupun sampai sekarang ia masih belum bisa mengingat masa lalu yang ia lupakan, namun hal ini tidak menghalanginya untuk memahami apa yang terjadi selama ia amnesia.

Ia tahu bahwa sebelum ia hilang ingatan, ia sangat mempedulikan Yesi Mo. Ia memposisikan nyawa wanita itu diatas nyawanya sendiri.

Yang ada di hadapannya sekarang ini seperti gua harimau. Kalau Yesi Mo datang kesini, pasti akan sangat membahayakan untuknya. Stanley Yan tidak yakin apakah Vivian Luo akan turun tangan menjahatinya atau tidak, tapi ia tidak dapat membiarkan bahaya mendekati Yesi Mo.

Melihat Stanley Yan begitu bekerja sama, Vivian Luo pun mengangguk puas dan mengembalikan fokusnya untuk mengisi formulir di hadapannya.

Di sisi lain di parkiran mobil, Yesi Mo dan Marson Luo sudah mendapat informasi akan masalah yang terjadi di aula kantor catatan sipil. Tapi, sudah jelas mereka tidak akan keburu walaupun pergi sekarang.

Sesampainya disana, layaknya sayur yang sudah dingin, semua sudah terlambat.

“Nyonya muda, bagaimana ini? Apa aku suruh orang untuk bersikeras menerobos masuk?” Marson Luo sangat panik sampai matanya berwarna merah. Tangannya yang meremas ponsel pun sampai pucat karena tidak ada darah yang mengalir.

Asalkan ada perintah dari Yesi Mo, Marson Luo akan menyuruh pengawal lain yang sudah dipersiapkannya di depan pintu kantor catatan sipil untuk menerobos masuk apapun yang terjadi...

Tapi Yesi Mo ternyata malah menggeleng, “Tidak perlu. Apapun yang kita lakukan, itu tidak akan mengubah apa-apa.”

“Kalau begitu, apakah kita harus dengan mata terbuka melihat semua ini? Tidak bisa, tidak peduli bagaimanapun juga, aku harus mencobanya.”

Yesi Mo tidak menghentikan Marson Luo, ia juga tidak berdaya untuk menghentikannya. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menunggu. Atau lebih tepatnya lagi, bertaruh...

Setelah selesai mengisi formulir, Vivian Luo merebut formulir yang ada di tangan Stanley Yan kemudian memberikannya kepada petugas sambil tersenyum dan berkata, “Maaf merepotkan.”

Melihat petugas itu membolak-balikkan halaman formulir satu persatu, lalu akhirnya tersenyum dan mengangguk, kemudian jemarinya dengan lincah mengetik diatas keyboard, Stanley Yan pun memejamkan kedua matanya dengan lemas.

Saat ini, Vivian Luo malah menyunggingkan senyum. Ia sedikit memicingkan matanya yang penuh dengan sirat bangga: Tidak akan ada yang bisa merebut pria yang aku, Vivian Luo, inginkan.

Ia bersikap seolah sudah dapat melihat kekecewaan pada wajah Yesi Mo, seolah melihat Yesi Mo yang luluh lantak dalam keputusasaan.

Ia seolah dapat melihat belasan tahun kemudian dimana ia dan Stanley Yan dapat menua bersama sampai rambut mereka memutih. Mereka saling bergandengan tangan membawa cucu-cucu mereka yang masih kecil berlarian di taman di bawah sinar matahari yang terbenam. Telinganya seolah juga dapat mendengar suara anak-anak mereka yang bahagia...

Novel Terkait

My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
5 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
5 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu